Siti Roaina (Foto/IST)
Dalam praktik perbankan, jaminan menjadi salah satu instrumen utama untuk memitigasi risiko kegagalan pembayaran dari debitur. Di samping jaminan kebendaan seperti hipotek, fidusia, atau gadai, terdapat pula bentuk jaminan yang bersifat personal, yaitu jaminan perorangan atau personal guarantee. Jaminan ini lahir dari kesediaan seseorang untuk menanggung kewajiban debitur apabila debitur lalai atau gagal memenuhi prestasinya.
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat bahwa praktik perbankan modern tidak bisa dilepaskan dari keberadaan jaminan sebagai instrumen untuk mengurangi risiko kredit. Jaminan berfungsi memberikan rasa aman kepada pihak bank selaku kreditur, bahwa apabila debitur tidak mampu melunasi kewajibannya, masih ada alternatif perlindungan melalui pihak ketiga atau objek tertentu. Di antara berbagai jenis jaminan yang ada, salah satu yang sering dipakai adalah jaminan perorangan (personal guarantee).
Secara yuridis, dasar hukum dari jaminan perorangan dapat ditemukan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan bahwa “Penanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berutang, mengikatkan dirinya kepada si berpiutang untuk memenuhi perikatannya si berutang, bila orang ini sendiri tidak memenuhinya.” Dengan demikian, jelas bahwa jaminan perorangan memiliki legitimasi hukum yang kuat dan sah untuk digunakan dalam transaksi kredit perbankan.
Namun, keberadaan jaminan perorangan ini tidak luput dari perdebatan, khususnya mengenai keabsahan dan kepatuhannya terhadap prinsip kepastian hukum. Dalam pandangan saya, meskipun jaminan perorangan sudah diatur secara normatif dalam Pasal 1820 KUH Perdata—yang menegaskan bahwa seseorang dapat mengikatkan diri untuk menanggung utang orang lain apabila debitur lalai memenuhi prestasi—penerapannya dalam dunia perbankan sering kali menghadapi berbagai persoalan yang cukup kompleks.
Jaminan perorangan secara sederhana memang berbeda dari corporate guarantee maupun bank garansi, karena subjeknya adalah individu, bukan badan hukum atau lembaga keuangan. Perbedaan ini menjadikan jaminan perorangan rentan terhadap berbagai kelemahan. Dari sisi keabsahan, misalnya, penjamin haruslah seorang yang cakap hukum, tidak sedang dalam kondisi pailit, serta memiliki kemampuan untuk menanggung risiko. Akan tetapi, dalam praktik, penjamin sering berasal dari kalangan keluarga atau kerabat dekat debitur, sehingga ada kemungkinan persetujuan yang diberikan tidak sepenuhnya lahir dari kesadaran bebas, melainkan karena keterikatan emosional. Kondisi ini jelas bisa menimbulkan pertanyaan, apakah prinsip kebebasan berkontrak benar-benar terpenuhi.
Selain itu, saya juga melihat adanya persoalan formil. Idealnya, jaminan perorangan dituangkan dalam akta notaris untuk memperkuat kekuatan pembuktiannya. Tetapi tidak semua perjanjian jaminan dibuat secara otentik. Bila hanya dituangkan dalam perjanjian di bawah tangan, maka posisinya menjadi lemah dan berpotensi dipermasalahkan di kemudian hari.
Persoalan lain muncul dari sisi transparansi. Dalam banyak kasus, penjamin tidak sepenuhnya memahami risiko yang ditanggungnya. Padahal, aset pribadinya bisa disita ketika debitur wanprestasi. Apabila bank tidak memberikan penjelasan yang jelas dan rinci, saya menilai hal ini berpotensi melanggar asas keadilan, karena penjamin menanggung kewajiban besar tanpa memperoleh informasi yang memadai.
Tidak kalah penting adalah masalah kepastian hukum dalam klausul perjanjian. Ada kalanya klausul dalam kontrak jaminan terlalu luas, bahkan memberi kewenangan sepihak bagi bank untuk langsung mengeksekusi jaminan tanpa melalui mekanisme hukum yang wajar. Menurut saya, klausul semacam ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena penjamin tidak mengetahui batas kewajibannya, sementara hak bank seolah tidak terbatas.
Dalam beberapa situasi juga muncul potensi double claim, yaitu ketika bank menagih baik kepada debitur maupun penjamin tanpa ada mekanisme prioritas yang jelas. Hal ini merugikan penjamin, sekaligus menimbulkan perdebatan hukum tentang keadilan dalam pelaksanaan kontrak.
Jika dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum, saya berpendapat bahwa jaminan perorangan baru bisa benar-benar sah dan adil jika memenuhi beberapa kriteria. Pertama, klausul dalam perjanjian harus jelas dan tidak multitafsir. Kedua, pihak bank wajib memberikan informasi terbuka agar penjamin paham konsekuensi yang ia hadapi. Ketiga, prosedur eksekusi harus melalui tahapan yang terukur, bukan seketika dan sepihak. Keempat, hubungan kontraktual harus dijaga agar seimbang, sehingga tidak menempatkan penjamin dalam posisi lemah. Kelima, jika timbul sengketa, mekanisme penyelesaiannya harus dapat diakses melalui pengadilan atau lembaga arbitrase sebagai wujud perlindungan hukum.
