TamiangNews.com | LANGSA -
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh, bersama sejumlah pihak
berkomitmen memperkuat serta merawat perdamaian Aceh dan menjaga persatuan
bangsa.
Hal ini diutarakan, Kepala Bidang Penanganan Konflik
dan Kewaspadaan Nasional Kesbangpol Aceh, Drs. Halim Perdana Kesuma, dalam
sambutannya saat membuka Dialog Forum Kewaspadaan Nasional Angkatan III, di
Vitra Convention Hall, Langsa, Rabu (16/10).
"Kami menilai capaian program penanganan dan
penguatan perdamaian, perlu diukur sebagai acuan untuk merumuskan kebijakan
- kebijakan ke depan, dalam menjaga kelangsungan perdamaian," tuturnya.
Tentu, tambah dia, dengan melibatkan berbagai unsur dan komponen masyarakat
yang terkait langsung maupun tidak langsung ke dalam kegiatan penguatan
perdamaian itu sendiri.
Dia menjelaskan, dalam melaksanakan berbagai kegiatan,
secara programatik pihaknya mengacu kepada Peraturan Gubernur (Pergub) No.
16/2018, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2017-2022.
"Khususnya tentang penguatan perdamaian secara
berkelanjutan, dimana di dalamnya Badan Kesbangpol Aceh, memiliki peran yang
cukup signifikan terhadap keberlanjutan perdamaian," jelas Halim Perdana
Kesuma.
Diuaraikannya, serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara sistematis dan terencana baik sebelum maupun sesudah terjadi konflik,
harus mencerminkan asas kemanusiaan, hak asasi manusia, kebangsaan, ketertiban
dan kepastian hukum, kearifan lokal, partisipatif dan tidak memihak.
Kemudian, penanganan konflik Aceh termasuk kawasan strategis yang
berpotensi menjadi tempat penyebaran paham radikal dari kelompok tertentu
dengan mempengaruhi, mengatasnamakan islam dan masyarakat lokal untuk melakukan
tindakan sesuai keinginan mereka.
Sementara, Kepala Kesbangpol Kota Langsa, H Agussalim SH
MH, mengatakan, perdamaian Aceh ditempuh secara bersama–sama oleh segenap
komponen masyarakat dan bangsa Indonesia.
Hal ini, kata dia, telah berlangsung selama empat
belas tahun. Sejak ditanda tanganinya perjanjian damai antara pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus
2005 di Helsinki, Finlandia.
Agussalim menambahkan, dalam perjalanannya, nota
kesepahaman (MOU HELSINKI) menjadi salah satu sumber atas lahirnya Undang –
undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang telah kita laksanakan
selama ini.
" Konflik yang pernah kita alami, hendaklah dapat
dijadikan sebagai sebuah pelajaran dan pengalaman pahit yang sangat berarti,
konflik sesungguhnya hanya akan membawa kita kepada kerugian yang nyata bukan
hanya material tetapi juga imaterial," uajrnya.
Selama ini, sambung dia, konflik yang terjadi baik
ditingkat nasional maupun lokal menjadi perhatian serius pemerintah, termasuk
di dalamnya gejala serta potensi konflik yang dapat mengganggu dan mengancam
stabilitas nasional.
Untuk itu, beberapa peraturan perundang – undangan
terkait penanganan konflik dan kewaspadaan dini telah dikeluarkan oleh
pemerintah diantaranya adalah Undang – undang Nomor 7 tahun 2012 tentang
penanganan konflik sosial, peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2015 tentang
peraturan pelaksanaan undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan
konflik sosial.
Seterusnya, peraturan menteri dalam negeri nomor 42
tahun 2015 tentang pelaksanaan koordinasi penanganan konflik sosial, serta
peraturan menteri dalam negeri nomor 2 tahun 2018 JO permendagri nomor 46 tahun
2019 tentang kewaspadaan dini di daerah.
Diakuinya, kelompok-kelompok radikal saat ini sudah
memiliki kemampuan untuk melakukan propaganda, pengumpulan pendanaan,
pengumpulan informasi, perekrutan serta penghasutan dengan menggunakan media
internet dan jejaring media elektronik lain seperti video dan media sosial
lainnya untuk kepentingan kelompoknya.
"Propaganda radikal teror juga dapat dilihat
dengan munculnya ratusan website, puluhan buku serta postingan-postingan di
media sosial yang secara aktif menyebarkan paham intoleran, menghasut, dan
menyebarkan kebencian diantara sesama anak bangsa," ulas Agussalim.
Selain itu, maraknya peredaran narkoba di aceh saat
ini telah sangat meresahkan dan harus menjadi perhatian kita bersama, karena
narkoba dapat menyebabkan kerusakan generasi muda.
Narkoba tidak hanya menghancurkan, namun juga telah
merambah hingga generasi tua dan aratur pemerintah. hal jelas-jelas dapat
mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan di Aceh.
Disebutkannya, menyikapi kondisi ini, pemerintah
Republik Indonesia melalui bapak Presiden Joko Widodo dan juga pemerintah Aceh
telah menyatakan perang melawan narkoba.
"Sinergitas seluruh pemangku kepentingan
merupakan langkah penting untuk memperkuat ketahanan dari ancaman paham
radikal, narkoba dan gangguan keamanan," tandasnya.
Lanjut dia, para tokoh dan segenap unsur yang menjadi
opinion leader didalam masyarakat, harus dapat memberikan pemahaman
komprehensif mengenai pentingnya penguatan dan implementasi nilai-nilai budaya
lokal, yang sejalan dengan nilai kebangsaan dalam mencegah berkembangnya
kelompok radikal dan peredaran narkoba dalam kehidupan sehari-hari.
Lewat kegiatan tersebut. Agussalim, mengajak para
pihak untuk memperhatikan beberapa hal, diantaranya; melindungi keluarga,
mempererat silaturrahmi, mendorong agar masyarakat miliki resistensi yang kuat,
pendidikan dan keagamaan yang baik serta penyampaian kebenaran lewat media
sosial atau massa.[]TN-W007