Notification

×

Iklan

Iklan

Bukan Cuma Halal, Tapi Juga Cuan: Strategi Bisnis Islami yang Menginspirasi Dunia

Kamis, 16 Oktober 2025 | Oktober 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-16T03:03:58Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/ILUSTRASI

Di tengah derasnya arus globalisasi ekonomi modern, para pelaku bisnis kerap terjebak dalam orientasi tunggal: mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Prinsip “profit first” seolah menjadi hukum tak tertulis dalam dunia usaha.


Namun, di balik kesuksesan finansial yang mengilap, banyak persoalan muncul—mulai dari eksploitasi sumber daya alam, upah pekerja yang tidak manusiawi, hingga produk-produk yang meragukan kehalalannya. Akibatnya, sistem ekonomi global kini menghadapi krisis kepercayaan moral.

 

Lantas, apakah mungkin seorang pengusaha mampu menjalankan bisnis yang menguntungkan secara finansial, namun juga mendatangkan ketenangan hati, memberikan manfaat sosial, dan menjaga kelestarian alam?


Islam, dengan sistem ekonominya yang komprehensif, menawarkan jawaban melalui tiga fondasi utama: keuntungan finansial (profit), nilai keberkahan (barakah), dan kelestarian jangka panjang (sustainability).

 

Lebih dari Sekadar Mengejar Keuntungan

 

Dalam pandangan Islam, aktivitas bisnis bukan semata kegiatan ekonomi, melainkan juga bagian dari ibadah dan sarana menunaikan amanah sebagai khalifah di bumi.


Jika teori ekonomi konvensional menekankan profit maximization sebagai tujuan utama produsen, Islam mengajarkan konsep yang lebih holistik: orientasi pada kemaslahatan (maslahah-oriented), yaitu mencari kesejahteraan bersama dan keberkahan yang menyentuh dimensi dunia dan akhirat.

 

Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT pada Surah Al-Qashash ayat 77:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia…”

 

Ayat ini menegaskan bahwa mencari keuntungan duniawi sah-sah saja, asalkan tidak melupakan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.


Profit hanyalah angka dalam laporan keuangan—sesuatu yang dapat diukur secara materi.
Sedangkan berkah adalah bentuk keuntungan yang lebih dalam: ketenangan hati, manfaat berkelanjutan, kejujuran, dan rasa syukur.

 

Keuntungan yang diraih melalui cara-cara yang batil—seperti penipuan, monopoli, atau eksploitasi lingkungan—mungkin tampak besar, tetapi tidak akan membawa ketentraman.


Sebaliknya, bisnis yang jujur, halal, dan adil akan melahirkan barakah yang menjadikan usaha tersebut bertahan lama dan dicintai masyarakat.

 

Etika Produksi Islam: Landasan Bisnis yang Tangguh

 

Etika produksi dalam Islam bukan sekadar teori normatif, melainkan pedoman operasional yang konkret. Prinsip-prinsip ini menjadikan seorang produsen bukan hanya pembuat barang, tetapi juga penjaga nilai kemanusiaan dan lingkungan.

 

Beberapa prinsip utama etika produksi Islam antara lain:

 

1. Kehalalan Menyeluruh (Holistic Halalness)
Konsep halal tidak hanya terbatas pada hasil akhir produk, tetapi mencakup seluruh rantai proses produksi—dari bahan baku, tenaga kerja, hingga distribusi.
Hal ini memastikan bahwa produk yang dihasilkan tidak hanya suci secara zat, tetapi juga bersih dari unsur kezaliman dan kecurangan.

 

2. Keadilan dalam Bisnis (Fairness and Justice)
Islam menolak segala bentuk eksploitasi, baik terhadap pekerja maupun konsumen.
Produsen wajib memberikan upah yang layak, transparansi mutu produk, dan menghindari kecurangan sebagaimana dilarang dalam Surah Al-Mutaffifin (1–3):

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam takaran dan timbangan)...”

 

3. Efisiensi dan Pelestarian Lingkungan (Efficiency & Sustainability)
Islam melarang pemborosan (israf) dan perusakan alam sebagaimana termaktub dalam Surah Al-A’raf ayat 31.


Prinsip ini menuntun produsen untuk menggunakan sumber daya secara bijak dan meminimalkan limbah, sejalan dengan konsep green economy modern.

 

Dengan demikian, Islam menempatkan pengusaha sebagai khalifah (pengelola bumi)—bukan pemilik mutlak yang bebas mengeksploitasi sumber daya, tetapi pihak yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam dan sosial.

 

Dari Teori ke Praktik: Bisnis Halal dan Ramah Lingkungan

 

Menariknya, nilai-nilai yang diajarkan Islam kini justru menjadi keunggulan kompetitif di dunia bisnis modern.


Konsumen global kini semakin sadar akan pentingnya etika, keberlanjutan, dan transparansi dalam produk yang mereka beli. Fenomena ini mendorong munculnya tren ethical consumerism di mana konsumen tidak hanya melihat harga, tapi juga nilai moral di balik produk.

 

Contoh nyata dapat dilihat pada:

1. Wardah, produsen kosmetik halal Indonesia, yang mengedepankan bahan alami dan ramah lingkungan.

2. Nestlé Malaysia Halal Division, yang mengintegrasikan proses halal dengan tanggung jawab sosial dan pengelolaan limbah yang berkelanjutan.

 

Keduanya membuktikan bahwa bisnis yang menerapkan prinsip Islam justru mendapat kepercayaan konsumen global, memperkuat reputasi merek, dan menjaga loyalitas pelanggan jangka panjang.

 

Namun, tentu saja jalan menuju bisnis etis tidak selalu mudah. Tantangan utama terletak pada biaya produksi yang relatif lebih tinggi, terutama untuk memastikan rantai pasok halal dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan.


Meski demikian, investasi moral dan sosial ini pada akhirnya menghasilkan manfaat jangka panjang berupa kepercayaan pasar, loyalitas karyawan, dan keberlanjutan usaha.

 

Menuju Ekosistem Ekonomi Islam yang Berkelanjutan

 

Etika produksi Islam memberikan alternatif nyata terhadap krisis moral dan ekologis yang dihadapi dunia saat ini.

Dengan mengedepankan nilai kejujuran, tanggung jawab sosial, dan kesadaran ekologis, Islam mengajarkan bahwa bisnis yang baik adalah bisnis yang tidak hanya menguntungkan bagi pemiliknya, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan.

 

Inilah inti dari konsep bisnis Islami: profit yang halal, berkah yang melimpah, dan keberlanjutan yang lestari.

 

Menjalankan usaha berdasarkan prinsip Islam berarti menyeimbangkan antara:

1. Kesuksesan material (profit),

2. Kebahagiaan spiritual (berkah), dan

3. Tanggung jawab sosial-lingkungan (keberlanjutan).

 

Dengan berpegang pada nilai-nilai tersebut, pengusaha Muslim memiliki potensi besar menjadi pionir perubahan global, membangun ekosistem ekonomi yang bukan hanya kuat secara finansial, tetapi juga beradab dan berkeadilan.

 

Penutup

 

Bisnis dalam pandangan Islam bukan sekadar sarana mencari nafkah, tetapi jalan menuju keberkahan dan kemaslahatan.

Ketika prinsip etika produksi Islami benar-benar diterapkan, bisnis tidak lagi menjadi sumber kerusakan, melainkan sarana pembangunan peradaban.

Maka benar, bisnis yang Islami bukan hanya “halal dan cuan,” tetapi juga menenangkan hati, memuliakan manusia, dan menjaga bumi.[]

 

Pengirim :

Mahasiswa STMIK Tazkia, Hp/WA : 0812-9571-0044

×
Berita Terbaru Update