Berdasarkan persoalan-persoalan di atas, dapat kita ketahui bahwa meskipun jaminan perorangan sah secara hukum, dalam praktik perbankan pelaksanaannya belum sepenuhnya memenuhi prinsip kepastian hukum. Peran penjamin dalam perjanjian kredit sering kali ditempatkan pada posisi yang lemah. Banyak kasus memperlihatkan bahwa penjamin hanya dijadikan “pelengkap” dalam transaksi kredit tanpa memperoleh pemahaman yang utuh tentang risiko yang melekat pada jaminan yang ditandatanganinya. Kondisi ini menimbulkan kesenjangan keadilan antara bank sebagai lembaga kuat dan penjamin sebagai pihak yang relatif rentan. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah langkah perbaikan yang bersifat mendasar dan sistematis.
Pertama, standarisasi klausul jaminan yang adil menjadi keharusan. Selama ini, banyak kontrak jaminan dibuat dengan klausul baku yang disusun sepihak oleh bank. Akibatnya, penjamin sering kali terikat pada ketentuan yang memberatkan, seperti tanggung jawab tanpa batas waktu atau tanpa batas jumlah. Dengan adanya standarisasi, klausul inti dalam perjanjian jaminan akan memiliki struktur yang seragam, transparan, dan berkeadilan. Misalnya, klausul mengenai batas maksimum tanggungan, jangka waktu tanggung jawab, serta mekanisme penagihan terhadap penjamin harus ditulis dengan bahasa sederhana, jelas, dan tidak menimbulkan multitafsir. Standarisasi ini tidak hanya melindungi penjamin, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi bank.
Kedua, kewajiban disclosure oleh pihak bank merupakan langkah penting untuk memastikan adanya prinsip keterbukaan informasi. Penjamin berhak mengetahui secara rinci apa yang menjadi kewajibannya, berapa jumlah maksimum tanggungan yang harus ditanggung, serta dalam kondisi apa kewajiban itu bisa ditagihkan. Bank harus menyampaikan salinan perjanjian pokok kredit, proyeksi kewajiban penjamin, serta risiko-risiko yang mungkin timbul apabila debitur lalai. Disclosure ini idealnya dilakukan sebelum penandatanganan, sehingga penjamin memiliki waktu yang cukup untuk mempertimbangkan, bahkan untuk berkonsultasi dengan penasihat hukum. Dengan begitu, persetujuan penjamin lahir dari kesadaran penuh, bukan sekadar formalitas administratif.
Ketiga, kewajiban akta otentik sebagai syarat formil perlu ditegakkan. Akta otentik yang dibuat di hadapan notaris memberikan jaminan bahwa seluruh proses penandatanganan berlangsung dengan transparan, sah, dan disaksikan pejabat berwenang. Notaris tidak hanya berfungsi sebagai pencatat, tetapi juga sebagai pihak yang menjelaskan isi perjanjian, memverifikasi identitas, serta memastikan bahwa penjamin memahami betul konsekuensi hukum dari tindakannya. Dengan mekanisme ini, peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau paksaan menjadi lebih kecil. Selain itu, akta otentik juga memberikan kekuatan pembuktian yang kuat apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
Keempat, langkah yang tidak kalah penting adalah pengawasan regulasi yang ketat. Regulasi yang baik tidak cukup hanya berhenti pada tataran normatif, tetapi harus diikuti dengan mekanisme kontrol yang efektif. Otoritas keuangan harus memiliki instrumen pengawasan, baik melalui audit kepatuhan, pemeriksaan dokumen, maupun pelaporan rutin terkait penggunaan jaminan. Bank yang tidak memenuhi kewajiban disclosure atau menggunakan klausul yang merugikan penjamin seharusnya dikenai sanksi administratif maupun denda. Selain itu, lembaga mediasi atau ombudsman keuangan juga perlu diperkuat agar penjamin memiliki akses penyelesaian sengketa yang cepat dan terjangkau tanpa harus melalui proses litigasi panjang.
Langkah-langkah tersebut, jika diterapkan secara konsisten, akan menciptakan ekosistem perbankan yang lebih sehat dan adil. Penjamin tidak lagi dipandang sebagai pihak pasif yang menanggung seluruh risiko, tetapi sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas perlindungan, informasi, dan kepastian hukum. Pada akhirnya, hubungan antara bank, debitur, dan penjamin dapat berdiri di atas fondasi kepercayaan yang seimbang.
Dengan demikian, saya menilai bahwa jaminan perorangan tidak boleh hanya diposisikan sebagai instrumen proteksi bagi bank, tetapi juga harus menjamin hak-hak penjamin. Kepastian hukum tidak hanya berbicara soal legalitas formal, tetapi juga soal rasa keadilan yang dirasakan oleh semua pihak. Saya meyakini bahwa praktik perbankan di Indonesia baru dapat dikatakan patuh terhadap prinsip kepastian hukum jika mampu menyeimbangkan kepentingan kreditur dan penjamin secara proporsional.[]
Penulis :
Siti Roaina, Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung