![]() |
Foto : detik.com |
Di balik setiap coretan yang tampak di tembok-tembok kota, tersembunyi lebih dari sekadar warna dan bentuk. Ada pesan yang tak tersampaikan, ada keresahan yang tak dipahami, dan ada akhlak yang mulai tergerus. Vandalisme bukan hanya pelanggaran terhadap keindahan ruang publik, melainkan juga pertanda lunturnya adab dan rasa tanggung jawab. Islam mengajarkan bahwa kebersihan adalah bagian dari iman, dan menjaga lingkungan adalah bentuk ibadah sosial. Maka ketika tembok dicoret sembarangan, itu bukan hanya persoalan keindahan kota yang ternoda, tetapi juga gambaran akhlak yang sedang sakit dan butuh disembuhkan.
Vandalisme dan Luka Sosial yang Tak Terlihat
Bayangkan sebuah tembok yang bersih di sudut kota. Hari ini, tembok itu bukan hanya dihiasi coretan nama, simbol, atau kata-kata kasar, tapi juga luka yang tak terlihat: luka akhlak, luka sosial, dan luka pada wajah peradaban. Vandalisme bukan sekadar tindakan mencoret-coret tembok ini adalah cermin yang memantulkan kondisi jiwa para pelakunya, sekaligus refleksi dari ketidakhadiran nilai yang mendalam dalam kehidupan bermasyarakat.
Coretan yang Tak Sekadar Warna
Vandalisme seringkali dianggap sebagai bentuk ekspresi diri yang liar dan bebas, kadang bahkan dibalut narasi “seni jalanan”. Tapi tidak semua coretan itu lahir dari jiwa seni. Banyak di antaranya justru adalah jejak emosi yang tidak terkelola, bentuk pelampiasan atas luka batin, atau sekadar ikut-ikutan agar dianggap ada. Ini adalah potret dari generasi yang mungkin kehilangan arah, merasa tidak didengar, dan tidak tahu harus menuangkan suaranya ke mana.
Sebuah penelitian pernah menyebut bahwa tekanan dari lingkungan sosial, rasa tidak aman secara emosional, serta lemahnya peran keluarga dan sekolah dalam membimbing akhlak, berperan besar terhadap perilaku vandalisme. Bahkan seringkali, anak-anak atau remaja yang melakukan coretan itu berasal dari latar belakang yang tak pernah diajak berdialog di rumah, tak pernah diminta pendapat, dan tak pernah merasa dimengerti.
Ironisnya, tembok yang dicoret menjadi lebih dari sekadar masalah keindahan kota. Ia menjadi tanda bahwa kita kehilangan rasa memiliki terhadap ruang bersama. Bahwa adab terhadap lingkungan sudah mulai pudar. Dan bahwa nilai-nilai akhlak yang seharusnya ditanamkan sejak kecil, kini seperti tertiup angin.
Luka Sosial yang Tak Disadari
Apa yang membuat seseorang tega mencoret tembok umum yang bukan miliknya? Bisa jadi bukan karena sekadar nakal. Mungkin karena tidak pernah diajarkan bahwa menjaga keindahan adalah bagian dari iman. Bahwa ruang publik adalah amanah bersama yang harus dirawat bersama. Ketika pendidikan karakter di sekolah digantikan dengan target angka dan ujian, ketika di rumah semua orang sibuk dengan gawainya masing-masing, siapa lagi yang punya waktu untuk menanamkan nilai adab?
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa vandalisme sebenarnya adalah bentuk komunikasi yang salah arah. Sebuah jeritan sunyi dari anak muda yang ingin bicara, tapi tak tahu bagaimana caranya. Maka yang dicoret bukan hanya dinding, tapi juga nilai-nilai kebersamaan. Yang rusak bukan hanya tembok, tapi juga kepedulian sosial.
Agama dan Akhlak: Solusi yang Terlupakan
Islam sangat memuliakan kebersihan dan keindahan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Iman itu memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan rasa malu adalah salah satunya.” Malu yang dimaksud bukan hanya malu kepada manusia, tapi juga kepada Allah. Malu saat merusak fasilitas yang dibuat dari uang rakyat. Malu saat meninggalkan jejak buruk di ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya rasa nyaman bersama.
Tapi tentu, akhlak bukan hanya bisa diajarkan lewat buku pelajaran. Ia harus ditanamkan lewat teladan. Lewat ayah yang membuang sampah pada tempatnya, ibu yang mengajarkan sopan santun saat berbicara, guru yang menegur dengan kasih, dan lingkungan yang memberi ruang untuk tumbuh tanpa takut dihakimi.
Penanaman nilai seperti ini, meski sederhana, terbukti jauh lebih efektif daripada ancaman hukuman. Karena akhlak tidak tumbuh dari rasa takut, tapi dari rasa sadar dan cinta.
Ajak Mereka Bicara, Bukan Hanya Menghukum
Salah satu penyebab vandalisme terus terjadi adalah karena kita terlalu cepat menilai dan terlalu lambat mendengarkan. Kita menempelkan stiker “Dilarang Mencoret!” tanpa pernah tahu mengapa mereka mencoret. Kita menghukum tanpa pernah mengajak bicara.
Padahal di beberapa daerah, pendekatan yang melibatkan remaja untuk berdialog, berkarya, dan mengisi ruang publik dengan seni mural terbukti berhasil mengurangi vandalisme. Bukan karena mereka ditakuti, tapi karena mereka mulai merasa dihargai. Mereka diajak terlibat, bukan hanya dilarang. Dan ketika seorang remaja merasa dilibatkan, ia akan lebih bertanggung jawab terhadap ruang yang ia rawat.
Mari Kembalikan Kesucian Tembok, dan Hati Kita
Menghadapi vandalisme tidak cukup dengan larangan dan hukuman. Diperlukan pendekatan yang lebih mendalam pendekatan yang menghidupkan kembali nilai-nilai akhlak dalam kehidupan remaja. Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam membimbing dengan kasih sayang, bukan dengan celaan. Ia mengajarkan bahwa malu adalah cabang dari iman, dan iman itulah yang menuntun manusia untuk menjaga amanah, termasuk amanah terhadap lingkungan.
Mulailah dari hal kecil yaitu dari keluarga yang saling mengingatkan, sekolah yang menanamkan karakter, hingga masyarakat yang memberi ruang bagi remaja untuk berkreasi dengan cara yang sehat. Ketika hati mulai kembali bersih, maka tembok-tembok pun akan ikut kembali suci. Karena sejatinya, tembok yang dicoret bisa dicat ulang tetapi nilai akhlak yang tercoret hanya bisa diperbaiki dengan kesadaran, keteladanan, dan cinta kepada nilai-nilai yang diajarkan agama[]
Penulis :
Azzah Husna Dzakiyyah, Salsabila Khoirunnisa, Wahidah Nurul Hidayah (Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Madani Yogyakarta)