Notification

×

Iklan

Iklan

Tradisi Madura dalam Ilmu Pengetahuan: Perspektif Agama dan Filsafat dalam Konteks Kearifan Lokal

Kamis, 10 Juli 2025 | Juli 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-10T02:05:00Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Siti Risa (Foto/dok. pribadi)

Masyarakat Madura dikenal luas akan karakteristiknya yang kuat dalam menjaga tradisi, memegang teguh ajaran agama Islam, serta memiliki sistem nilai dan kearifan lokal yang khas. Dalam arus perkembangan ilmu pengetahuan modern, masyarakat Madura tidak serta-merta meninggalkan identitas budayanya. Sebaliknya, tradisi dan nilai-nilai lokal Madura menjadi lensa untuk menanggapi, memahami, bahkan menyaring ilmu pengetahuan yang datang dari luar.


Pengetahuan, dalam pandangan masyarakat Madura, tidak hanya dipandang sebagai hasil dari rasionalitas dan observasi ilmiah semata, melainkan juga berkaitan erat dengan nilai spiritual, moral, dan sosial. Esai ini akan membahas bagaimana tradisi Madura menyikapi ilmu pengetahuan dengan perspektif agama dan filsafat, serta bagaimana kearifan lokal menjadi medium penyaring dalam menerima atau menolak suatu bentuk pengetahuan.


Tradisi Madura: Perpaduan Agama dan Budaya


Secara historis, masyarakat Madura sangat religius. Mayoritas penduduk Madura adalah Muslim, dan pesantren menjadi institusi penting dalam transmisi ilmu pengetahuan agama. Tradisi keislaman ini kemudian berasimilasi dengan budaya lokal, menghasilkan bentuk kearifan yang khas seperti rongkang, sowan kyai, toron (ritual ziarah), dan carok (resolusi konflik, meskipun kini banyak dikritisi).


Dalam tradisi Madura, ilmu bukan hanya perkara akademik atau sains, tetapi juga menyangkut ilmu laduni, ilmu kebijaksanaan, serta ilmu yang "berkah" karena diraih melalui proses spiritual seperti tirakat, ngaji, atau tabarukan (mengambil berkah dari ulama).


Perspektif Agama: Ilmu sebagai Jalan Menuju Tuhan


Dalam kerangka Islam yang dianut masyarakat Madura, ilmu adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad SAW, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” Ilmu yang dicari bukan hanya untuk duniawi, tetapi juga untuk bekal akhirat.


Di Madura, tradisi keilmuan ini dijaga melalui pesantren, di mana santri tidak hanya belajar fikih atau tafsir, tetapi juga nilai adab dan spiritualitas. Pesantren mengajarkan bahwa ilmu harus membawa manfaat dan tidak boleh membuat sombong. Inilah mengapa masyarakat Madura cenderung selektif terhadap ilmu pengetahuan modern—ilmu yang dipandang sekuler dan menjauhkan dari nilai keagamaan seringkali ditolak atau diterima dengan hati-hati.


Sebagai contoh, teknologi informasi seperti internet dan media sosial digunakan oleh sebagian masyarakat Madura, tetapi pemanfaatannya disaring melalui nilai agama dan sosial. Bagi mereka, ilmu harus memiliki nilai keberkahan (barokah), bukan sekadar fungsionalitas.


Perspektif Filsafat: Pengetahuan dan Kearifan Eksistensial


Dalam perspektif filsafat, terutama filsafat lokal, masyarakat Madura memandang ilmu sebagai proses penemuan makna hidup. Filsafat dalam konteks Madura tidak bersifat spekulatif seperti dalam tradisi Barat, melainkan lebih pada praktik kehidupan sehari-hari. Filsafat hidup orang Madura mencerminkan nilai kejujuran (jujur), kesetiaan (setia), harga diri (malu), dan keberanian (berani), yang semuanya menjadi standar dalam menerima atau menolak suatu bentuk ilmu pengetahuan.


Filsafat eksistensial dalam tradisi Madura tampak dalam prinsip "buto' ka' anguy"—lebih baik lapar daripada kehilangan harga diri. Artinya, ilmu atau pengetahuan yang datang harus sejalan dengan nilai martabat. Teknologi yang merusak tatanan sosial, meskipun secara fungsional dianggap maju, akan tetap ditolak jika tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kehormatan lokal.


Kearifan Lokal sebagai Filter Ilmu Pengetahuan.


Kearifan lokal Madura bekerja sebagai filter alami dalam menyikapi globalisasi pengetahuan. Ada tiga mekanisme utama yang bisa diamati:


1. Pemaknaan ulang terhadap pengetahuan luar

Ilmu pengetahuan modern yang masuk ke Madura seringkali diinterpretasi ulang agar sesuai dengan nilai lokal. Misalnya, konsep kesehatan modern diterima tetapi tetap disandingkan dengan pengobatan tradisional seperti minyak gosok, jamu, atau doa-doa tertentu dari kiai.


2. Penguatan nilai sosial dalam adopsi ilmu

Sebelum menerima suatu ilmu atau teknologi, masyarakat Madura akan menimbang dampaknya terhadap struktur sosial. Jika ilmu tersebut mengancam tatanan keluarga, adab, atau agama, maka akan ditolak atau dikritisi secara kolektif.


3. Transformasi nilai lama ke dalam kerangka baru

Dalam banyak kasus, masyarakat Madura tidak anti-perubahan, tetapi mereka ingin perubahan tersebut tetap memiliki "roh" lokal. Contohnya, banyak pesantren di Madura yang kini memanfaatkan teknologi digital untuk dakwah, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai kesederhanaan dan adab santri.


Tantangan dan Peluang


Namun demikian, tantangan tetap ada. Ketertinggalan akses pendidikan formal, ketimpangan digital, serta stereotipe terhadap masyarakat Madura membuat penerimaan terhadap ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Masih terdapat jurang antara pengetahuan ilmiah dan pemahaman masyarakat terhadap sains.


Peluangnya? Justru dengan mengangkat tradisi dan filsafat lokal Madura, ilmu pengetahuan dapat dikembangkan dalam bentuk yang lebih kontekstual. Penelitian tentang pertanian, perikanan, atau pendidikan dapat berbasis kearifan lokal Madura, sehingga lebih diterima dan berkelanjutan.


Kesimpulan


Tradisi Madura dalam menyikapi ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari integrasi nilai agama, filsafat hidup, dan kearifan lokal. Bagi masyarakat Madura, ilmu bukan hanya sesuatu yang bersifat teknis dan objektif, tetapi juga spiritual, bermoral, dan sosial. Perspektif agama menjadikan ilmu sebagai jalan ibadah, sementara filsafat dan kearifan lokal memberikan kerangka nilai yang menjaga kehormatan dan martabat.


Dalam konteks inilah, masyarakat Madura bukan menolak ilmu pengetahuan modern, melainkan menyaring dan menyesuaikannya agar tetap harmonis dengan nilai-nilai lokal yang telah teruji oleh waktu. Maka, penting bagi para akademisi dan pembuat kebijakan untuk menghargai dan memanfaatkan pendekatan lokal seperti di Madura sebagai modal sosial dan kultural dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih manusiawi dan bermakna.[]


Penulis :

Siti Risa, Mahasiswa STIT Al-Ibrohimy Bangkalan 

×
Berita Terbaru Update