Foto :Youtube/Kemdikdasmen
Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2025 diwarnai peluncuran Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) oleh Presiden Prabowo Subianto. Program ini mengusung ambisi percepatan dalam memajukan dunia pendidikan melalui revitalisasi infrastruktur sekolah, pengembangan sekolah unggul, dan peningkatan mutu guru. Pemerintah menyebutnya sebagai terobosan besar untuk menghadirkan pendidikan berkualitas secara merata
Namun, di balik semangat dan jargon optimistis itu, publik patut mencermati lebih dalam: apakah PHTC betul-betul menyasar akar persoalan pendidikan Indonesia, atau justru hanya proyek kebijakan jangka pendek yang sarat kepentingan citra?
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menetapkan target revitalisasi 11.420 sekolah dan madrasah dalam satu tahun. Ini jelas bukan pekerjaan kecil, apalagi jika mengingat kompleksitas teknis dan geografis lapangan. Di atas kertas, langkah ini sangat dibutuhkan, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang selama ini terpinggirkan dari distribusi fasilitas pendidikan yang memadai. Bangunan sekolah yang rusak berat, ruang belajar yang tidak layak, hingga minimnya sarana sanitasi memang menjadi wajah nyata dunia pendidikan di luar kota besar.
Namun, penting untuk dicatat bahwa revitalisasi fisik hanya merupakan salah satu aspek dari tantangan besar yang dihadapi oleh sistem pendidikan nasional. Tanpa diikuti pembenahan serius dalam aspek kualitas guru, sistem pembelajaran, dan manajemen sekolah, pembangunan fisik hanya akan menjadi proyek infrastruktur biasa. Kita tidak bisa mengharapkan hasil terbaik dari ruang belajar baru, jika di dalamnya tidak ada guru berkualitas yang mampu membimbing siswa secara bermakna.
Kenyataannya, Indonesia masih mengalami kekurangan guru ASN hingga lebih dari 1 juta formasi. Pemerataan distribusi guru juga belum tercapai. Banyak sekolah di daerah terpencil harus mengandalkan guru honorer dengan upah yang minim dan tanpa kesempatan untuk mengikuti pelatihan rutin.. Dalam konteks ini, perhatian terhadap “hasil terbaik” dalam pendidikan tidak bisa dipisahkan dari perhatian terhadap nasib pendidik.
Komponen lain dalam PHTC adalah pengembangan “sekolah unggul” yang diharapkan menjadi percontohan nasional bahkan bertaraf internasional. Ambisi ini terdengar baik, tetapi menyimpan paradoks. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa program sekolah unggulan seringkali hanya menambah jurang antara yang memiliki akses dan yang tertinggal. Sekolah-sekolah unggulan biasanya lahir di kota, dengan peserta didik pilihan, dan akhirnya hanya bisa diakses oleh kelompok sosial tertentu.
Pertanyaannya: apakah pendidikan berkualitas hanya untuk mereka yang “unggul”? Ataukah negara harus menjamin bahwa setiap anak, di manapun berada, berhak memperoleh pendidikan yang layak tanpa harus masuk kategori khusus?
Opini ini berpijak pada kekhawatiran yang nyata: PHTC bisa menjadi proyek politik yang lebih menonjolkan “cepat” daripada “tepat”. Kata “hasil terbaik cepat” seolah menjanjikan perubahan instan, padahal pendidikan pada dasarnya adalah proses jangka panjang yang tidak bisa digesa dengan pendekatan pembangunan fisik semata. Pendidikan tidak mengenal jalan pintas.
Keberhasilan pendidikan sejatinya tidak bisa diukur semata dari nilai ujian akhir, indeks prestasi siswa, atau peringkat sekolah dalam ajang internasional. Pendidikan yang berkualitas mencakup lebih dari sekadar pengetahuan akademis; ia berfokus pada pembentukan karakter, penanaman nilai-nilai moral, pengembangan kemampuan berpikir kritis, serta memberikan keterampilan hidup yang bermanfaat dan berkelanjutan bagi anak-anak bangsa. Semua itu tidak bisa dicapai dalam sekejap mata atau melalui pendekatan serba instan.
Dibutuhkan pendampingan yang terus-menerus, guru yang memiliki kompetensi dan mampu memberikan inspirasi, serta suasana belajar yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan siswa secara menyeluruh. Jika fokus utama PHTC hanya ditekankan pada percepatan pembangunan fisik dan pencapaian target visual yang bisa difoto dan dipamerkan, maka risiko kegagalannya sangat besar. Program ini bisa tergelincir menjadi sekadar panggung pencitraan politik, di mana sekolah-sekolah diperbaiki secara kosmetik, tetapi persoalan mendasar seperti ketimpangan mutu, minimnya pelatihan guru, dan rendahnya keterlibatan masyarakat tetap diabaikan.
Meski begitu, harapan belum sepenuhnya padam. Pemerintah masih memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa PHTC bukan hanya sekadar propaganda atau program yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik semata. Kuncinya adalah menjalankan program ini dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan yang nyata terhadap mereka yang paling membutuhkan.
Data harus dibuka seluas-luasnya, terutama mengenai sekolah mana saja yang menjadi prioritas, bagaimana proses seleksi dilakukan, dan siapa yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Perencanaan juga harus berbasis pada kebutuhan riil di lapangan, bukan semata-mata keinginan dari pusat atau kepentingan jangka pendek.
Hal yang paling penting, guru dan masyarakat lokal harus menjadi bagian aktif dalam setiap tahap pelaksanaan mulai dari perencanaan, pembangunan, hingga pemantauan hasil. Tanpa partisipasi mereka, program sebesar apapun akan sulit berkelanjutan. Indonesia memang butuh perubahan besar dalam sistem pendidikan, terutama setelah bertahun-tahun menghadapi berbagai ketimpangan dan stagnasi. Tapi perlu kita pahami bersama, perubahan besar itu tidak selalu harus datang dari proyek spektakuler atau anggaran triliunan.
Seringkali, perubahan sejati justru lahir dari langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan konsisten dan sepenuh hati. Misalnya, memastikan bahwa setiap guru, terutama di pelosok, menerima gaji dan pelatihan yang layak. Menjamin bahwa tidak ada lagi anak-anak yang terpaksa putus sekolah hanya karena alasan ekonomi. Atau menjaga agar sekolah-sekolah kecil di desa tetap berjalan, meskipun jumlah siswanya sedikit. Jika PHTC dapat mengatasi isu-isu mendasar yang sederhana namun sangat penting seperti ini, maka program ini akan menjadi langkah bersejarah dalam dunia pendidikan Indonesia—bukan karena kecepatan atau kemegahannya, melainkan karena kesungguhan dan komitmennya terhadap kepentingan rakyat.[]
Penulis :
Ma`rifatul Azizah, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta