Foto/Ilustrasi
Dalam dunia bisnis, kerjasama sering kali menjadi kunci kesuksesan. Namun, banyak kerjasama yang berakhir dengan konflik karena tidak adanya keseimbangan peran maupun keadilan dalam pembagian keuntungan. Sistem ekonomi Islam menawarkan jalan yang lebih adil dan transparan melalui akad Musyarakah. Akad ini tidak hanya mengatur aliran modal, tetapi juga menekankan rasa kepercayaan dan tanggung jawab antar mitra usaha.
Musyarakah pada dasarnya adalah kerjasama bisnis di mana dua pihak atau lebih menyatukan modal untuk menjalankan usaha bersama. Setiap mitra berhak memperoleh keuntungan sesuai dengan nisbah yang disepakati, dan menanggung kerugian sebanding dengan modal yang ditanamkan. Konsep ini menekankan prinsip keadilan: tidak ada satu pihak yang diuntungkan secara sepihak, semua berjalan proporsional sesuai kontribusi masing-masing.
Menurut saya, konsep Musyarakah sangat relevan untuk mengembangkan ekonomi kolektif di Indonesia. Banyak usaha kecil menengah yang bisa tumbuh lebih cepat jika beberapa orang mau menggabungkan modal. Dengan sistem ini, risiko tidak hanya ditanggung satu orang, dan keuntungan bisa dinikmati bersama. Inilah bentuk kebersamaan yang diajarkan Islam dalam ranah bisnis.
Agar sah, akad Musyarakah memiliki beberapa rukun yang wajib ada. Pertama, para pihak yang berakad, yaitu para mitra yang menyetorkan modal. Kedua, adanya modal yang jelas jumlah serta bentuknya, baik berupa uang tunai maupun aset yang dapat dinilai. Ketiga, akad atau ijab qabul yang menjadi bukti kesepakatan. Keempat, adanya usaha yang halal untuk dijalankan bersama.
Selain rukun, terdapat syarat yang harus dipenuhi agar Musyarakah sesuai prinsip syariah. Modal yang diserahkan harus jelas dan bisa diukur nilainya. Pembagian keuntungan disepakati sejak awal dalam bentuk rasio, bukan nominal tetap. Kerugian wajib ditanggung sesuai porsi modal, tidak bisa dibebankan hanya pada salah satu pihak. Usaha juga tidak boleh bertentangan dengan syariat, seperti riba atau perjudian.
Sayangnya, dalam praktik banyak orang masih salah memahami Musyarakah. Ada yang menuntut keuntungan tetap tanpa peduli kondisi usaha, atau ada pula yang hanya menyetor modal tanpa ikut menanggung risiko. Padahal, hal ini sudah keluar dari prinsip keadilan yang menjadi inti Musyarakah. Menurut saya, masalah ini muncul karena kurangnya pemahaman dan lemahnya kesadaran etika bisnis.
Mekanisme Musyarakah sejatinya cukup sederhana. Para mitra menyepakati modal yang akan digabungkan, kemudian menentukan bidang usaha yang akan dijalankan. Keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disetujui, sementara kerugian dibebankan sesuai porsi modal. Selama usaha berlangsung, semua pihak memiliki hak untuk memantau jalannya bisnis, sehingga transparansi dapat terjaga.
Di era modern, Musyarakah dapat diterapkan dalam berbagai bentuk. Misalnya, pada proyek properti, beberapa investor menyatukan modal untuk membangun perumahan. Atau dalam sektor pertanian, petani dan pemodal bekerja sama menanggung biaya produksi. Dengan dukungan teknologi, laporan keuangan dapat dibuat lebih transparan, sehingga kepercayaan antar mitra semakin kuat.
Namun, kunci keberhasilan Musyarakah tetap ada pada sikap moral para pihak. Kejujuran, tanggung jawab, dan keterbukaan menjadi nilai yang tidak bisa ditawar. Tanpa itu, akad yang seharusnya melahirkan kebersamaan justru akan menimbulkan kecurigaan. Saya melihat Musyarakah bukan hanya instrumen bisnis, tetapi juga sarana melatih etika kerja kolektif yang berlandaskan amanah.
Akhirnya, Musyarakah hadir sebagai wujud nyata harmoni dalam bisnis. Ia mengajarkan bahwa modal dan keuntungan bukan hanya milik individu, tetapi bisa dikelola bersama dengan adil. Jika konsep dasar, rukun, syarat, dan mekanismenya dijalankan dengan benar, Musyarakah bukan hanya menghasilkan laba, tetapi juga keberkahan. Inilah kekuatan ekonomi syariah: menyatukan keuntungan dengan keadilan dan keberlanjutan.[]
Penulis :
Ghina Fauziah Nasution, Mahasiswi Ekonomi Syariah, Universitas Pamulang