Notification

×

Iklan

Iklan

Ilmu Tanpa Tuhan, Agama Tanpa Akal? Menelusuri Jalan Tengah Bersama Ian G. Barbour

Selasa, 13 Mei 2025 | Mei 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-13T13:06:18Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/ILUSTRASI

Di era ketika teknologi berkembang pesat dan rasionalitas dijadikan tolok ukur kemajuan, relasi antara ilmu pengetahuan dan agama sering kali dipandang sebagai dua dunia yang saling menafikan. Di satu sisi, ilmu modern dianggap netral, objektif, dan berdiri di atas observasi empiris tanpa perlu campur tangan metafisika. Di sisi lain, agama dipahami sebagai wilayah iman yang tertutup dari kritik dan rasio. bisakah ilmu berkembang tanpa Tuhan, dan bisakah agama bertahan tanpa akal?.

 

Pertanyaan ini menjadi relevan ketika kita menghadapi disrupsi etika dalam sains dan krisis spiritual dalam beragama. Salah satu pemikir terkemuka yang mencoba menjembatani ketegangan ini adalah Ian G. Barbour, seorang fisikawan sekaligus teolog Kristen, yang gagasan-gagasannya menjadi fondasi penting dalam kajian sains dan agama.

 

Hubungan Integrasi Sains dan Agama Ian G. Barbour

 

Ian G. Barbour dalam bukunya "Religion and Science: Historical and Contemporary Issues” (1997) membagi hubungan sains dan agama ke dalam empat kategori:

1. Konflik (Conflict): Sains dan agama saling meniadakan, seperti dalam pandangan ateisme ilmiah vs fundamentalisme agama.

2. Independensi (Independence): Keduanya tidak bertemu, karena membahas domain yang berbeda (sains = fakta, agama = nilai).

3. Dialog (Dialogue): Ada titik temu, khususnya dalam etika, bahasa simbolik, dan makna kehidupan.

4. Integrasi (Integration): Upaya menyatukan visi dunia ilmiah dan teologis dalam satu kerangka koheren.

 

Barbour sendiri mendorong pendekatan dialog dan integrasi, karena menurutnya, realitas tidak terbagi-bagi secara kaku. Dunia empiris yang dikaji sains tetap memuat dimensi nilai dan tujuan, sementara agama yang sehat tak boleh buta terhadap temuan rasional.

 

Ilmu Tanpa Tuhan: Kemajuan yang Kehilangan Arah?

 

Ketika ilmu dibiarkan lepas dari nilai, kita melihat gejala “teknologi tanpa etika”. Contohnya, kecerdasan buatan (AI) yang digunakan untuk menyebar disinformasi, alat pengenalan wajah yang bias rasial, atau eksperimen genetik yang belum memiliki landasan moral yang kuat.

 

Sebuah studi oleh World Economic Forum (2023) mengungkap bahwa 62% perusahaan teknologi besar belum memiliki standar etika yang jelas dalam pengembangan AI. Tanpa bingkai moral, inovasi dapat berubah menjadi instrumen penindasan. Ini menjadi pengingat bahwa sains tidak netral secara nilai, sebab ia selalu berada dalam konteks sosial dan keputusan moral.

 

Barbour mengingatkan bahwa meskipun metode sains bersifat objektif, penggunaan hasil sains sangat bergantung pada keputusan etis, dan di sinilah agama memiliki peran penting. Nilai-nilai seperti keadilan, tanggung jawab, dan empati tidak bisa dihasilkan oleh eksperimen laboratorium, tapi diperoleh melalui refleksi spiritual dan norma religius.

 

Agama Tanpa Akal: Spiritualitas yang Kehilangan Kejernihan

 

Sebaliknya, jika agama menutup pintu bagi akal, ia terjebak dalam dogma kaku dan tak mampu menjawab tantangan zaman. Kita menyaksikan maraknya anti-intelektualisme atas nama iman, di mana teori evolusi, vaksinasi, atau ekologi ditolak hanya karena tidak disebutkan secara harfiah dalam kitab suci. Fenomena ini membuat sebagian kelompok agama sulit terlibat dalam perkembangan ilmu dan teknologi modern. Salah satu contohnya dapat dilihat dalam penolakan terhadap vaksinasi oleh sebagian komunitas keagamaan di berbagai negara. Bukan karena sainsnya keliru, tetapi karena dianggap bertentangan dengan tafsir literal ajaran agama. Hal ini menunjukkan bahwa negara dengan sistem pendidikan dan literasi sains yang lebih lemah, penentangan terhadap temuan ilmiah cenderung lebih tinggi, terutama jika dianggap mengganggu keyakinan.

