![]() |
Maurista (Foto/IST) |
Perceraian tak lagi menjadi persoalan individu, melainkan masalah sosial yang terus meningkat. Di balik data perkara yang terus bertambah di Peradilan Agama, tersembunyi luka-luka keluarga: konflik, kekerasan, hingga dampak kecanduan judi online dan narkotika.
Hal ini menimbulkan pertanyaan reflektif: Apakah Peradilan Agama telah berperan optimal, bukan hanya sebagai pemutus perkara, tetapi sebagai penjaga ketahanan keluarga?
Fungsi Mediasi dalam Peradilan Agama
Dalam sistem hukum nasional, Peradilan Agama memiliki kewenangan khusus untuk menangani perkara keluarga bagi umat Islam, termasuk perceraian, hak asuh anak, nafkah, dan pembagian harta bersama. Namun, yang kerap terlewatkan adalah fungsi mediasi sebagai instrumen penting untuk mencegah perceraian.
Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (yang telah diperbarui melalui UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009) menegaskan bahwa sebelum memeriksa pokok perkara, hakim wajib mengupayakan perdamaian terlebih dahulu. Mediasi bukan hanya prosedur formil, tetapi ruang reflektif bagi pasangan untuk menimbang kembali keputusan mereka secara emosional dan rasional.
Di banyak kasus, mediasi berhasil menyatukan pasangan yang sebelumnya ingin bercerai. Namun, efektivitas mediasi bergantung pada banyak faktor, terutama kesiapan mediator dalam menangani masalah kompleks seperti kekerasan dalam rumah tangga, kecanduan, atau konflik yang sudah sangat tajam. Dalam konteks inilah, pendekatan multidisipliner yang melibatkan aspek psikologis, sosial, dan keagamaan menjadi sangat relevan.
Tantangan Sosial dan Modernitas
Realitas sosial saat ini menuntut peradilan untuk bersikap adaptif. Perceraian tidak lagi dipicu ketidakharmonisan semata, tetapi juga oleh disrupsi teknologi dan kecanduan digital yang menggerus komunikasi dalam rumah tangga.
Menuju Peradilan Berbasis Pelayanan Sosial
Peradilan Agama dapat memainkan peran strategis sebagai bagian dari sistem perlindungan keluarga. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat kapasitas mediasi melalui pelatihan intensif bagi para hakim mediator, melibatkan pendekatan keagamaan dan psikologis sekaligus. Sinergi dengan Kementerian Agama, lembaga konseling keluarga, tokoh masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan akan menjadi kunci keberhasilan.
Selain itu, edukasi pra-nikah dan pasca-nikah perlu diarusutamakan, agar pasangan memiliki bekal emosional dan pengetahuan dalam menyelesaikan konflik rumah tangga. Untuk kasus-kasus berat seperti kecanduan, Peradilan Agama juga dapat menjalin kerja sama dengan LSM perempuan, BAZNAS, dan BNN untuk menghadirkan pendekatan rehabilitatif sebelum menjadikan perceraian sebagai opsi akhir.
Menempatkan Kepentingan Anak sebagai Prioritas
Setiap proses perceraian sejatinya membawa dampak besar terhadap anak. Mereka kehilangan kestabilan emosional dan berpotensi mengalami trauma jangka panjang. Oleh karena itu, Peradilan Agama harus menjadi institusi yang menempatkan kepentingan anak sebagai aspek utama dalam proses mediasi maupun putusan hukum.
Penutup
Tugas peradilan tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga mencegahnya berkembang menjadi luka sosial yang lebih besar. Memperkuat mediasi, mendorong sinergi lintas lembaga, dan membangun kesadaran kolektif masyarakat adalah langkah konkret untuk menjaga ketahanan keluarga.
Kita tidak hanya membicarakan angka dan statistik. Kita bicara tentang masa depan anak-anak, fondasi masyarakat, dan harapan bangsa. Sudah saatnya Peradilan Agama hadir sebagai pelindung, bukan sekadar pemutus.[]
Penulis :
Maurista, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung, email: maurista@email.com