Notification

×

Iklan

Iklan

Pemerintah Daerah Bangka Belitung dalam Sorotan Supremasi Hukum dan Good Govermance

Rabu, 11 Juni 2025 | Juni 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-11T11:09:26Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Muhamad Aksal Subandi (Foto/dok. Pribadi)

Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat bahwa dinamika pemerintahan daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menjadi salah satu refleksi penting mengenai bagaimana prinsip-prinsip hukum diterapkan dalam konteks otonomi daerah. Sejak diberlakukannya desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah memiliki ruang yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun, otonomi itu tidak boleh diartikan sebatas kewenangan administratif belaka. Ia harus dijalankan berdasarkan prinsip rule of law, keadilan sosial, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).


Dalam konteks Bangka Belitung, saya menyoroti setidaknya tiga aspek utama yang patut menjadi perhatian dari perspektif hukum: lemahnya penegakan hukum terhadap tambang ilegal, minimnya partisipasi publik dalam proses kebijakan, dan belum maksimalnya transparansi serta akuntabilitas anggaran daerah.


Pertama, persoalan tambang timah ilegal sudah menjadi isu klasik yang seolah tidak kunjung terselesaikan. Meski aktivitas pertambangan menjadi sumber ekonomi utama, namun praktiknya seringkali tidak patuh terhadap ketentuan hukum. Banyak kegiatan penambangan dilakukan tanpa izin resmi (IUP), bahkan ada yang beroperasi di kawasan hutan lindung dan wilayah pesisir yang dilindungi. Hal ini jelas melanggar UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Pertanyaannya, di mana peran pemerintah daerah dalam menegakkan hukum? Apakah mereka sudah menjalankan kewajibannya sebagai pengawas dan pelindung lingkungan hidup? Dalam banyak kasus, kita melihat adanya pembiaran, bahkan indikasi pembiaran yang disengaja karena alasan ekonomi politik. Padahal dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk asas kecermatan, keadilan, dan kepastian hukum, pejabat publik wajib mencegah kerusakan lingkungan serta menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat dari dampak negatif aktivitas pertambangan.


Kedua, dalam perspektif hukum tata negara, partisipasi publik merupakan unsur penting dalam proses demokrasi lokal. Namun di Bangka Belitung, kebijakan publik masih banyak yang diambil secara top-down tanpa konsultasi yang substansial dengan masyarakat. Forum musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) seringkali hanya formalitas. Masyarakat tidak diberikan ruang yang cukup untuk mengkritisi atau bahkan memahami kebijakan daerah yang akan berdampak langsung terhadap kehidupan mereka.


Padahal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diubah oleh UU No. 13 Tahun 2022, secara tegas menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat harus bersifat meaningful participation, yaitu keterlibatan aktif sejak perencanaan hingga evaluasi kebijakan. Pemerintah daerah seharusnya mengakomodasi suara rakyat, bukan hanya elite politik atau kelompok pengusaha yang punya akses kekuasaan.


Ketiga, masalah transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Banyak masyarakat yang tidak tahu ke mana arah belanja daerah, bagaimana proyek infrastruktur dijalankan, dan apakah anggaran pendidikan dan kesehatan digunakan secara optimal. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengharuskan pemerintah daerah menyediakan informasi yang terbuka dan mudah diakses. Namun pada kenyataannya, website-website resmi OPD (Organisasi Perangkat Daerah) di Bangka Belitung masih minim data yang komprehensif, dan mekanisme pengaduan publik belum berjalan maksimal.


Sebagai mahasiswa hukum, saya yakin bahwa membangun Bangka Belitung tidak cukup dengan pendekatan ekonomi saja. Daerah ini membutuhkan pemerintahan yang berbasis hukum, menjunjung tinggi keadilan, dan memihak pada masyarakat kecil. Pemerintah daerah harus menjadi pelayan rakyat, bukan justru tunduk pada kepentingan elite ekonomi. Reformasi birokrasi, penguatan sistem pengawasan, serta pelibatan akademisi dan mahasiswa dalam evaluasi kebijakan adalah langkah-langkah yang bisa diambil untuk memperbaiki situasi ini.


Bangka Belitung punya potensi besar untuk menjadi provinsi yang maju secara ekonomi dan berkeadilan sosial. Tapi itu semua hanya bisa dicapai jika pemerintahan daerah berani menegakkan hukum secara konsisten, mewujudkan pemerintahan yang bersih, dan memastikan seluruh kebijakan berlandaskan konstitusi dan prinsip-prinsip negara hukum.[]


Penulis :

Muhamad Aksal Subandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung


×
Berita Terbaru Update