Notification

×

Iklan

Iklan

Sekolah Bukan untuk Semua, tetapi Mimpi Diminta dari Semua

Kamis, 22 Mei 2025 | Mei 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-22T06:12:04Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Dinda Oktav Ramadhani (Foto/IST)


Dengan harapan besar menuju Indonesia Emas 2045, pendidikan seharusnya menjadi pondasi utama. Generasi muda hari ini adalah mereka yang akan memimpin Indonesia tepat di usia seabad. Namun kenyataannya, tidak semua anak Indonesia mendapat hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 2,6 juta anak usia 7–18 tahun tidak mengenyam pendidikan yang layak, dan lebih dari 1,3 juta anak putus sekolah di tingkat SMP dan SMA.

 

Pendidikan seharusnya menjadi jembatan untuk masa depan yang lebih cerah. Tapi ketika jembatan itu putus di tengah jalan, harapan yang dibangun pun ikut goyah. Maka, membenahi akar persoalan putus sekolah menjadi langkah penting untuk memastikan mimpi besar bangsa tidak tinggal janji.

 

Tingginya angka putus sekolah disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Pertama, kondisi ekonomi keluarga yang memaksa anak bekerja demi membantu penghasilan rumah tangga. Banyak anak dari keluarga kurang mampu yang terpaksa berhenti sekolah dan memilih untuk mencari nafkah, meskipun mereka memiliki potensi besar untuk berkembang. Ini adalah pilihan yang sangat sulit, yang sering kali diambil karena situasi ekonomi yang mendorongnya.

 

Kedua, akses pendidikan yang masih timpang antara kota dan desa. Anak-anak yang tinggal di daerah terpencil atau pulau-pulau kecil sering kali harus menempuh jarak jauh dengan fasilitas yang sangat terbatas. Mereka harus melewati medan yang sulit, dan seringkali fasilitas pendidikan di daerah tersebut tidak memadai, bahkan terkadang tidak ada sama sekali. Ketiga, kondisi sekolah yang tidak ideal. Kekurangan guru, minimnya sarana belajar, hingga lingkungan belajar yang tidak nyaman menjadi pemicu anak enggan melanjutkan pendidikan. Banyak sekolah yang kekurangan tenaga pengajar yang berkualitas dan fasilitas yang layak, sehingga mempengaruhi kualitas pembelajaran yang diterima siswa.

 

Di sisi lain, kurangnya kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan jangka panjang juga membuat anak-anak rentan terhenti di tengah jalan. Ada sebagian orang tua yang merasa bahwa pendidikan tidak terlalu penting karena mereka tidak melihat manfaat langsungnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak-anak mereka lebih sering diarahkan untuk bekerja daripada melanjutkan sekolah.

 

Lebih dalam lagi, kita harus mengakui bahwa ketidaksetaraan ini bukan sekadar persoalan logistik, tapi juga persoalan struktural yang perlu perhatian serius. Kesenjangan antara mereka yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas dan mereka yang tidak memiliki akses semakin lebar. Hal ini memperburuk kondisi sosial-ekonomi yang ada, sehingga pendidikan seharusnya bisa menjadi alat pemutus rantai kemiskinan, malah menjadi faktor yang memperdalam jurang ketimpangan.

 

Putus sekolah memberi dampak besar, terutama bagi masa depan anak. Mereka yang tidak melanjutkan pendidikan formal lebih sulit mendapat pekerjaan layak dan cenderung terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Pendidikan merupakan kunci untuk memperoleh peluang yang lebih baik di masa depan. Tanpa pendidikan, kemampuan seseorang untuk bersaing di dunia kerja semakin terbatas. Di sisi lain, bangsa kehilangan potensi besar dari generasi muda yang seharusnya bisa menjadi agen perubahan. Kesenjangan pendidikan juga memperlebar jurang sosial.

 

Anak-anak dari keluarga mampu bisa menikmati pendidikan berkualitas, sementara yang lain tertinggal jauh di belakang. Ini bukan hanya ancaman bagi pemerataan, tapi juga bagi stabilitas sosial di masa depan. Ketimpangan pendidikan menciptakan ketidaksetaraan yang semakin dalam, yang jika tidak ditangani, bisa menjadi bibit konflik sosial di masa depan.

 

Menurunkan angka putus sekolah membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah bisa memperluas bantuan langsung bagi keluarga miskin, memastikan transportasi dan fasilitas pendidikan di daerah terpencil lebih layak, serta meningkatkan pelatihan bagi guru. Program beasiswa dan bantuan pendidikan juga perlu diperluas agar lebih banyak anak yang berhak mendapatkan akses pendidikan tanpa terbebani biaya. Selain itu, pendidikan alternatif berbasis keterampilan atau komunitas bisa menjadi jalan tengah bagi anak-anak yang kesulitan bertahan di sistem formal.

 

Ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar keahlian yang bisa langsung diterapkan di dunia kerja. Dan yang tak kalah penting, kampanye kesadaran masyarakat soal pentingnya pendidikan perlu terus digaungkan agar keluarga dan lingkungan sekitar lebih mendukung proses belajar anak. Banyak anak yang berhenti sekolah bukan karena mereka tidak ingin belajar, tapi karena mereka merasa tidak ada dukungan dari lingkungan mereka.

 

Semua solusi ini bukan semata teknis, tapi soal keberpihakan. Apakah kita benar-benar serius memastikan bahwa setiap anak, tanpa kecuali, bisa mengakses pendidikan yang layak? Jika jawabannya ya, maka kita perlu menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama, bukan hanya sebagai program sementara, tapi sebagai bagian dari strategi pembangunan jangka panjang bangsa.

 

Jika ingin menatap 2045 dengan optimisme, maka kita tidak boleh menutup mata hari ini. Pendidikan yang merata dan berkualitas harus menjadi prioritas jangka panjang. Bukan sekadar urusan pembangunan sekolah atau kurikulum, tapi tentang memastikan tidak ada anak yang merasa sendirian dalam perjalanannya menuntut ilmu. Pendidikan adalah hak dasar yang harus dipenuhi bagi setiap anak, tanpa diskriminasi.

 

Peran masyarakat sipil, media, hingga dunia usaha perlu dilibatkan dalam mendorong sistem pendidikan yang lebih adil. Ini bukan hanya tugas pemerintah — ini kerja bersama. Karena masa depan bangsa bukan soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang tidak kita tinggalkan. Semua pihak harus bekerja sama untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dalam perjalanan pendidikan mereka.

 

Menatap Indonesia Emas 2045 bukan sekadar bicara teknologi, pertumbuhan ekonomi, atau kekuatan politik. Tanpa fondasi pendidikan yang kuat dan merata, semua visi besar itu bisa runtuh. Kualitas pendidikan adalah fondasi utama bagi peradaban yang maju dan berkeadilan.

 

Pendidikan adalah alat paling ampuh untuk memutus rantai kemiskinan, menjembatani ketimpangan, dan membangun harapan. Dan harapan itu tidak boleh hanya dimiliki oleh mereka yang beruntung. Semua anak, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk meraih cita-cita mereka.

 

Seperti yang dikatakan Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa digunakan untuk mengubah dunia.” Maka jika kita ingin mengubah dunia, dimulai dari Indonesia pastikan tak satu pun anak kehilangan haknya untuk bermimpi. Pendidikan adalah kunci yang membuka pintu masa depan, dan kita sebagai bangsa harus memastikan pintu itu terbuka lebar bagi semua anak, tanpa kecuali.[]

 

Penulis :

Dinda Oktav Ramadhani, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga 

×
Berita Terbaru Update