Foto/Ilustrasi
"Jangan biarkan bullying mengubah siapa kamu. Jadilah terang di tengah kegelapan."
-Brilio.net, 2024
Pernahkah kamu merasa canggung, takut, atau terintimidasi saat berada di lingkungan kampus? Atau mungkin kamu pernah menyaksikan temanmu dipermalukan di depan umum, tapi tak tahu harus berbuat apa? Perundungan—atau yang kini lebih dikenal dengan istilah bullying bukan hanya terjadi di sekolah dasar atau menengah. Di kampus, bentuknya bisa lebih halus, namun dampaknya tak kalah menyakitkan.
Lalu, bagaimana perundungan bisa tumbuh diam-diam di balik tembok institusi pendidikan tinggi, serta mengapa sudah saatnya kita beralih dari diam menjadi aksi. “Dari Diam ke Aksi: Membangun Budaya Anti-Bullying di Lingkungan Kampus” bukan sekadar slogan, tetapi ajakan untuk menciptakan ruang belajar yang aman, sehat, dan saling menghargai bagi semua.
Perundungan atau bullying
Sebelum membahas lebih dalam, mari kita pahami terlebih dahulu. Sebenarnya apa itu perundungan atau bulyying? Perundungan atau bullying merupakan tindakan menyakiti orang lain yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa lebih kuat. Tindakan ini bisa berupa memukul, mengejek, mengucilkan, atau menyebarkan hal buruk tentang orang lain, bahkan lewat media sosial. Biasanya, korban tidak bisa melawan karena merasa takut atau lemah. Definisi ini, selaras dengan definisi Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, katadata.co.id, 2023 “bullying adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan senagaja.”
Perundungan di lingkungan kampus seringkali luput dari perhatian karena terselubung dalam bentuk yang halus, seperti sindiran, pengucilan, atau tekanan dari senioritas. Banyak mahasiswa merasa takut untuk berbicara karena khawatir akan diabaikan atau justru disalahkan. Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang yang aman dan nyaman untuk semua, tempat di mana mahasiswa bisa tumbuh tanpa rasa takut atau tekanan psikologis. Namun kenyataannya, budaya diam masih menjadi benteng kokoh yang melindungi pelaku dan membungkam korban.
Beberapa faktor yang memicu terjadinya bullying di kampus antara lain adalah budaya senioritas yang berlebihan, kurangnya edukasi tentang empati dan toleransi. Selain itu, adanya anggapan bahwa tindakan merendahkan orang lain dianggap “lucu” atau “tradisi” memperparah situasi. Tak jarang, mahasiswa yang menjadi korban justru merasa bahwa mereka harus menerima perlakuan tersebut agar bisa “diterima” di lingkungan sosial kampus.
Banyak sekali jenis tindakan bullying yang terjadi dibeberapa kampus, sepertin tidakan fisik
Dampak yang dialami dari tindakan bullying
Dampak dari bullying di kampus tidak bisa dianggap sepele. Banyak mahasiswa mengalami stres berat, kehilangan kepercayaan diri, menarik diri dari pergaulan, bahkan mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Tidak sedikit pula yang akhirnya memilih untuk pindah kampus atau bahkan putus kuliah. Jika dibiarkan, hal ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga mencoreng citra kampus sebagai institusi pendidikan yang seharusnya membina dan melindungi.
Lebih dari sekadar luka emosional, bullying di kampus juga dapat mengganggu proses belajar dan perkembangan akademik mahasiswa. Konsentrasi yang terganggu, semangat belajar yang menurun, serta rasa tidak aman di lingkungan kampus membuat korban sulit mencapai potensi terbaiknya. Dalam jangka panjang, trauma akibat perundungan dapat terbawa hingga ke dunia kerja dan kehidupan pribadi. Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen kampus—baik mahasiswa, dosen, maupun pihak institusi—untuk menyadari seriusnya dampak ini dan mulai bertindak mencegahnya sejak dini.
Bullying di lingkungan kampus dapat berdampak serius pada kesehatan mental korban, bahkan berujung pada tindakan ekstrem seperti penyalahgunaan obat-obatan dan bunuh diri. Menurut laporan dari Gemilang Sehat, perasaan trauma dan kesedihan akibat bullying membuat korban lebih rentan mencari pelarian melalui penggunaan obat-obatan terlarang, penyalahgunaan alkohol, hingga peningkatan risiko stres dan bunuh diri. Menurut penjelasan gemilangsehat.org, 2017 “Perasaan trauma dan sedih akibat menjadi korban bullying juga menjadikan korban jauh lebih rentan untuk ‘melarikan diri’ ke penggunaan obat-obatan terlarang, penyalahgunaan alkohol, hingga naiknya risiko stres dan bunuh diri.”
Bagaimana cara melawan dan mencegah terjadinya tindakan bullying?
Setiap permasalahan pasti memiliki jalan keluar, termasuk masalah bullying yang terjadi di lingkungan kampus. Sebagai mahasiswa, kita memiliki peran penting dalam menciptakan suasana belajar yang aman dan sehat. Salah satunya adalah dengan memiliki keberanian untuk bertindak saat melihat atau mengalami tindakan yang tidak pantas. Ketika merasa diperlakukan tidak adil atau direndahkan, kita perlu berani menyuarakan kebenaran dan tidak membiarkan diri terus-menerus menjadi korban. Diam bukanlah solusi, karena justru dapat memperkuat posisi pelaku.
Sikap tegas dan sigap dalam mengambil keputusan juga menjadi kunci penting dalam menghadapi situasi seperti ini. Kita harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, lalu bertindak dengan bijak dan tepat. Selain itu, saling mendukung antar sesama mahasiswa juga sangat dibutuhkan. Dengan saling menjaga, mendengarkan, dan peduli terhadap sesama, kita bisa membangun lingkungan kampus yang lebih inklusif, empatik, dan terbebas dari budaya perundungan. Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil yang berani.
Menurut berita yang beredar dari psikologi.radenfatah.ac.id, 2024, Fakultas Psikologi UIN Raden Fatah Palembang menyelenggarakan kampanye bertema "Speak Up to Fight: Stop Bullying" dengan tujuan menumbuhkan empati dan solidaritas dalam mengatasi bullying di era digital. Acara ini diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk lebih berani menyuarakan kebenaran dan melaporkan tindakan bullying yang terjadi di lingkungan kampus.
Sikap seperti itulah yang harus ditanamkan dan dikembangkan di kalangan mahasiswa yaitu keberanian untuk berbicara dan bertindak ketika menghadapi perlakuan yang tidak adil atau menyakitkan. Bukan sekadar diam dan memendam perasaan, karena hal itu justru bisa membuat masalah semakin berat dan berdampak negatif pada diri sendiri. Mahasiswa perlu belajar bahwa speak up atau berani menyuarakan ketidakbenaran bukan hanya melindungi diri sendiri, tapi juga membantu menciptakan lingkungan kampus yang lebih sehat, aman, dan menghargai setiap individu.
Selain itu, keberanian untuk speak up juga dapat mendorong terciptanya solidaritas antar mahasiswa. Saat satu orang berani menyuarakan ketidakadilan, hal itu bisa membuka kesempatan bagi orang lain untuk ikut mendukung dan melawan bullying bersama-sama. Dengan begitu, budaya perundungan yang selama ini dianggap wajar atau “biasa” perlahan bisa dihapuskan. Kampus pun akan menjadi tempat yang lebih nyaman dan ramah, di mana setiap mahasiswa merasa dihargai dan terlindungi.
Semua tindakan berani yang kita lakukan untuk melawan bullying sebenarnya bukan hanya demi kebaikan diri sendiri, tetapi juga untuk menyadarkan pelaku agar memahami bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Satu langkah kecil keberanian bisa membawa dampak besar dalam hidup kita, baik untuk melindungi diri maupun memberi contoh bagi orang lain. Jika kita tahu kita berada di pihak yang benar, mengapa harus takut untuk berbicara? tetapi jika masih ingin menjadi pribadi yang tidak berani dalam mengambil tindakan pembelaan diri dan memendam semuanya sendiri, ya, sudah. Akan tetapi, apakah kamu pernah berfikir bagaimana kesehatan mental yang akan berdampak pada diri kamu untuk jangaka waktu yang panjang?[]
Penulis :
Muhammad Raihan Syarif, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang