Notification

×

Iklan

Iklan

Opini Tentang Tambang Emas Ilegal Aceh dan Gagalnya Negara Menjaga Lingkungan

Jumat, 26 Desember 2025 | Desember 26, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-26T16:50:14Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik
Nely Agustin W.
NIM: 243210021 
Semester: III
Fakultas: Syariah
Prodi: Hukum Tata Negara Islam Universitas Islam Negeri Datokarama Palu

TamiangNews.com - Aceh merupakan salah satu provinsi dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, khususnya hutan dan kawasan konservasi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kerusakan lingkungan di wilayah ini terus meningkat akibat maraknya tambang emas ilegal, pembukaan hutan, serta lemahnya pengawasan tata ruang. Kondisi tersebut tidak hanya menimbulkan persoalan ekologis, tetapi juga mencerminkan masalah serius dalam tata hukum negara, terutama dalam aspek penegakan hukum lingkungan dan sinkronisasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Salah satu isu paling menonjol adalah masih beroperasinya tambang emas ilegal di berbagai wilayah Aceh, termasuk di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), kawasan konservasi strategis yang diakui secara nasional dan internasional. Laporan Mongabay Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan tanpa izin tersebut belum tertangani secara optimal, sehingga memunculkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas hukum lingkungan di Indonesia. Lemahnya penindakan terhadap pelaku tambang ilegal mengindikasikan adanya celah dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum yang seharusnya melindungi kawasan lindung.

Selain pertambangan ilegal, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di Aceh juga semakin mengkhawatirkan. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengidentifikasi degradasi hulu sungai akibat aktivitas ilegal, termasuk pembukaan lahan dan pertambangan. Dampak dari kerusakan ini tidak hanya berupa hilangnya fungsi ekologis, tetapi juga meningkatnya risiko bencana seperti banjir dan longsor yang secara langsung mengancam keselamatan serta keberlanjutan kehidupan masyarakat.

Permasalahan lingkungan di Aceh semakin kompleks ketika dikaitkan dengan kerangka tata hukum negara dan otonomi khusus Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam. Namun, kewenangan tersebut semestinya tetap tunduk dan selaras dengan hukum nasional, khususnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam praktiknya, ketidakharmonisan antara kebijakan daerah dan regulasi nasional kerap membuka ruang terjadinya pelanggaran lingkungan yang berulang.

Di sisi lain, maraknya tambang emas ilegal kerap dipersepsikan memiliki manfaat ekonomi jangka pendek bagi sebagian masyarakat. Aktivitas ini dianggap mampu membuka lapangan kerja sementara, meningkatkan pendapatan harian penambang, serta menggerakkan perputaran ekonomi lokal melalui sektor informal seperti transportasi dan perdagangan. Namun, manfaat tersebut bersifat semu dan tidak berkelanjutan karena tidak disertai dengan perlindungan hukum, jaminan keselamatan kerja, maupun keberlanjutan lingkungan.

Dalam jangka panjang, kerusakan yang ditimbulkan justru jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi sesaat. Pencemaran sungai, degradasi hutan, hilangnya mata pencaharian berkelanjutan, serta meningkatnya risiko bencana ekologis akan menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat Aceh. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa hukum belum berfungsi secara optimal sebagai instrumen pengendali kekuasaan dan pelindung kepentingan publik, melainkan kerap dikalahkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Oleh karena itu, negara perlu mengambil langkah yang lebih tegas dan konsisten melalui penguatan penegakan hukum lingkungan, harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah, serta transparansi dalam pemberian izin usaha. Otonomi khusus Aceh seharusnya dimaknai sebagai sarana untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, bukan sebagai celah untuk mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan. Tanpa pembenahan serius dalam tata hukum negara, kerusakan lingkungan di Aceh berpotensi terus berulang dan meninggalkan beban ekologis serta sosial yang berat bagi generasi mendatang.(*)

×
Berita Terbaru Update