Notification

×

Iklan

Iklan

Telaah Kritis terhadap Prosedur Pembuktian dalam Sengketa Harta Bersama di Peradilan Agama

Jumat, 02 Mei 2025 | Mei 02, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-02T08:01:56Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Sulistiawati (Foto/IST)

Sengketa harta bersama merupakan salah satu perkara yang cukup dominan di peradilan agama setelah perkara perceraian. Dalam perkara ini, salah satu isu penting yang menentukan adalah masalah pembuktian. Prosedur pembuktian diatur dalam hukum acara perdata Islam, namun dalam praktiknya sering menimbulkan berbagai persoalan. Banyak pihak merasa kesulitan memenuhi standar pembuktian yang ditetapkan pengadilan. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan terhadap hasil putusan.

 

Secara hukum, prinsip utama pembuktian dalam sengketa harta bersama mengacu pada siapa yang mendalilkan maka ia yang wajib membuktikan. Namun dalam kenyataannya, tidak semua pihak mampu menyediakan bukti tertulis atas kepemilikan harta selama perkawinan. Sering kali, harta diperoleh tanpa dokumentasi resmi atau atas nama salah satu pihak saja. Situasi ini membuat pembuktian menjadi berat sebelah. Akibatnya, salah satu pihak bisa kehilangan haknya karena kelemahan dalam pembuktian.

 

Selain itu, pembuktian dalam sengketa harta bersama sering kali hanya mengandalkan alat bukti surat dan saksi. Padahal, keberadaan bukti lain seperti pengakuan dan sumpah juga diatur dalam hukum acara. Namun, penggunaan alat bukti tersebut masih belum optimal. Banyak hakim yang cenderung konservatif dalam menilai bukti, hanya mengandalkan sertifikat atau dokumen resmi. Padahal dalam praktik rumah tangga, banyak aset yang tidak tercatat secara formal.

 

Masalah lain yang muncul adalah tentang keberlakuan asas praduga harta bersama. Menurut hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam, semua harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap harta bersama, kecuali dibuktikan sebaliknya. Namun, tidak semua hakim menerapkan asas ini secara konsisten. Ada kecenderungan hakim membebankan pembuktian mutlak kepada salah satu pihak tanpa mempertimbangkan asas praduga tersebut. Akibatnya, pihak yang seharusnya mendapatkan bagian harta bersama menjadi dirugikan.

 

Permasalahan juga timbul dalam hal pembuktian asal-usul dana pembelian harta. Tidak semua pasangan suami istri mencatat atau memisahkan penghasilan pribadi dan penghasilan bersama. Ketika terjadi sengketa, membedakan mana yang menjadi harta bawaan dan mana yang merupakan harta bersama menjadi sangat sulit. Pengadilan sering kesulitan menentukan bagian masing-masing pihak. Ini memperlihatkan bahwa pembuktian dalam sengketa harta bersama sangat membutuhkan penguatan administrasi keuangan sejak awal pernikahan.

 

Selain itu, prosedur pemeriksaan saksi dalam sengketa harta bersama di peradilan agama juga sering menemui kendala. Saksi yang diajukan kadang memiliki hubungan emosional dengan salah satu pihak sehingga kesaksiannya menjadi bias. Meskipun undang-undang mengatur tentang persyaratan saksi, dalam praktik, hakim kadang menerima saksi tanpa verifikasi ketat. Hal ini tentu dapat mempengaruhi objektivitas putusan. Mekanisme penyaringan saksi perlu diperketat untuk menjaga keadilan.

 

Ketidakseragaman dalam interpretasi alat bukti di berbagai peradilan agama juga menjadi persoalan serius. Ada pengadilan yang sangat ketat dalam menerima bukti surat, sementara yang lain lebih longgar. Perbedaan ini membuat tidak ada kepastian hukum bagi para pihak yang berperkara. Idealnya, Mahkamah Agung memberikan pedoman teknis yang lebih rinci terkait pembuktian dalam sengketa harta bersama. Standardisasi prosedur sangat penting untuk menjamin keadilan yang merata.

 

Persoalan pembuktian juga dipengaruhi oleh minimnya akses masyarakat terhadap bantuan hukum. Banyak pihak yang berperkara tanpa didampingi kuasa hukum, sehingga kesulitan memahami tata cara pembuktian yang benar. Ketidaktahuan ini membuat mereka kalah di pengadilan bukan karena substansi perkara, tetapi karena kesalahan prosedural. Negara perlu memperluas layanan bantuan hukum, terutama dalam perkara-perkara keperdataan di peradilan agama. Ini sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak masyarakat kecil.

 

Dalam praktiknya, pembuktian juga sering terkendala oleh lamanya proses administrasi pencarian bukti tambahan, seperti bukti pajak, bukti kredit, atau bukti kepemilikan di instansi lain. Proses birokrasi yang lambat ini memperpanjang waktu persidangan dan memperbesar biaya perkara. Selain itu, kesulitan memperoleh bukti dari pihak ketiga juga menjadi hambatan tersendiri. Padahal dalam perkara harta bersama, akses terhadap bukti pihak ketiga kadang sangat penting. Reformasi prosedur administratif menjadi kebutuhan mendesak.

