TamiangNews.com, BANDA ACEH -- Menyikapi surat mendagri Nomor: 820/2138/OTDA yang meminta Gubernur Aceh Zaini Abdullah untuk tidak mengaktifkan 33 pejabat eselon II yang baru dilantik pada 10 Maret 2017 lalu karena pelantikan tersebut melanggar peraturan perundang-undangan.Peneliti Jaringan Survei Inisiatif, Aryos Nivada, melalui Siaran Pers yang diterima TamiangNews mengatakan bahwa Gubernur Zaini secepatnya segera menindaklanjuti surat Mendagri tersebut
“Terkait putusan Mendagri terhadap pembatalan mutasi. Gubernur harus secepatnya menindaklanjuti hal tersebut, dikarenakan gubernur Aceh merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Jika Zaini Abdulah bersikeras mempertahankan kebijakan tersebut, maka diyakini beliau akan mendapatkan tekanan dari seluruh pihak baik rakyat maupun DPRA yang berpotensi dapat membuka pintu pemakzulan bagi dirinya. Selain itu bila Gubernur Aceh tetap juga ngotot, dirinya terancam akan terkena sanksi administratif dari pusat. Sanksi administratif dapat berupa tulisan, pencabutan SK yang cacat prosedur hukum, hingga sanksi terberat berupa pemakzulan oleh DPRA. Juga dikhawatirkan kedepan akan ada luapan berupa mosi tak percaya rakyat Aceh yang berujung mendelitigimasi pemerintahan”, ujar Aryos
Lebih lanjut Aryos menjelaskan, “terbuka lebar peluang DPRA untuk memakzulkan Zaini. Pertama sudah ada kejelasan dari Mendagri bahwa tindakan Zaini Abdulah melanggar undang undang. Dengan demikian zaini terancam terkena Pasal 47 huruf f UUPA, yaitu Gubenur dilarang menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatan. Unsur menyalahgunakan wewenang yaitu Perbuatan penguasaan tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar perbuatannya. Kedua, unsur melanggar sumpah janji jabatan. Yaitu Memegang teguh UUD Negara RI 1945 dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Jadi dalam sumpah jabatan yang harus dijaga bukan Cuma UUPA.Tapi segala UU dan peraturan yang berlaku.Dalam hal ini Doto zaini lebih cenderung menggunakan UUPA dengan mengabaikan UU ASN dan UU Pilkada”, tegas Aryos alumni Magister Politik dan Pemerintahan UGM.
Kemudian Menyangkut kewenangan Mendagri dalam membatalkan keputusan pelantikan pejabat, Aryos mencotohkan kasus di Kabupaten Seram Bagian Berat pada Pilkada 2016. “Mendagri pernah membatalkan SK Mantan Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat di Provinsi Maluku, Yakobis Puttileihalat, terkait merobak struktur pejabat SKPD di akhir masa jabatannya pada rabu 7 september 2016, atau lima hari jelang masa jabatannya berakhir”, jelas aryos.
Menurut Aryos, kewenangan Gubernur dalam mutasi jabatan tidak mutlak namun tetap dibatasi oleh Undang Undang.
“saat ini Kepala daerah seluruh indonesia yang daerahnya menyelenggarakan Pilkada sudah kehilangan kewenangan untuk melakukan mutasi dalam jabatan begitu memasuki masa pilkada terhitung 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon hingga akhir masa jabatan. Disinilah tampaknya zaini tidak menyadari. Dikiranya kewenangan gubernur dalam mutasi tidak ada batasnya. Hingga tidak bisa dikoreksi lagi oleh siapapun. Padahal jelas hukum membatasi hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 71 UU 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Kecuali Aceh tidak sedang dalam Tahapan Pilkada. Maka Gubernur Zaini dapat saja melakukan perombakan kabinet. namun dengan catatan, proses mutasi tetap harus mengacu mekanisme merit sistem sebagaimana diatur dalam UU ASN. Pergantian pejabat itu bukan lagi kewenangan mutlak dari kepala daerah, tetapi harus mekanisme seleksi sebagaimana diatur dalam UU ASN sehingga prosesnya professional dan berbasis kinerja” terang pengamat politik dan keamanan Aceh ini panjang lebar
Aryos tidak membantah bahwa mutasi jabatan pada dasarnya lumrah dilakukan oleh kepala daerah, namun harus dilihat konteksnya apakah melanggar aturan atau tidak.
"Benar bahwa pergantian pejabat itu merupakan hal yang lumrah, tapi seharusnya dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundangan. Diantaranya harus seizin mendagri apabila daerah sedang melaksanakan tahapan pilkada. Kemudian mekanisme mutasi dalam jabatan juga harus sesuai sebagaimana diatur dalam UU ASN diantaranya melalui merit sistem atau seleksi terbuka. yang paling penting Mutasi dalam jabatan struktural tersebut tidak mengakibatkan adanya pejabat struktural yang kehilangan jabatan dan tidak mengakibatkan penurunan eselon (demosi). Kecuali yang bersangkutan melanggar disiplin berat dan tindak pidana.” Ungkap Aryos penulis buku Wajah Politik dan Keamanan Aceh.
Dirinya mengungkapkan lagi, dalam PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, pembebasan tugas hanya diberikan bagi pelanggaran berat. “Itu pun setelah melalui tahapan-tahapan hukuman disiplin. Hal ini yang tidak dilakukan oleh Zaini Abdulah selaku Gubernur Aceh. Jadi dari awal dia bukan Cuma melanggar UU Pilkada. UU ASN pun dia labrak! jangan dilupakan bahwa Aparatur sipil negara Aceh merupakan satu kesatuan dan terintegrasi dengan manajemen kepegawaian nasional. Karenanya aparatur birokrasi Aceh tetap diwajibkan dan tunduk terhadap ketentuan yang mengatur manajemen kepegawaian secara nasional ” ujarnya.
Menyudai argumentasinya, Aryos menilai saat ini kondisi Zaini Abdullah dalam posisi terjepit. Oleh karena itu sebelum makin runyam ia menyarankan kepada Zaini untuk kembali kepada rel yang benar dalam pengelolaan pemerintahan.
"Jangan sampai gara gara mutasi ilegal itu, hancur tata kelola birokrasi di Aceh. Zaini Abdulah jangan terjebak pada pembenaran dan melawan ketentuan regulasi dikarenakan muatan kepentingan pribadinya yang sangat dirasakan publik. Ekses daripada mutasi ilegal ini adalah rakyat sengsara. Proses perencanaan eksesusi program dapat terhambat. Perputaran roda pembangunan dan ekonomi Aceh pun tersendat” tutup Aryos. [] M. Hendra Vramenia (TN-W004)
“Terkait putusan Mendagri terhadap pembatalan mutasi. Gubernur harus secepatnya menindaklanjuti hal tersebut, dikarenakan gubernur Aceh merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Jika Zaini Abdulah bersikeras mempertahankan kebijakan tersebut, maka diyakini beliau akan mendapatkan tekanan dari seluruh pihak baik rakyat maupun DPRA yang berpotensi dapat membuka pintu pemakzulan bagi dirinya. Selain itu bila Gubernur Aceh tetap juga ngotot, dirinya terancam akan terkena sanksi administratif dari pusat. Sanksi administratif dapat berupa tulisan, pencabutan SK yang cacat prosedur hukum, hingga sanksi terberat berupa pemakzulan oleh DPRA. Juga dikhawatirkan kedepan akan ada luapan berupa mosi tak percaya rakyat Aceh yang berujung mendelitigimasi pemerintahan”, ujar Aryos
Lebih lanjut Aryos menjelaskan, “terbuka lebar peluang DPRA untuk memakzulkan Zaini. Pertama sudah ada kejelasan dari Mendagri bahwa tindakan Zaini Abdulah melanggar undang undang. Dengan demikian zaini terancam terkena Pasal 47 huruf f UUPA, yaitu Gubenur dilarang menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatan. Unsur menyalahgunakan wewenang yaitu Perbuatan penguasaan tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar perbuatannya. Kedua, unsur melanggar sumpah janji jabatan. Yaitu Memegang teguh UUD Negara RI 1945 dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Jadi dalam sumpah jabatan yang harus dijaga bukan Cuma UUPA.Tapi segala UU dan peraturan yang berlaku.Dalam hal ini Doto zaini lebih cenderung menggunakan UUPA dengan mengabaikan UU ASN dan UU Pilkada”, tegas Aryos alumni Magister Politik dan Pemerintahan UGM.
Kemudian Menyangkut kewenangan Mendagri dalam membatalkan keputusan pelantikan pejabat, Aryos mencotohkan kasus di Kabupaten Seram Bagian Berat pada Pilkada 2016. “Mendagri pernah membatalkan SK Mantan Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat di Provinsi Maluku, Yakobis Puttileihalat, terkait merobak struktur pejabat SKPD di akhir masa jabatannya pada rabu 7 september 2016, atau lima hari jelang masa jabatannya berakhir”, jelas aryos.
Menurut Aryos, kewenangan Gubernur dalam mutasi jabatan tidak mutlak namun tetap dibatasi oleh Undang Undang.
“saat ini Kepala daerah seluruh indonesia yang daerahnya menyelenggarakan Pilkada sudah kehilangan kewenangan untuk melakukan mutasi dalam jabatan begitu memasuki masa pilkada terhitung 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon hingga akhir masa jabatan. Disinilah tampaknya zaini tidak menyadari. Dikiranya kewenangan gubernur dalam mutasi tidak ada batasnya. Hingga tidak bisa dikoreksi lagi oleh siapapun. Padahal jelas hukum membatasi hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 71 UU 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Kecuali Aceh tidak sedang dalam Tahapan Pilkada. Maka Gubernur Zaini dapat saja melakukan perombakan kabinet. namun dengan catatan, proses mutasi tetap harus mengacu mekanisme merit sistem sebagaimana diatur dalam UU ASN. Pergantian pejabat itu bukan lagi kewenangan mutlak dari kepala daerah, tetapi harus mekanisme seleksi sebagaimana diatur dalam UU ASN sehingga prosesnya professional dan berbasis kinerja” terang pengamat politik dan keamanan Aceh ini panjang lebar
Aryos tidak membantah bahwa mutasi jabatan pada dasarnya lumrah dilakukan oleh kepala daerah, namun harus dilihat konteksnya apakah melanggar aturan atau tidak.
"Benar bahwa pergantian pejabat itu merupakan hal yang lumrah, tapi seharusnya dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan peraturan perundangan. Diantaranya harus seizin mendagri apabila daerah sedang melaksanakan tahapan pilkada. Kemudian mekanisme mutasi dalam jabatan juga harus sesuai sebagaimana diatur dalam UU ASN diantaranya melalui merit sistem atau seleksi terbuka. yang paling penting Mutasi dalam jabatan struktural tersebut tidak mengakibatkan adanya pejabat struktural yang kehilangan jabatan dan tidak mengakibatkan penurunan eselon (demosi). Kecuali yang bersangkutan melanggar disiplin berat dan tindak pidana.” Ungkap Aryos penulis buku Wajah Politik dan Keamanan Aceh.
Dirinya mengungkapkan lagi, dalam PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, pembebasan tugas hanya diberikan bagi pelanggaran berat. “Itu pun setelah melalui tahapan-tahapan hukuman disiplin. Hal ini yang tidak dilakukan oleh Zaini Abdulah selaku Gubernur Aceh. Jadi dari awal dia bukan Cuma melanggar UU Pilkada. UU ASN pun dia labrak! jangan dilupakan bahwa Aparatur sipil negara Aceh merupakan satu kesatuan dan terintegrasi dengan manajemen kepegawaian nasional. Karenanya aparatur birokrasi Aceh tetap diwajibkan dan tunduk terhadap ketentuan yang mengatur manajemen kepegawaian secara nasional ” ujarnya.
Menyudai argumentasinya, Aryos menilai saat ini kondisi Zaini Abdullah dalam posisi terjepit. Oleh karena itu sebelum makin runyam ia menyarankan kepada Zaini untuk kembali kepada rel yang benar dalam pengelolaan pemerintahan.
"Jangan sampai gara gara mutasi ilegal itu, hancur tata kelola birokrasi di Aceh. Zaini Abdulah jangan terjebak pada pembenaran dan melawan ketentuan regulasi dikarenakan muatan kepentingan pribadinya yang sangat dirasakan publik. Ekses daripada mutasi ilegal ini adalah rakyat sengsara. Proses perencanaan eksesusi program dapat terhambat. Perputaran roda pembangunan dan ekonomi Aceh pun tersendat” tutup Aryos. [] M. Hendra Vramenia (TN-W004)