Nabila Dwi Amanda (Foto/IST)
Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, kita terlalu sering terjebak pada aspek-aspek teknis pengelolaan sumber daya manusia: rekrutmen berbasis data, sistem pelatihan berbasis kompetensi, hingga pengukuran kinerja dengan metrik yang ketat. Semua itu penting, tentu saja. Namun di balik setiap kebijakan dan sistem, ada satu elemen yang justru menjadi landasan dari semuanya, namun kerap luput diperhatikan: bahasa.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita bukan hanya alat komunikasi sehari-hari. Dalam konteks manajemen SDM, ia adalah jembatan utama yang menyatukan pemikiran, perasaan, dan tujuan dalam sebuah organisasi. Lewat bahasa, visi perusahaan diterjemahkan menjadi instruksi kerja. Lewat bahasa pula, harapan pimpinan disampaikan kepada tim, dan aspirasi karyawan naik ke meja manajemen.
Ironisnya, banyak organisasi masih menganggap remeh penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan strategis dalam lingkungan kerja. Di era globalisasi ini, dominasi bahasa asing dalam dokumen, pelatihan, dan komunikasi internal mulai terasa. Tentu, tidak ada yang salah dengan penggunaan bahasa Inggris atau lainnya bila diperlukan. Namun, ketika bahasa asing mulai menggantikan fungsi dasar bahasa Indonesia sebagai pengantar komunikasi internal, maka persoalan pun muncul. Misinterpretasi, rasa enggan bertanya, hingga hambatan psikologis dalam berkomunikasi dapat memicu konflik yang sebetulnya bisa dihindari.
Bahasa Indonesia memiliki kekuatan sosial yang luar biasa. Ia mampu menyentuh berbagai lapisan karyawan, dari staf junior hingga direksi. Ia menjembatani perbedaan budaya, pendidikan, dan pengalaman dalam satu ruang yang setara. Ketika seorang manajer SDM menyampaikan kebijakan dengan bahasa yang lugas dan empatik, yang terjadi bukan hanya pemahaman teknis, tetapi juga keterhubungan emosional. Itulah yang memperkuat rasa memiliki dan komitmen karyawan.
Lebih dari itu, penggunaan bahasa Indonesia secara sadar dan konsisten juga membentuk budaya organisasi. Budaya kerja yang terbuka, partisipatif, dan penuh respek tidak akan lahir dari komunikasi yang kaku, eksklusif, atau terfragmentasi oleh bahasa yang tidak dipahami semua pihak. Melalui bahasa yang ramah, inklusif, dan kontekstual, sebuah organisasi bisa menumbuhkan iklim kolaboratif di mana setiap suara dihargai dan setiap peran dipahami.
Dalam praktiknya, kita bisa melihat dampak nyata bahasa dalam pelatihan karyawan baru, penyusunan SOP, hingga pemberian umpan balik. Instruksi kerja yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang tidak ambigu akan mempercepat pemahaman, meminimalkan kesalahan, dan memperkuat rasa percaya diri dalam bekerja. Pun dalam sesi evaluasi, penggunaan bahasa yang penuh kehati-hatian akan menjadikan kritik sebagai pemicu perbaikan, bukan sumber demotivasi.
Menggunakan bahasa Indonesia dalam pengelolaan SDM juga merupakan wujud penghargaan terhadap identitas kolektif bangsa. Ia bukan sekadar pilihan praktis, melainkan simbol penghargaan terhadap keberagaman yang hidup dalam organisasi. Dalam ruang kerja yang sehat, semua orang berhak merasa dimengerti dan itu hanya mungkin jika bahasa yang digunakan bersifat inklusif dan familiar.
Akhir kata, penguatan peran bahasa Indonesia dalam manajemen SDM adalah investasi tak terlihat yang memberi dampak luar biasa. Ia bukan hanya membangun komunikasi yang efektif, tetapi juga memperkuat ikatan emosional dalam tim, mempercepat proses kerja, dan pada akhirnya meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.
Kita tidak sedang bicara soal idealisme linguistik. Kita sedang bicara strategi manajerial. Dan dalam strategi itu, bahasa adalah kuncinya.[]
Penulis:
Nabila Dwi Amanda, Mahasiswa Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Bangka Belitung