Notification

×

Iklan

Iklan

Tinjauan Yuridis terhadap Kebijakan Kewarganegaraan Ganda di Indonesia: Studi Kasus Gloria Natapraja Hamel

Selasa, 06 Mei 2025 | Mei 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-05T17:45:31Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/ILUSTRASI

Status kewarganegaraan merupakan aspek fundamental dalam pembentukan dan keberlangsungan suatu negara. Kewarganegaraan tidak hanya memberikan identitas hukum bagi individu, tetapi juga menentukan hak dan kewajiban terhadap negara. Di Indonesia, sistem kewarganegaraan menganut asas tunggal, yaitu tidak mengakui kewarganegaraan ganda kecuali dalam kondisi tertentu yang diatur undang-undang. Namun, dalam era globalisasi saat ini, fenomena kewarganegaraan ganda semakin sering dijumpai, terutama pada anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA).


Kebijakan Hukum Kewarganegaraan Ganda di Indonesia


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia memberikan ruang terbatas bagi kewarganegaraan ganda, khususnya bagi anak hasil perkawinan campuran. Anak yang lahir dari pasangan WNI dan WNA dapat memiliki kewarganegaraan ganda hingga usia 18 tahun atau sampai menikah. Setelah itu, yang bersangkutan wajib memilih salah satu kewarganegaraannya paling lambat usia 21 tahun atau tiga tahun setelah menikah. Pemilihan kewarganegaraan harus dilakukan secara tertulis dan disertai dokumen pendukung sesuai ketentuan hukum yang berlaku.


Apabila seseorang tidak melakukan pemilihan dalam batas waktu yang ditentukan, maka status kewarganegaraan Indonesianya dianggap gugur. Hal ini berdampak pada hilangnya hak-hak sebagai warga negara Indonesia.


Studi Kasus: Gloria Natapraja Hamel


Kasus Gloria Natapraja Hamel merupakan contoh nyata permasalahan yang timbul akibat belum optimalnya pelaksanaan kebijakan kewarganegaraan ganda. Gloria, seorang pelajar SMA, dinyatakan gugur sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) pada peringatan HUT RI tanggal 17 Agustus 2016 karena memiliki kewarganegaraan ganda yang belum didaftarkan secara sah. Orang tua Gloria tidak mengetahui ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sehingga tidak mengajukan permohonan kewarganegaraan sesuai prosedur. Akibatnya, pengajuan status WNI oleh Gloria ditolak.


Kasus ini menunjukkan lemahnya penyebaran informasi hukum kepada masyarakat serta kurangnya mekanisme perlindungan bagi anak-anak dalam situasi serupa.


Perkembangan Regulasi: PP No. 21 Tahun 2022


Sebagai respons terhadap berbagai permasalahan terkait kewarganegaraan ganda, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2022 sebagai perubahan atas PP Nomor 2 Tahun 2007. Dalam pasal 3A PP tersebut disebutkan bahwa anak-anak yang tidak terdaftar atau terlambat memilih kewarganegaraan dapat mengajukan permohonan pewarganegaraan dalam waktu dua tahun sejak PP ini disahkan.


Pasal 12B secara khusus mengatur tata cara permohonan bagi mereka yang sebelumnya kehilangan status kewarganegaraan Indonesia akibat kelalaian administratif. Regulasi ini memberikan harapan baru bagi anak-anak hasil perkawinan campuran agar tetap dapat menjadi WNI dan menikmati hak-haknya secara penuh.


Analisis Dampak Kewarganegaraan Ganda


Kewarganegaraan ganda membawa dampak yang kompleks, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, keberadaan kewarganegaraan ganda membuka peluang ekonomi seperti kemudahan pajak, peningkatan investasi, dan kontribusi diaspora terhadap pembangunan nasional. Di sisi lain, terdapat potensi konflik hukum, keterbatasan dalam pelayanan publik, dan ancaman terhadap loyalitas nasional.


Dengan demikian, diperlukan keseimbangan antara perlindungan hak individu dengan kepentingan negara melalui kebijakan hukum yang adaptif dan terintegrasi.


Penutup dan Rekomendasi


Kasus Gloria Natapraja Hamel menunjukkan bahwa sistem kewarganegaraan Indonesia masih memiliki kelemahan dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak anak dalam konteks kewarganegaraan ganda. Diperlukan peningkatan sosialisasi regulasi, pembaruan sistem administrasi, dan penyederhanaan prosedur hukum agar seluruh warga negara, termasuk anak-anak hasil perkawinan campuran, memperoleh hak yang setara.


Pemerintah diharapkan untuk terus menyempurnakan regulasi agar dapat mengakomodasi dinamika kewarganegaraan di era globalisasi, serta memastikan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang kehilangan hak konstitusionalnya karena kelemahan sistem hukum.[]


Penulis :

Tsalitsa Iasya Irfadana, Mahasiswi Fakultas Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar Sarang, email : tsalitsaiasya4@gmail.com 

×
Berita Terbaru Update