![]() |
Foto (Ilustrasi/nusantaranews) |
Terlepas dari pesatnya arus pengetahuan global, masyarakat adat tetap menjadi salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap konsekuensi negatif dari disinformasi. Marjinalisasi historis, akses media yang terbatas, dan kurangnya representasi politik membuat mereka rentan terhadap hoaks, narasi palsu, dan distorsi sejarah.
Padahal, masyarakat adat memiliki kekayaan budaya, pengetahuan lokal, dan metode hidup berkelanjutan yang sangat penting bagi masa depan dunia. Melindungi masyarakat adat bukan hanya masalah hak asasi manusia, tetapi juga merupakan investasi moral dan lingkungan jangka panjang. Sayangnya, diskriminasi terhadap mereka semakin rumit, termasuk penyangkalan sejarah dan manipulasi informasi.
Siapa itu Masyarakat Adat?
Menurut akademisi Ekuador Jose R. Martinez Cobo, masyarakat adat adalah suku-suku yang memiliki kesinambungan sejarah dengan peradaban pra-invasi dan pra-kolonial di wilayah mereka. Mereka telah mempertahankan identitas budaya, hukum, dan sosial mereka meskipun sering kali menjadi komunitas yang terpinggirkan secara politik dan ekonomi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui hak masyarakat adat untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, sebuah konsep mendasar yang sayangnya sering diabaikan ketika pihak luar, terutama media, memaksakan identitas dan narasi kepada mereka.
Disinformasi yang Menghancurkan
Penyangkalan Sekolah Residential di Kanada adalah contoh nyata bagaimana disinformasi merusak masyarakat adat. Sekolah-sekolah residensial adalah lembaga-lembaga yang dengan sengaja memisahkan anak-anak Pribumi dari keluarga mereka untuk “mengasimilasikan” mereka ke dalam budaya Euro-Kanada yang dominan.
Lembaga-lembaga ini tidak hanya merampas identitas budaya anak-anak, tetapi juga menjadi tempat terjadinya pelecehan fisik, psikologis, dan seksual yang meluas. Penemuan 215 kuburan tak bertanda di lokasi sekolah perumahan yang sudah tidak berfungsi di Kamloops pada tahun 2021 merupakan momen penting dalam kesadaran publik.
Namun, alih-alih mendorong empati dan pengampunan, reaksinya justru berbanding terbalik. Gelombang penyangkalan telah berkembang, didorong oleh para pejabat politik dan opini media yang melabelinya sebagai “konspirasi” atau “kebohongan massal”. Ini bukan sekadar pemutarbalikan sejarah; ini adalah bentuk lain dari kekerasan simbolik yang menghapus trauma dan merongrong legitimasi upaya-upaya masyarakat adat.
Kesenjangan Representasi dan Akses
Menurut data UNESCO tahun 2024, hanya dua dari sembilan sumber media utama yang secara konsisten memberikan pemberitaan yang netral mengenai masalah-masalah masyarakat adat. Belum lagi posisi kesejahteraan mereka. 18,2% masyarakat adat hidup dalam kemiskinan ekstrem, dengan angka harapan hidup hingga 20 tahun lebih rendah dari kelompok lain, dan mereka menghadapi tantangan signifikan untuk mendapatkan pendidikan dan layanan publik.
Disinformasi adalah ancaman digital yang nyata
Hoaks dan narasi yang menipu tidak hanya membahayakan reputasi kelompok-kelompok masyarakat adat. Disinformasi dapat menyebabkan: 1) Mendelegitimasi klaim atas keadilan dan kompensasi; 2) Melanggengkan diskriminasi dan kekerasan; 3) Menyerang para aktivis HAM dengan menggunakan media digital; 4) Mengglorifikasi para pelaku diskriminasi; dan 5) Memutuskan hubungan solidaritas, terutama secara online.
Solusi: Dari Grassroott ke Regulasi Global
Menangkal disinformasi terhadap masyarakat adat tidak cukup hanya dengan membantah hoaks dan verifikasi fakta saja. Butuh pendekatan multi-level yang mencakup:
1. Media berbasis komunitas adat: Memberdayakan jurnalisme adat untuk menyampaikan narasi dari perspektif mereka sendiri.
2. Pendidikan dan literasi media: Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali dan melawan informasi palsu.
3. Reformasi kebijakan dan regulasi: Mengikutsertakan perwakilan masyarakat adat dalam perumusan regulasi digital dan kebijakan publik.
4. Penguatan keamanan digital: Membangun jejaring advokasi yang mampu melindungi pembela HAM dari serangan daring.
5. Akuntabilitas platform teknologi: Menuntut pertanggungjawaban dari media sosial dan perusahaan teknologi atas penyebaran konten hoaks.
Melindungi yang Rentan, Menjaga Masa Depan
Masyarakat adat bukan hanya korban sejarah—mereka adalah penjaga masa depan. Namun mereka tidak bisa terus berjuang sendiri. Sudah saatnya publik, negara, media, dan sektor teknologi bergandengan tangan memastikan bahwa suara-suara yang selama ini dibungkam bisa didengar dan dihormati.
Karena ketika hoaks merajalela, yang paling rentan bukan hanya kebenaran, tapi juga kemanusiaan kita sendiri. Kini saatnya kita tidak hanya mendengarkan, tapi juga berdiri bersama mereka—melawan hoaks, membela kebenaran, dan menjaga kemanusiaan.[]
Penulis:
Adinda Ayu Melati Nugroho Putri, mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sisial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, email: adindaaaayuu23@gmail.com