Jowan Saputra (Foto : Ist) |
Menjalin sebuah hubungan pernikahan merupakan suatu keinginan bagi setiap pasangan diluaran sana. Perkawinan adalah sebuah status yang menandakan bawasanya hubungan dari seseorang telah serius untuk meyatukan 2 pikiran yang berbeda. Mejalin sebuah hubungan dalam status perkawinan pun tidaklah mudah bagi setiap orang. Setiap pasangan harus siap secara mental, finansial, adminitrasi, kesehatan jasmani maupun rohani, dan lain sebagainya.
Setiap pasanganpun harus meliliki identitas yang jelas yang tercatat oleh negara, mereka pun harus saling mengenal terlebih dahulu latar belakang dari setiap pasangan agar tidak menjadi bumerang dalam menjalin status berumah tangga.Menjalin hubungan pernikahan merupakan tujuan dan ikatan batin antar seorang pria dan wanita dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sampai ajal memisahkan mereka agar mendapatkan kebahagian dunia maupun akhirat dan dibuahkan dengan hadirnya keturunan atau generasi yang nantinya bisa mengantikan kedua orangtuanyan.
Berangkat dari maraknya pernikahan di kalangan masyarat diluaran sana yang menganggap sebuah pernikan tersebut rumit dan ribet jika harus diurus secara admimnitasi negara. Sehingga kebanyakan pasangan diluar sana memilih menikah secara agam atau biasa disebut dengan nikah sirih tanpa mereka mengetahui dampat negatif dari pernikahan sirih, terutama sangat merugikan terhadap seorang perempuan atau istri dalam sebuah pernikan sirih. Pernikahan sirih merupakan pernikahan yang tidak tercatat oleh negara yang merupakan perbuatan hukum sehingga menimbulkan akibat-akibat hukum yang begitu serius bagi istri dan anaknya kelak dalam kurun waktu perkawinan berlangsung. Ini sangat merugikan bagi istri bila mana nanti timbul konflik atau sengketa dalam perkawinan tersebut.
Padahal peraturan negara dalam perundang – undangan, yang meyebutkan pernikahan sirih tidakl memiliki kekuatan hukum yang kuat, sebagaimana tertera dalam ungang – undang nomor 1 tahun 1974 yang menegaskan bawasanya jelas perkawinan yang tidak tercatat oleh KUA tidak memiliki kekuatan, terutama terkait hak dan kewajiban dalam keluarga.
Dalam hal ini kependudukan hak istri dan anak yang ia dapatkan hanya hak pengakuan biologis saja tanpa adanya hak keperdataan yang menyertainnya dan tidak adanya konsekkuensi apapun yang ada pada dirinya bahwa keberadaan SPTJM tidak menyebapkan adanya penambahan hukum bagi anak yang bersangkutan hal ini sangat merugikan bagi seorang istri dan keturunannya. Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 dalam menerbitkan akta kelahiran anak dari pernikahan sirih di dinas kependudukan dan pencatatn sipil yang memilikin kartu keluarga untuk membuat akta kelahiran anak tetap nama ayah biologi dan nama ibu kandung biologis dapat dicantumkan, namun yang membedakan yaitu ditambahkan frasa “ Yang perkawinan belum dicatatkan” itupun harus ditercantum bukti tes DNA terlebih dahulu.
Dalam undang – undang nomor 16 tahun 2019 tentang pernikahan menyebutkan bawasanya pernikahan tersebut tidak tercatat, dasar hakim menetapkan pasal 351 ayat (3) KUHP dalam putusan nomor 146/pid.Sus/2017/PN.Srl adalah dengan memperhatikan faktor-faktor hukum bahwa perkawinan yang tidak resmi atau tidak tercatat tersebut menjadi problematik hukum, karena meskipun sah, akan tetapi dalam ketentuan negara tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ini sangat merugikan bagi seorang istri dan anaknya nanti. Mari bersama – sama kita berikan kesadaran untuk para pasangan diluaran sana terutama bagi seorang perempuan dalam menentukan pasangan untuk menjalin hubungan berumahtangga agar tidak dirugikan dilain waktu. Perempuan juga memiliki hak yang besar dalam berumahtangga carilah pasangan yang bisa memberikan dampak fositif dan selektif dalam membina sebuat mahligai rumah tangga.[]
Pengirim :
Jowan Saputra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email : jojowan527@gmail.com