 

Melihat kompleksitas permasalahan ini, perlu dilakukan reformulasi prosedur pembuktian dalam sengketa harta bersama. Reformulasi tersebut harus mencakup penyederhanaan proses, penguatan prinsip praduga harta bersama, serta peningkatan standar verifikasi saksi dan bukti. Dengan demikian, penyelesaian sengketa bisa lebih cepat, adil, dan berpihak kepada substansi keadilan. Peradilan agama harus mampu beradaptasi dengan dinamika sosial masyarakat modern. Hanya dengan itu, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dapat terjaga.

 

Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah penerapan sistem pembuktian berbasis teknologi. Digitalisasi bukti seperti dokumen keuangan, rekening bersama, atau sertifikat elektronik bisa mempermudah proses pembuktian. Selain itu, pemanfaatan blockchain untuk mencatat kepemilikan harta selama perkawinan bisa menjadi alternatif modern. Dengan teknologi ini, data lebih aman, transparan, dan mudah diverifikasi di pengadilan. Langkah ini juga sejalan dengan tren digitalisasi pelayanan publik di bidang hukum.

 

Selain itu, perlu adanya edukasi hukum kepada masyarakat mengenai pentingnya dokumentasi harta selama perkawinan. Banyak pasangan yang masih abai dalam mencatat aset-aset yang diperoleh bersama. Dengan edukasi ini, masyarakat akan lebih sadar hukum dan memiliki dokumen pendukung saat terjadi sengketa. Edukasi ini bisa dilakukan melalui bimbingan pranikah di Kantor Urusan Agama atau program penyuluhan hukum. Kesadaran sejak awal akan mencegah banyak sengketa di kemudian hari.

 

Di sisi lain, hakim juga perlu diberi pelatihan khusus mengenai pendekatan progresif dalam pembuktian harta bersama. Hakim harus mampu melihat konteks sosial di balik dokumen formal. Tidak semua hak dan kewajiban dalam rumah tangga dapat direkam dalam bentuk tertulis. Oleh sebab itu, hakim harus peka terhadap bukti tidak langsung yang mendukung klaim harta bersama. Pendekatan seperti ini akan membuat proses peradilan lebih substantif dan berkeadilan.

 

Penting juga bagi Mahkamah Agung untuk membuat yurisprudensi tetap yang mengatur prinsip pembuktian dalam sengketa harta bersama. Dengan adanya yurisprudensi tetap, hakim tingkat pertama memiliki pedoman yang kuat dalam memutus perkara. Ini juga akan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Adanya standar pembuktian yang jelas akan mencegah disparitas putusan antar daerah. Harmonisasi putusan adalah kunci menjaga keadilan dalam perkara keperdataan.

 

Penguatan mekanisme mediasi dalam perkara harta bersama juga dapat mengurangi beban pembuktian. Jika para pihak sepakat dalam mediasi, maka tidak diperlukan pembuktian yang rumit di persidangan. Mediasi harus difasilitasi secara serius dengan melibatkan mediator bersertifikat. Selain menghemat waktu, mediasi memberikan ruang untuk solusi yang lebih damai dan berkelanjutan. Dengan begitu, peradilan agama tidak hanya menjadi tempat penyelesaian sengketa, tetapi juga pemulihan hubungan sosial.

 

Dari sisi regulasi, revisi terhadap Kompilasi Hukum Islam menjadi suatu keharusan. KHI saat ini belum mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat terkait pembuktian harta bersama. Regulasi baru harus lebih adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Misalnya, memasukkan pengakuan terhadap bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. Dengan revisi ini, hukum acara perdata di peradilan agama akan lebih responsif dan relevan.

 

Kritik juga perlu diarahkan pada proses eksekusi putusan harta bersama yang sering menemui hambatan. Setelah putusan inkracht, sering kali terjadi penolakan eksekusi oleh pihak yang kalah. Hal ini memperlihatkan lemahnya mekanisme eksekusi di peradilan agama. Diperlukan penguatan instrumen hukum untuk memastikan pelaksanaan putusan secara efektif. Tanpa eksekusi yang kuat, keadilan hanya akan berhenti di atas kertas.

 

Dalam upaya pembaruan, penting untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil. Penyusunan pedoman teknis dan regulasi baru harus dilakukan secara partisipatif. Dengan melibatkan banyak pihak, regulasi yang dihasilkan akan lebih komprehensif dan aplikatif. Pendekatan ini juga akan meningkatkan legitimasi perubahan hukum di mata masyarakat. Partisipasi publik adalah kunci sukses reformasi prosedur pembuktian.

 

Ke depan, peradilan agama di Indonesia harus bertransformasi menjadi lembaga yang modern, profesional, dan berorientasi pada keadilan substantif. Pembuktian dalam sengketa harta bersama tidak boleh lagi menjadi hambatan bagi pencapaian keadilan. Inovasi, digitalisasi, dan reformasi regulasi harus berjalan seiring. Semua upaya ini bertujuan untuk mewujudkan peradilan agama yang lebih adil, cepat, sederhana, dan biaya ringan. Masyarakat berhak mendapatkan akses keadilan yang nyata dan bermartabat.

 

Dengan berbagai masalah dan tantangan yang ada, reformasi prosedur pembuktian dalam sengketa harta bersama adalah keniscayaan. Hukum harus adaptif terhadap perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Tanpa reformasi ini, peradilan agama akan terus menghadapi ketidakpuasan publik. Oleh sebab itu, pembenahan harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Demi terwujudnya keadilan yang hakiki bagi seluruh masyarakat Indonesia.[]

 

Penulis :

Sulistiawati, Mahasiswi Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung

×
Berita Terbaru Update