![]() |
Ester Eginna Br Sihombing (foto/dok. pribadi) |
Dalam ritme kerja yang semakin intens dan cepat berubah, para profesional sering kali dihadapkan pada dilema tersembunyi: memilih antara meraih prestasi karier atau merawat kedekatan dengan keluarga. Rutinitas kini lebih berpusat pada layar kerja dan deadline, sedangkan ruang keluarga perlahan kehilangan fungsinya sebagai tempat istirahat batin. Ini bukan sekadar soal bagaimana kita mengatur waktu, melainkan tentang bagaimana kita menata ulang nilai, terutama nilai-nilai etika profesi yang seharusnya tidak hanya berlaku di tempat kerja, tapi juga dalam kehidupan pribadi.
Di tengah budaya kerja yang mengaitkan sukses dengan capaian angka, pertanyaan sederhana seperti “Bagaimana kabar anak hari ini?” menjadi jarang terdengar. Atau, kapan terakhir kali kita benar-benar hadir secara utuh di tengah keluarga tanpa distraksi pekerjaan? Pertanyaan ini menjadi sulit dijawab dengan kejujuran yang tulus. Padahal, keberhasilan sejati tidak seharusnya dibayar mahal dengan hilangnya keintiman dan kebersamaan.
Nilai-nilai seperti integritas, tanggung jawab, dan kebebasan pribadi kerap terdengar lantang di seminar atau tertulis di dinding kantor, namun minim perwujudan nyata. Sementara dalam realitas, prinsip-prinsip itu luput dari keseharian. Padahal, justru dalam keputusan-keputusan kecil sehari-hari, termasuk bagaimana membagi waktu antara kantor dan rumah, nilai-nilai itu diuji.
Tanggung Jawab dan Integritas: Ketika Dua Peran Saling Menuntut
Sering kali tanggung jawab diartikan sebatas penyelesaian tugas secara tertib. Padahal, ada bentuk tanggung jawab yang lebih halus: kepada keluarga yang menantikan kehadiran penuh makna. Dua dunia ini kerap bertabrakan. Banyak orang tua yang harus absen dari momen penting anaknya karena pertemuan mendadak. Tak jarang pula pasangan merasa dijauhi secara emosional karena fokus dan energi tersedot habis untuk urusan kerja.
Potret keseharian yang tidak masuk laporan mingguan kerap memperlihatkan betapa seseorang membawa kantornya hingga ke meja makan: seorang ibu yang tertidur di sofa dengan dokumen masih terbuka, atau seorang ayah yang menatap layar ponsel saat anaknya bercerita penuh semangat. Dalam kondisi seperti ini, integritas diuji bukan hanya dalam urusan administratif, tapi juga dalam keselarasan antara nilai-nilai pribadi dan perilaku nyata.
Jika seseorang meyakini bahwa keluarga adalah pilar utama dalam hidupnya, maka pilihan dan tindakan sehari-hari semestinya mencerminkan hal itu. Integritas sejati bukan hanya soal bagaimana kita dipandang dalam profesi, tetapi juga tentang bagaimana kita menjaga koneksi emosional dengan orang-orang terdekat.
Keadilan dan Otonomi: Mengambil Pilihan yang Manusiawi
Keadilan, dalam konteks etika, berarti memberikan yang layak kepada semua pihak yang terdampak oleh keputusan kita. Namun, tak jarang keluarga menjadi pihak yang dikorbankan tanpa sadar. Kita mengerahkan energi terbaik untuk pekerjaan dan orang-orang di kantor, namun hanya menyisakan kelelahan saat kembali ke rumah.
Ini menciptakan ketidakseimbangan yang tidak selalu terlihat, tapi dampaknya nyata. Anak mungkin tidak marah ketika orang tua absen dari acara penting, dan pasangan bisa memilih diam saat malam demi malam berlalu tanpa komunikasi mendalam. Ketika komunikasi mendalam tak lagi terjadi, kehampaan emosional pun lambat laun mulai menyusup.
Sementara prinsip otonomi mengedepankan kebebasan mengambil keputusan secara sadar, banyak profesional justru merasa terperangkap dalam sistem kerja yang menuntut pengabdian total, sampai-sampai timbul rasa bersalah saat ingin meluangkan waktu bagi diri sendiri atau keluarga.
Keputusan untuk berkata “cukup” atau “nanti saja” mencerminkan kematangan etis. Ketika seseorang sengaja menonaktifkan notifikasi kerja demi menikmati waktu akhir pekan bersama keluarga, itu bukan sikap lalai, tetapi bentuk kesadaran untuk mempertahankan kesehatan jiwa dan keseimbangan hidup.
Menempatkan keluarga sebagai prioritas bukan berarti menomorduakan karier. Justru hal itu menunjukkan komitmen terhadap prinsip hidup yang mendasar. Hal ini hanya bisa terwujud jika seseorang berani mempertahankan keutuhan dirinya di tengah sistem yang sering kali mendorong kita untuk melupakan sisi kemanusiaan.
Dalam dunia yang terus menuntut percepatan dan pencapaian, penting bagi kita untuk berhenti sejenak dan mengajukan pertanyaan mendasar: untuk siapa dan untuk apa semua ini dijalankan? Haruskah predikat karyawan ideal didapat dengan mengorbankan ruang hidup pribadi?
Profesionalisme yang Manusiawi
Profesional sejati adalah mereka yang tetap terhubung dengan jati dirinya selama bekerja. Ini mencakup kemampuan hadir secara emosional, menjaga keseimbangan kebutuhan pribadi dan orang terdekat, dan menyadari bahwa karier hanyalah satu aspek dalam hidup, bukan seluruhnya. Mungkin inilah inti dari etika profesional: bukan sekadar soal pencapaian, tapi bagaimana kita tetap utuh sebagai manusia saat meraihnya.
Ruang Kerja, Ruang Hati
Etika dalam profesi tidak berakhir di ruang rapat atau lembar evaluasi. Ia hidup dalam pilihan sehari-hari. Dalam keputusan untuk tidak membuka email saat makan malam. Dalam upaya untuk mendengarkan anak tanpa terdistraksi. Dalam kesadaran bahwa kerja keras harus diimbangi dengan cinta yang hadir secara nyata.
Menjadi profesional sejati tidak hanya berarti mencapai target, tetapi juga memastikan bahwa keluarga tidak kehilangan kehadiran kita. Sebab di akhir hari, yang akan diingat bukanlah jabatan atau penghargaan, melainkan perasaan dihargai, dilibatkan, dan dicintai oleh mereka yang ada di rumah.
Pekerjaan bisa berganti arah, prestasi bisa berubah bentuk. Namun, momen bersama orang terkasih tak dapat diulang kembali. Di balik keberhasilan profesional, idealnya ada sosok yang mengerti kapan saatnya bekerja dengan totalitas dan kapan waktunya pulang dengan sepenuh hati.
Jadi, menurut penulis, profesionalisme yang sejati bukanlah tentang bekerja tanpa henti, melainkan tentang kemampuan menjaga keseimbangan antara tanggung jawab di kantor dan peran sebagai anggota keluarga. Di tengah tekanan dunia kerja modern, justru kesadaran untuk tetap hadir secara utuh baik di ruang kerja maupun ruang hati adalah bentuk etika tertinggi yang perlu terus dirawat.
Penulis :
Ester Eginna Br Sihombing, Stefani Simarmata, Ezra Nainggolan (Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas) dan Helena Sihotang (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas)