Notification

×

Iklan

Iklan

Mungkin Bangsa Ini Lupa Daratan

Senin, 01 September 2025 | September 01, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-01T02:46:30Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Muhammad Dirgantara (Foto/IST)

Pendidikan selalu dipandang sebagai kunci peradaban, pilar kemajuan, dan sarana utama pembentukan manusia yang bermartabat. Kondisi bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan telah ditempatkan sebagai amanat konstitusional dan bagian dari janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Namun, kenyataan sering kali memukul kesadaran kita bahwa janji itu tidak ditepati sepenuhnya. Guru, aktor utama pembangunan sumber daya manusia, justru kerap diperlakukan sebagai korban kebijakan anggaran. Pemangkasan anggaran guru bukan sekadar kelalaian negara, melainkan tanda bahwa bangsa ini sedang kehilangan arah.

 

Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan fondasi hukum yang kuat. Pasal 31 ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat (3) menyebutkan bahwa pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, ayat (4) mengatur bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.

 

Konstitusi telah bicara tegas, bahwa pendidikan adalah hak dasar sekaligus kewajiban negara. Tetapi di atas kertas yang penuh janji itu, realitas anggaran justru memperlihatkan jurang lebar antara norma hukum dan praktik kebijakan.

 

Sayangnya, realitas politik anggaran memperlihatkan jurang yang dalam antara norma hukum dan praktik kebijakan. APBN 2025 memang mencatat angka fantastis, Rp665 triliun untuk pendidikan atau 20 persen dari belanja negara. Tetapi di balik angka itu, porsi yang benar-benar menyentuh kesejahteraan guru jauh dari ideal. Sebagian besar terserap untuk belanja birokrasi, pembangunan fisik, proyek digitalisasi, atau program-program lain yang tidak langsung meningkatkan kesejahteraan guru.

 

Guru tetap menjadi pihak yang paling rentan, seakan-akan mereka hanyalah pelengkap dalam skema besar pendidikan, hingga ratusan ribu guru honorer masih digaji Rp300 ribu hingga Rp1 juta per bulan. Data Federasi Serikat Guru Indonesia (2023) mencatat 34 persen hidup di bawah upah minimum. Ombudsman pun menegaskan, tunjangan profesi guru sering terlambat cair. Potret ini jelas menunjukkan betapa timpangnya kebijakan negara.

 

Kondisi telah menggambarkan bahwa pemangkasan anggaran guru bukan sekadar masalah administratif, melainkan masalah struktural yang mencerminkan lemahnya komitmen negara terhadap pendidikan.

 

Dalam perspektif ekonomi, guru adalah aktor strategis dalam investasi sumber daya manusia. Gary Becker melalui teori human capital menjelaskan bahwa pendidikan adalah modal utama pembangunan ekonomi, sama pentingnya dengan modal fisik. Negara-negara yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonominya selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas.

 

Bank Dunia dalam salah satu laporannya menunjukkan bahwa setiap tambahan satu tahun masa sekolah rata-rata penduduk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekitar nol koma tiga puluh tujuh persen. Menunjukkan kualitas pendidikan memiliki hubungan langsung dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, kualitas pendidikan tidak mungkin tercapai tanpa guru yang sejahtera dan berdaya.

 

Guru di Indonesia berjumlah lebih dari tiga juta orang, mengajar lebih dari empat puluh lima juta siswa di berbagai jenjang. Mereka adalah garda terdepan yang menentukan kualitas generasi masa depan. Akan tetapi, mereka harus mengajar dengan gaji rendah, fasilitas terbatas, dan beban administratif yang berat. Dalam kondisi seperti itu, motivasi dan profesionalisme guru menjadi sulit dipertahankan. Akibatnya, kualitas pendidikan tidak bisa diharapkan meningkat.

 

Data UNESCO tahun 2022 menunjukkan Indonesia berada di peringkat enam puluh dua dari tujuh puluh delapan negara dalam hal kualitas pendidikan. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pada tahun 2023 memang meningkat menjadi tujuh puluh tiga koma tiga puluh sembilan, tetapi masih jauh tertinggal dari Malaysia yang mencapai delapan puluh koma satu, apalagi Singapura dengan sembilan puluh tiga koma sembilan.

 

Kondisi ini memperlihatkan bahwa tanpa guru yang sejahtera, kualitas pendidikan akan tertahan. Pemangkasan anggaran guru akan semakin memperburuk keadaan, karena menghambat kesempatan guru untuk mengikuti pelatihan, mengurangi motivasi kerja, dan menurunkan daya tarik profesi guru bagi generasi muda. Dalam jangka panjang, ini adalah ancaman serius bagi pembangunan bangsa.

 

Dari perspektif hukum, kebijakan pemangkasan anggaran guru jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan pemerintah menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu serta memperhatikan kesejahteraan tenaga kependidikan.

 

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Jika anggaran untuk guru dipangkas, hak yang dijamin oleh undang-undang ini jelas tidak terpenuhi.

 

Kerangka hukum tata negara memperlihat kebijakan ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Negara seakan lupa, konstitusi bukan sekadar hiasan di ruang sidang, melainkan janji yang wajib ditepat.

 

Bangsa lain menunjukkan contoh yang berbeda. Finlandia, misalnya, menjadikan profesi guru sebagai salah satu profesi paling bergengsi. Guru di sana mendapat gaji yang layak, pelatihan berkelanjutan, dan penghargaan sosial yang tinggi. Hasilnya, sistem pendidikan Finlandia dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Jepang juga menempatkan guru pada posisi terhormat, karena menyadari bahwa kualitas pendidikan adalah penentu masa depan bangsa.

 

Indonesia? sayangnya, lebih sering memuja guru dalam retorika politik, terutama pada Hari Guru, tetapi mengabaikan mereka dalam kebijakan nyata. Jika pemangkasan anggaran guru terus berlangsung, maka dampaknya bukan hanya pada guru itu sendiri, tetapi juga pada kualitas lulusan pendidikan.

 

Generasi muda yang dididik oleh guru yang tidak sejahtera dan tidak didukung secara memadai akan tumbuh dengan kualitas yang lebih rendah. Dalam jangka panjang, daya saing bangsa di tingkat global akan menurun sehingga negara yang tidak menghargai gurunya sedang menggali kubur bagi dirinya sendiri.

 

Bangsa yang mengurangi anggaran guru sejatinya sedang menunjukkan bahwa mereka melupakan sejarah. Tidak ada peradaban besar yang berdiri tanpa guru. Revolusi industri, perkembangan teknologi, dan kemajuan demokrasi semuanya ditopang oleh pendidikan yang baik dan guru yang berkomitmen.

 

Indonesia jika ingin mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, langkah pertama yang harus diambil adalah memastikan guru sejahtera, dihormati, dan diberi ruang berkembang. Tanpa itu, semua visi hanya akan menjadi slogan kosong.

 

Pemangkasan anggaran guru adalah kebijakan yang kontraproduktif secara moral, ekonomi, maupun hukum. Dari segi moral, kebijakan ini menunjukkan bahwa bangsa tidak menghormati orang-orang yang telah mencerdaskan generasi. Dari segi ekonomi, kebijakan ini menghambat pembangunan sumber daya manusia yang merupakan modal utama pertumbuhan. Dari segi hukum, kebijakan ini bertentangan dengan konstitusi dan undang-undang.

 

Oleh karena itu, bangsa ini harus kembali sadar bahwa guru bukan beban, melainkan investasi. Mengurangi anggaran guru sama dengan mengurangi masa depan. Guru adalah fondasi, dan fondasi tidak boleh dipangkas.

 

Bangsa yang melupakan gurunya sejatinya sedang menandatangani kontrak kehancuran.[]

 

Pengirim :

Muhammad Dirgantara, Ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam (FAKSHI), IAIN Parepare

×
Berita Terbaru Update