Notification

×

Iklan

Iklan

#KaburAjaDulu: Ketika Generasi Muda Membahas Etika, Bukan Hanya Pelarian

Kamis, 19 Juni 2025 | Juni 19, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-19T06:14:39Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Merliani Malau (Foto/dok. pribadi)

Di balik adanya tagar #KaburAjaDulu yang viral, terdapat pemikiran mendalam mengenai kegelisahan kaum muda, tanggung jawab sosial, dan urgensi solusi nyata dari pemerintah. 


Media sosial kembali ramai dengan tagar #KaburAjaDulu, yang banyak dipakai oleh generasi muda Indonesia sejak awal tahun 2025. Di balik nuansa guyon dan sindiran, tagar ini menggambarkan keresahan bersama mengenai kenyataan yang dihadapi generasi muda saat ini: sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, tingginya biaya hidup, ketidakpastian tentang masa depan, serta kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. 


Banyak yang benar-benar mulai mempertimbangkan untuk pergi ke luar negeri sebagai pilihan utama, bukan sekadar angan-angan. Di sini muncul pertanyaan penting: apakah ini sekadar reaksi sesaat, ataukah ini adalah refleksi serius yang menyimpan tantangan etis? 


Fenomena ini dapat dilihat dari dua perspektif. Di satu sisi, keinginan anak muda untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri dianggap sebagai hak pribadi yang sah. Tetapi, di sisi lain, jika fenomena ini meluas dan tidak ditangani dengan bijak, dapat berubah menjadi bentuk “silent exit” dari partisipasi sosial dan politik di tanah air. Keputusan untuk "kabur" bukan sekadar pilihan individu; ini berdampak pada masa depan bangsa. 


Dalam hal ini, etika sangat penting. Generasi muda perlu bertanya, “Apakah saya ingin menghindari masalah atau berkontribusi untuk menciptakan solusi? ” Etika bukan hanya sekadar tentang menilai pilihan orang lain, melainkan tentang keberanian untuk bertanggung jawab atas konsekuensinya, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat dan lingkungan sekitar. 


Generasi muda adalah agen perubahan yang paling aktif. Saat mereka mulai kehilangan harapan, negara ini kehilangan sumber energi terbesar. Oleh karena itu, kita perlu mendorong anak muda untuk tetap kritis, sambil memberikan mereka nilai-nilai etika tanggung jawab sosial. 


Mereka perlu diberdayakan untuk jujur pada kondisi yang ada, serta belajar untuk mengekspresikan kegelisahan dengan cara yang sehat, bermartabat, dan konstruktif. Media sosial dapat menjadi platform yang sangat efektif untuk menyampaikan aspirasi, selama dipakai dengan etika digital yang baik berdasarkan fakta, sopan dalam menggunakan bahasa, serta memiliki niat yang konstruktif. 


Namun, harapan etis ini tidak dapat terealisasi tanpa adanya tindakan konkret. Pemerintah dan komunitas lokal harus mengambil langkah-langkah nyata. Contohnya, menyediakan platform bimbingan karir yang berbasis komunitas, memperluas akses pelatihan kewirausahaan dan program magang, serta menciptakan ekosistem kerja yang adil dan inklusif. 


Sekolah dan universitas juga bertanggung jawab untuk tidak hanya mengajarkan teori kewarganegaraan, tetapi juga mendorong siswa berdiskusi tentang isu terkini, agar mereka terbiasa berpikir kritis dan etis sejak dini. Di sisi lain, anak muda sendiri dapat memulai gerakan kolektif dari mengadakan forum diskusi, membuat petisi publik, hingga proyek sosial melalui media digital. Kita perlu lebih banyak narasi “tinggal dan membangun” daripada “pergi dan melupakan”. 


Pada akhirnya, #KaburAjaDulu lebih dari sekadar tagar populer, itu adalah cerminan nyata dari suara generasi muda yang ingin didengar dan dipahami. Kita tidak bisa mengabaikannya dengan alasan “kurang nasionalis” atau “mental instan”. Sebaliknya, kita seharusnya memandang ini sebagai seruan untuk memperbaiki sistem, membuka peluang partisipasi, dan membangun kembali narasi harapan yang bisa membangkitkan semangat anak muda. 


Etika generasi muda saat ini tidak hanya berkaitan dengan idealisme yang indah, tetapi juga tentang keberanian untuk bertahan, berpikir, dan bertindak demi masa depan yang lebih baik-baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk negara yang mereka cintai.


Penulis :

Merliani Malau, Lini Malau, Gita Susi Siregar (Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas) dan Helena Sihotang (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas) Medan Sumatera Utara

×
Berita Terbaru Update