 

Jalan Tengah: Harmoni antara Sains dan Agama

 

Barbour tidak mengajak kita untuk menjadikan agama tunduk sepenuhnya pada sains, atau sebaliknya, membuat sains harus mengikuti aturan-aturan agama secara kaku. Ia justru menawarkan jalan tengah: membangun dialog yang saling menghargai antara keduanya. Menurutnya, baik sains maupun agama sama-sama penting untuk memahami dunia dan kehidupan secara utuh. Sains membantu menjelaskan bagaimana alam semesta bekerja melalui hukum fisika, biologi, dan eksperimen. Tapi di sisi lain, agama membantu manusia memahami makna, tujuan, dan nilai dari kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain, sains memberi kita jawaban “bagaimana”, sementara agama memberi kita jawaban “mengapa”.

 

Sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja, Agama menjelaskan mengapa dunia ada 

 

Dalam pendekatan dialogis ini, sains memberi informasi dan alat, sementara agama memberikan orientasi dan kebijaksanaan. Misalnya, dalam isu lingkungan hidup, sains menjelaskan dampak kerusakan alam, tetapi agama menegaskan tanggung jawab spiritual manusia sebagai penjaga bumi (khalifah). Bagi Barbour, sains dan agama tidak hanya menjawab pertanyaan yang berbeda, tetapi juga bisa berdialog tentang pertanyaan yang sama dari sudut pandang berbeda. Dengan begitu, pemahaman kita tentang realitas menjadi lebih utuh bukan hanya dari sisi teknis, tetapi juga dari sisi nilai dan makna.

 

Relevansi untuk Dunia Islam: Islamisasi Ilmu dan Etika Ilmiah

 

Gagasan Ian G. Barbour tentang integrasi antara sains dan agama memberikan ruang reflektif yang penting bagi dunia Islam modern. Di tengah derasnya arus sekularisasi umat Islam pun dihadapkan pada tantangan serupa: bagaimana membangun ilmu yang tetap rasional tanpa kehilangan nilai-nilai spiritual, dan mempertahankan keimanan tanpa memusuhi akal? Di sinilah wacana Islamisasi ilmu menjadi relevan. Sejak digagas oleh tokoh seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi ilmu bertujuan untuk mereformasi struktur ilmu modern agar sejalan dengan  Islam. Tujuannya bukan menciptakan “ilmu Islami” dalam bentuk label formal, melainkan membangun ilmu yang mengintegrasikan wahyu dengan akal serta menolak dikotomi.

 

Dalam pandangan Barbour, ilmu yang bertanggung jawab adalah ilmu yang mampu mempertimbangkan dimensi etis dan spiritual. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa ilmu adalah amanah, dan harus digunakan untuk kemaslahatan umat, bukan sekadar kepentingan duniawi atau kekuasaan. Etika ilmiah dalam Islam juga perlu dikedepankan sebagai landasan praktik. Barbour menekankan pentingnya tanggung jawab moral dalam setiap aktivitas ilmiah. Dalam konteks Islam, nilai-nilai seperti ‘adl (keadilan), amanah (tanggung jawab), dan maslahah (kemanfaatan) menjadi dasar etika dalam pengembangan pengetahuan.

 

Dengan demikian, dunia Islam tidak perlu memilih antara akal dan wahyu, antara rasionalitas dan spiritualitas. Seperti yang ditegaskan Barbour, jalan tengah dapat ditempuh melalui integrasi yang terbuka dan reflektif. Di sinilah titik temu antara gagasan Barbour dan visi Islam: menumbuhkan ilmu yang bukan hanya benar secara rasional, tapi juga bijak secara etis dan luhur secara spiritual. “Ilmu tanpa Tuhan” berisiko kehilangan arah etis, sementara “agama tanpa akal” kehilangan kemampuan menjawab realitas. Barbour mengajak kita menempuh jalan tengah: dialog yang jujur, terbuka, dan saling memperkaya antara dua sumber pengetahuan.[]

 

Penulis :

Diyanatul Kumla, mahasiswi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

×
Berita Terbaru Update