![]() |
Foto/Ilustrasi |
Dunia saat ini sedang mengalami revolusi komunikasi. Media sosial telah mengubah cara manusia berinteraksi, membentuk opini, dan menilai realitas. Media sosial saat ini juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Media sosial bukan lagi sekedar ruang hiburan. Tetapi juga ladang opini, medan konflik, arena eksistensi, tempat pertarungan narasi, dan tempat siapa pun bisa bersuara, tanpa batas, tanpa sensor nilai, yang kadang-kadang juga sebagai panggung untuk kebohongan dan manipulasi.
Ditengah bergemuruhnya kebisingan media sosial di era digital, munculah pertanyaan penting tentang, Apakah nilai-nilai islam masih relevan, dibicarakan atau bahkan dipegang ditengah ruang digital yang deras arus informasi dan interaksi virtual ini? Media sosial adalah panggung utama dalam kehidupan masyarakat modern, baik urusan pribadi, bisnis dan bahkan ranah spiritual. Namun yang kita ketahui saat ini ditengah banyaknya keramaian, informasi sering kali bercampur antar fakta dan hoaks, bahkan dalam masalah agama antara dakwah dan ujaran kebencian yang akan membuat umat islam dihadapkan pada tantangan baru dalam menjaga integritas nilai dan akhlak mereka.
Islam dan tantangan etika di media sosial
Media sosial menawarkan kebebasan berekspresi yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Seseorang individu saat ini bisa menjadi produsen, influencer penentu opini publik. Namun, kebebasan ini juga membawa resiko yang besar. Saat ini semua hal berada di dalam era informasi overload, dimana fakta bercampur dengan opini, hoaks dan kebenaran, serat kebaikan dengan fitnah. Fenomena hate speech, fitnah, ghibah (menggunjing), hingga penyebaran berita bohong (hoaks) yang menjadi permasalahan serius di berbagai platform digital, seolah sudah menjadi hal yang biasa.
Dalam konteks ini, ajaran Islam sebenarnya hadir sebagai pedoman moral yang sangat relevan dan abadi, karena ajarannya tidak hanya menyangkut hubungan dengan Allah ﷻ, tetapi juga dengan manusia. Dasar islam seperti kejujuran, amanah, tabayun, husnudzan, dan menjaga kehormatan adalah nilai luhur yang sangat dibutuhkan dalam interaksi digital.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam" (HR. Bukhari dan Muslim). Pesan ini sangat aplikatif dalam penggunaan media sosial. Tidak semua hal perlu diungkapkan, tidak semua opini harus disebarluaskan, apalagi jika itu dapat menyakiti atau menyesatkan orang lain.
Ada juga sabda lain Nabi Muhammad ﷺ ; "Sesungguhnya di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmidzi)
Hal ini menunjukkan di tengah derasnya konten yang bersifat konsumtif, provokatif, dan penuh sensasi, hadis ini mengingatkan bahwa tidak semua hal harus dikomentari, tidak semua perdebatan harus diikuti, dan tidak semua tren harus diikuti. Muslim dituntut untuk selektif, kritis, dan sadar akan konsekuensi dari setiap perbuatan, bahkan yang tampak sederhana seperti mengetik komentar atau membagikan unggahan.
Literasi Digital Berbasis Nilai Islam
Salah satu cara menjaga relevansi Islam di era digital adalah melalui penguatan literasi digital berbasis nilai-nilai Islam. Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan mengoperasikan perangkat atau aplikasi, tapi juga mencakup kemampuan memilah informasi, bersikap kritis, dan etis dalam menggunakan teknologi.
Islam mendorong umatnya untuk menjadi cerdas dan bijak dalam bertindak. Hal ini sejalan dengan konsep literasi digital kritis. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ٦
Artinya :"Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu." (QS. Al-Hujurat: 6).
