Notification

×

Iklan

Iklan

Negosiasi di Tempat Kerja antara Manajer dan Karyawan

Minggu, 20 Juli 2025 | Juli 20, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-20T02:28:35Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi

Di tengah dinamika dunia kerja yang semakin kompleks, negosiasi menjadi salah satu keterampilan penting yang harus dimiliki, baik oleh manajer maupun karyawan. Dalam relasi kerja yang ideal, negosiasi tidak hanya terjadi saat menyusun kontrak kerja atau menyelesaikan konflik, tetapi juga dalam keseharian, seperti pembagian tugas, permintaan cuti, hingga penilaian kinerja.

 

Sayangnya, banyak orang masih menganggap negosiasi sebagai proses yang rumit, bahkan menyeramkan. Padahal, negosiasi justru merupakan seni komunikasi yang bertujuan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

 

Negosiasi yang efektif menuntut kemampuan berpikir terbuka, empati terhadap sudut pandang lawan bicara, serta kecakapan dalam menyampaikan argumen secara persuasif tanpa menciptakan ketegangan. Dalam praktiknya, negosiasi bukan hanya soal siapa yang berbicara lebih lantang, tetapi siapa yang mampu mendengarkan lebih dalam.

 

Seorang karyawan yang cermat memahami prioritas organisasi akan lebih mudah mengajukan permintaan yang masuk akal, sementara seorang manajer yang memahami kebutuhan personal karyawan akan lebih bijak dalam mengambil keputusan yang adil.

 

Oleh karena itu, negosiasi juga mencerminkan kualitas hubungan interpersonal di tempat kerja—semakin sehat komunikasi antarindividu, semakin besar pula peluang tercapainya kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Inilah alasan mengapa negosiasi tidak boleh dipandang sebagai konfrontasi, melainkan sebagai kolaborasi.

 

Menurut Robbins dan Judge (2017) dalam buku Organizational Behavior, negosiasi adalah proses di mana dua pihak atau lebih bertukar barang atau jasa dan berusaha menyepakati tingkat pertukaran yang optimal bagi masing-masing pihak. Dalam konteks tempat kerja, proses ini sangat relevan karena mencerminkan interaksi antara pihak manajemen dan pegawai dalam menyatukan kepentingan yang kadang berbeda.

 

Seorang manajer tentu memiliki target organisasi yang harus dicapai, sedangkan karyawan menginginkan kenyamanan, pengakuan, dan penghargaan yang sesuai atas kontribusinya. Jika tidak ada keterbukaan dan komunikasi yang sehat, hubungan kerja bisa berubah menjadi medan konflik tersembunyi.

 

Saya percaya bahwa negosiasi bukanlah soal siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang menemukan titik temu yang menguntungkan semua pihak. Salah satu contoh nyata adalah ketika seorang karyawan mengajukan permohonan kerja fleksibel demi menyeimbangkan urusan keluarga.

 

Jika manajer hanya berpegang pada aturan kaku tanpa mempertimbangkan kondisi individual, maka yang terjadi adalah penolakan sepihak yang bisa berdampak pada penurunan motivasi kerja.

 

Namun, jika manajer membuka ruang diskusi dan mempertimbangkan alternatif seperti kerja hybrid atau penyesuaian jam kerja, maka kepercayaan dan loyalitas karyawan justru bisa meningkat.

 

Lebih dari sekadar mencari solusi praktis, negosiasi semacam ini juga berperan sebagai cerminan budaya organisasi. Ketika karyawan merasa didengar dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya, maka mereka akan merasa lebih dihargai dan termotivasi untuk memberikan kinerja terbaik.

 

Di sisi lain, manajer yang mampu menunjukkan fleksibilitas dan empati tidak hanya memperkuat hubungan interpersonal, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang adaptif dan inklusif.

 

Dalam jangka panjang, sikap saling percaya yang dibangun melalui proses negosiasi ini menjadi modal sosial yang sangat berharga bagi keberlangsungan organisasi, terutama di tengah dunia kerja yang terus berubah dan menuntut kolaborasi lintas peran.