Ayat ini bukan hanya pedoman dalam menerima berita politik atau sosial, tetapi juga sangat kontekstual dalam menghadapi tsunami informasi di internet. Tabayyun menjadi landasan literasi digital islami : tidak langsung membagikan informasi, dan tidak menuduh tanpa bukti.
Dakwah Digital dan Moderasi Beragama
Meskipun media sosial menyimpan potensi negatif, di sisi lain ia juga membuka peluang dakwah yang sangat luas. Dakwah digital kini menjangkau audiens lintas batas negara dan budaya. Namun, tantangannya adalah menjaga konten dakwah tetap dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin, yakni membawa rahmat bagi seluruh alam.
Islam menganjurkan umatnya untuk menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik. Dalam QS. An-Nahl: 125 :
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
Artinya :"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik...". Ini menjadi panduan penting bagi para pendakwah digital agar tidak tergelincir ke dalam provokasi atau fanatisme sempit yang justru merusak citra Islam itu sendiri.
Moderasi beragama atau wasathiyah menjadi konsep penting dalam konteks ini. Ia mengajak umat Islam untuk bersikap seimbang, toleran, dan menghindari sikap ekstrem. Sikap ini sangat penting di media sosial yang sering kali memperbesar polarisasi dan konflik.
Menjadi Muslim yang Adaptif dan Responsif
Relevansi Islam di era digital tidak hanya diukur dari seberapa banyak konten dakwah di media sosial, tetapi juga dari bagaimana umat Islam mampu menjadikan nilai-nilai agama sebagai pedoman dalam menyikapi dinamika digital. Menjadi Muslim digital artinya adaptif terhadap teknologi, namun tetap teguh dalam prinsip. Namun, dakwah digital juga perlu kehati-hatian. Jangan sampai semangat berdakwah terjebak dalam sensasionalisme, memotong dalil tanpa konteks, atau mengejar viralitas dengan mengorbankan kebenaran ilmiah. Islam tidak mengajarkan popularitas, tetapi integritas.
Umat Islam perlu mengembangkan kepekaan terhadap isu-isu kontemporer, seperti perlindungan data pribadi, privasi digital, cyberbullying, dan adiksi media sosial. Semua ini harus dihadapi dengan pendekatan yang bijak, dengan tetap menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah.
Relevansi Islam Tak Pernah Pudar
Islam bukan hanya relevan di era digital, tetapi justru semakin dibutuhkan. Dalam dunia yang semakin gaduh, Islam menawarkan ketenangan. Dalam arus informasi yang membanjir, Islam mengajarkan ketelitian. Dalam interaksi yang sering kali menyulut emosi, Islam mengajarkan kelembutan dan kasih sayang.
Tantangan media sosial bukan alasan untuk meninggalkan nilai-nilai agama, tapi justru menjadi medan baru untuk menegaskan kembali misi Islam sebagai agama rahmat, kebaikan, dan pencerahan.
Kesimpulan
Di tengah arus deras informasi dan kebisingan media sosial, nilai-nilai Islam justru semakin menunjukkan relevansinya. Ajaran Islam yang menekankan etika komunikasi, pentingnya verifikasi informasi (tabayyun), serta penguatan akhlak mulia menjadi pedoman yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi dinamika dunia digital saat ini.
Islam tidak hanya relevan, tetapi juga mampu memberikan solusi atas berbagai tantangan era digital—mulai dari penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga degradasi moral di ruang publik maya. Melalui penguatan literasi digital berbasis nilai-nilai Islam, dakwah yang moderat dan bijak, serta sikap adaptif namun tetap berprinsip, umat Islam dapat berkontribusi aktif dalam menciptakan peradaban digital yang beretika dan beradab.
Dengan demikian, media sosial bukanlah ancaman bagi nilai-nilai keislaman, melainkan lahan strategis untuk menegaskan kembali misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, selama digunakan secara cerdas, santun, dan bertanggung jawab.
Penulis
Lutfi Fira Firnanda dan Yelis Nurwahidah, M.Si (Mahasiswi Aktif dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Madani Yogyakarta)