 

Dalam buku Essentials of Negotiation karya Lewicki, Barry, dan Saunders (2020), dijelaskan bahwa pendekatan negosiasi distributif dan integratif menjadi dua gaya utama yang sering digunakan.

 

Pendekatan distributif bersifat kompetitif dan cenderung melihat sumber daya sebagai terbatas, sehingga fokusnya adalah mendapatkan keuntungan sebesar mungkin bagi diri sendiri.

 

Sebaliknya, pendekatan integratif bersifat kolaboratif dan berusaha mencari solusi “menang-menang”. Menurut saya, di lingkungan kerja yang produktif dan sehat, pendekatan integratif harus menjadi budaya yang ditanamkan oleh pimpinan organisasi.

 

Namun, membangun budaya negosiasi yang sehat tidaklah instan. Diperlukan pelatihan komunikasi asertif, empati, dan keterampilan mendengarkan aktif. Banyak kasus ketegangan antara manajer dan karyawan yang sebenarnya bisa dihindari jika kedua belah pihak tidak langsung bereaksi, melainkan memilih untuk bertanya dan mendengar terlebih dahulu.

 

Karyawan juga perlu memahami bahwa mereka memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, namun harus dilakukan dengan etika dan profesionalisme. Di sisi lain, manajer harus mampu bersikap terbuka, tidak defensif, dan mau menerima masukan dari bawahannya.

 

Saya pribadi pernah mengalami situasi di mana rekan kerja saya merasa keberatan dengan penugasan lembur yang diberikan tanpa diskusi sebelumnya. Ia merasa tidak dihargai, sementara manajer merasa lembur adalah bagian dari tanggung jawab pekerjaan.

 

Ketegangan sempat meningkat, hingga akhirnya diadakan pertemuan terbuka. Dalam forum tersebut, masing-masing pihak diberi ruang untuk berbicara tanpa saling menyela. Akhirnya disepakati bahwa lembur tetap dilakukan tetapi dengan sistem giliran dan pemberitahuan minimal 24 jam sebelumnya.

 

Momen itu membuat saya sadar bahwa negosiasi bukan hanya tentang hasil, tetapi juga tentang proses membangun kepercayaan.

 

Dalam Islam, negosiasi juga dikenal sebagai bagian dari musyawarah (syura) yang sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan. Al-Qur’an dalam Surah Asy-Syura ayat 38 menyebutkan ciri orang beriman adalah yang “urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka”.

 

Artinya, komunikasi terbuka dan negosiasi bukan sekadar kebutuhan organisasi modern, tetapi juga prinsip luhur dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, manajer dan karyawan yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah dan saling menghargai akan menciptakan suasana kerja yang harmonis dan produktif.

 

Dengan menanamkan nilai-nilai musyawarah dalam praktik kerja sehari-hari, organisasi tidak hanya membangun budaya yang adil dan inklusif, tetapi juga mengaktualisasikan ajaran Islam secara nyata dalam kehidupan profesional.

 

Musyawarah mendorong setiap individu untuk terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, yang pada akhirnya menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif terhadap hasil yang dicapai. Dalam hubungan antara manajer dan karyawan, musyawarah menjadi wadah untuk menyelaraskan visi, menyelesaikan perbedaan dengan cara yang bijak, serta memperkuat ikatan emosional yang berdampak pada meningkatnya loyalitas dan semangat kerja.

 

Dengan demikian, penerapan musyawarah dalam negosiasi kerja bukan hanya berdampak pada efisiensi organisasi, tetapi juga menjadi bentuk implementasi nilai spiritual yang membawa keberkahan dan ketenangan dalam lingkungan kerja.

 

Selain itu, Brodow (2006) juga menekankan pentingnya memahami power dynamics atau dinamika kekuasaan dalam negosiasi. Dalam konteks organisasi, manajer memang memiliki posisi struktural yang lebih tinggi, namun itu tidak berarti karyawan kehilangan daya tawarnya.

 

Menurut Brodow, kekuatan dalam negosiasi tidak hanya berasal dari jabatan, tetapi juga dari informasi, keahlian, dan kepercayaan diri. Ketika karyawan memiliki data yang akurat, ide yang bernilai, serta kemampuan untuk menyampaikan pendapat secara logis dan terstruktur, maka mereka dapat menjadi pihak yang diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan.

 

Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk membangun budaya kerja yang mendorong transparansi informasi dan kesetaraan dalam menyuarakan pendapat.

 

Lebih jauh, Brodow juga menekankan bahwa keberhasilan negosiasi tidak selalu diukur dari apakah seseorang mendapatkan semua yang diinginkan, melainkan dari apakah semua pihak merasa diperlakukan secara adil dan mendapatkan sesuatu yang bernilai.

 

Di sinilah pentingnya prinsip win-win solution atau solusi saling menguntungkan, yang juga menjadi semangat utama dalam pendekatan negosiasi integratif. Dalam lingkungan kerja, keberhasilan sebuah negosiasi bisa jadi tidak menghasilkan hasil yang sempurna bagi semua pihak, tetapi menciptakan rasa puas, adil, dan dapat diterima bersama. Rasa keadilan inilah yang nantinya membentuk loyalitas dan kohesi tim yang kuat dalam organisasi.

 

Lebih lanjut, Brodow mengingatkan bahwa negosiasi adalah proses yang dinamis dan perlu dilatih secara konsisten. Sama halnya dengan keterampilan profesional lainnya, negosiasi bukan bakat bawaan semata, melainkan hasil dari pembelajaran, praktik, dan refleksi diri yang terus-menerus.

 

Organisasi yang secara sadar memberikan ruang pelatihan dan simulasi negosiasi bagi karyawan dan pimpinan menunjukkan kepedulian terhadap kualitas hubungan kerja internal mereka.

 

Dengan kata lain, investasi dalam pengembangan kapasitas negosiasi bukan hanya akan meningkatkan efektivitas komunikasi, tetapi juga menciptakan budaya organisasi yang lebih dewasa secara emosional dan strategis dalam menghadapi berbagai tantangan.

 

Akhirnya, menggabungkan pendekatan praktis yang ditawarkan oleh Brodow dengan nilai-nilai etis dan spiritual yang dijunjung tinggi dalam Islam, memberikan kerangka yang utuh dan seimbang dalam membangun budaya negosiasi yang konstruktif.

 

Manajer dan karyawan tidak hanya dituntut untuk cakap secara teknis, tetapi juga harus mampu menanamkan niat yang ikhlas, niat untuk bekerja sama, dan niat untuk saling memahami.

 

Dengan kesadaran ini, negosiasi tidak lagi dipandang sebagai alat untuk memenangkan argumen, tetapi sebagai media untuk membangun peradaban kerja yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan.

 

Kesimpulannya, negosiasi di tempat kerja antara manajer dan karyawan bukanlah sekadar teknik menyelesaikan perbedaan, melainkan jembatan yang memperkuat kerja sama dan membangun rasa saling percaya.

 

Dengan mengedepankan komunikasi terbuka, empati, dan prinsip keadilan, setiap organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan berkelanjutan. Dalam era ketidakpastian dan perubahan cepat seperti sekarang, kemampuan bernegosiasi menjadi aset berharga yang tak bisa diabaikan. Bukan hanya untuk memenangkan argumen, tetapi untuk memenangkan hati dan menjaga relasi.

 

Sebagai penutup, penting bagi setiap organisasi untuk menjadikan negosiasi sebagai bagian dari budaya kerja yang melekat, bukan sekadar respons terhadap konflik atau situasi krisis. Investasi dalam pelatihan komunikasi, penguatan nilai empati, serta penerapan prinsip musyawarah akan memberikan dampak jangka panjang yang signifikan terhadap kualitas hubungan antarindividu di tempat kerja.[] 

 

Penulis :

Wulan Fitriani, Mahasiswa Manajemen Bisnis Syariah Institut Agama Islam SEBI

×
Berita Terbaru Update