Lidia (Foto/IST)
Dunia maya Indonesia kembali dikejutkan oleh kasus viral yang mengkhawatirkan: keberadaan grup Facebook dengan sekitar 32.000 akun yang disebut "Fantasi Sedarah". Grup ini memungkinkan anggota untuk mengekspresikan ketertarikan seksual terhadap anggota keluarga mereka sendiri, sebuah perilaku yang jelas melanggar norma sosial, etika, dan aturan masyarakat. Namun, kejadian ini menunjukkan masalah yang jauh lebih kompleks dan serius yang tengah melanda masyarakat kita saat ini. Itu lebih dari sekadar pelanggaran norma atau tindakan kriminal biasa.
Kasus ini menunjukkan tiga krisis besar yang terjadi secara bersamaan dan saling terkait: ketidakmampuan untuk mengawasi platform digital, kerusakan sistem perlindungan anak, dan kerusakan moral masyarakat di era digital yang serba terkoneksi dan cepat berubah.
Pertama, ketidakmampuan untuk memantau platform digital menjadi perhatian utama. Saat ini, media sosial dan platform online telah menjadi ruang interaksi yang sangat luas dan dinamis, tetapi masih sulit untuk mengawasi konten yang diposting. Sebuah grup seperti "Fantasi Sedarah" dapat berkembang dengan puluhan ribu anggota tanpa pengelola platform mengetahuinya. Ini menunjukkan bahwa sistem moderasi konten saat ini belum cukup baik untuk menemukan dan menghapus konten atau komunitas yang jelas melanggar peraturan dan kebiasaan. Selain itu, pelaku kejahatan digital semakin mahir menyamarkan tindakan ilegal mereka dengan menggunakan kode dan mekanisme tertutup yang sulit dijangkau oleh sistem otomatis dan pengawasan manusia.
Kedua, kasus ini menunjukkan seberapa buruk sistem perlindungan anak Indonesia. Anak-anak dan remaja, yang seharusnya dilindungi sepenuhnya, justru menjadi korban eksploitasi seksual—bahkan oleh orang-orang di dekat mereka. Sistem perlindungan yang ada masih belum menjangkau seluruh masyarakat, terutama di daerah-daerah di mana orang kurang memahami hukum dan menggunakan teknologi. Korban kekerasan seksual sulit melaporkan dan mendapatkan bantuan karena tidak ada pendidikan tentang bahaya kekerasan seksual dan kurangnya layanan pendampingan hukum dan psikologis. Akibatnya, kekerasan seksual dalam keluarga atau komunitas tertutup dapat berlangsung tanpa diketahui selama bertahun-tahun.
Ketiga, fenomena ini menunjukkan kehancuran moral masyarakat di tengah arus komunikasi digital yang cepat. Era hiperkonektivitas, yang memungkinkan setiap orang terhubung secara instan melalui internet, ternyata juga memiliki efek negatif, seperti penyebaran nilai-nilai yang menyimpang dan normalisasi perilaku yang tidak bermoral. Sekarang dibicarakan dan dipraktikkan secara terbuka dalam ruang digital adalah ketertarikan seksual terhadap anggota keluarga sendiri, yang secara agama dan budaya sangat tabu. Ini menunjukkan krisis nilai dan etika yang mendalam di mana batas-batas moral mulai tergerus oleh lingkungan digital yang tidak terkontrol.
Secara keseluruhan, kasus "Fantasi Sedarah" merupakan peringatan keras bagi seluruh bangsa untuk segera mengambil tindakan strategis dan padu. Untuk membentengi masyarakat dari pengaruh negatif di dunia maya, pendidikan moral dan karakter harus menjadi prioritas utama; regulasi dan teknologi yang fleksibel harus digunakan untuk memperkuat pengawasan platform digital, dan sistem perlindungan anak harus diperbaiki dan diperluas. Kasus serupa dapat muncul lagi dan merusak masa depan generasi bangsa jika tidak ditangani secara menyeluruh.
Sebagai fenomena sosial, grup Facebook "Fantasi Sedarah" lebih dari sekedar kumpulan orang dengan kecenderungan seksual menyimpang; itu adalah fenomena yang mengancam moralitas umum dan struktur sosial masyarakat. Memanfaatkan mekanisme echo chamber digital—sebuah ruang virtual tertutup di mana anggota grup saling memperkuat dan memvalidasi perilaku atau pandangan menyimpang—grup ini mengeksploitasi kerentanan psikologis setiap anggota. Dalam lingkungan seperti ini, fantasi seksual terhadap anggota keluarga sendiri, yang secara sosial dan hukum dianggap sebagai deviasi berat, diterima dan dirayakan secara kelompok.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat berfungsi sebagai ekosistem di mana komunitas tertutup yang menormalisasi perilaku patologis dapat terbentuk. Alih-alih menyembunyikan atau menekan fantasi tersebut, anggota grup berbagi cerita, foto, dan bahkan pengalaman nyata satu sama lain. Hal ini menghasilkan sebuah subkultur yang menguatkan dan memperluas ketidaksamaan tersebut. Karena ruang digital yang aman saat ini memungkinkan penyimpangan seksual berkembang bebas, norma sosial utama yang selama ini melarang dan mengutuk inses telah hancur.
Kondisi ini sangat berbahaya karena menghancurkan batasan sosial dan moral yang sangat penting untuk kehidupan keluarga dan masyarakat. Fantasi yang seharusnya menjadi ranah pribadi dan tabu akhirnya dikolektifkan dan dilegitimasi secara kelompok. Hal ini dapat menyebabkan normalisasi perilaku yang merusak hubungan keluarga, memicu kekerasan seksual, dan melanggengkan siklus trauma antar generasi. Echo chamber juga membuat individu jauh dari norma sosial yang berlaku. Akibatnya, semakin sulit bagi mereka untuk kembali ke jalur etika dan norma yang sehat.
Selain itu, fenomena ini menunjukkan ketidakmampuan kontrol sosial formal dan tidak formal. Keluarga, pendidikan, dan agama seharusnya berfungsi untuk menanamkan nilai dan moralitas, tetapi ternyata tidak berhasil mencegah komunitas seperti "Fantasi Sedarah". Ini juga menunjukkan kurangnya pengawasan dan moderasi di platform digital yang memungkinkan tumbuh suburnya ruang seperti ini.
Selain itu juga, keberadaan grup ini secara psikologis menguntungkan kebutuhan manusia untuk diterima dan diidentifikasi. Individu yang merasa teralienasi atau memiliki fantasi ekstrem mencari pengakuan dan legitimasi di kelompok-kelompok ini. Akibatnya, perilaku menyimpang dipertahankan dan diperkuat melalui interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu, "Fantasi Sedarah" bukan hanya masalah yang dihadapi oleh satu individu, tetapi juga masalah yang dihadapi oleh masyarakat secara keseluruhan, yang mengancam struktur dan fondasi sosial masyarakat secara keseluruhan.
Kasus AK (26), yang merekam video asusila dengan anak kandungnya setelah diiming-imingi uang oleh akun Facebook bernama Icha Shakila, menunjukkan kompleksitas masalah dari berbagai sudut pandang. Seperti ibu lainnya yang terlibat dalam kasus serupa, AK tergiur dengan iming-iming uang dari akun Icha Shakila karena keadaan ekonomi mereka yang buruk. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan sosial dan kemiskinan menjadi penggerak yang memungkinkan seseorang untuk dieksploitasi, bahkan mengorbankan anak kandungnya sendiri. Pemilik akun Icha Shakila melakukan manipulasi psikologis terhadap AK selain menawarkan uang. Pemilik akun, yang kemudian diketahui sebagai korban peretasan, diduga membangun kepercayaan dengan AK sebelum akhirnya meminta video asusila tersebut. Dalam proses yang mirip dengan grooming digital, pelaku mendekati korban secara bertahap untuk membangun kepercayaan dan menggunakannya.
Kasus ini menunjukkan bagaimana media sosial digunakan sebagai platform untuk melakukan kejahatan seksual. Akun Icha Shakila menggunakan Facebook untuk mencari orang, membuat ilusi, dan menyebarkan konten asusila. Ini menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, tetapi juga tempat untuk melakukan tindak pidana yang signifikan. Tindakan AK yang tegas merekam video asusila dengan anak kandungnya sendiri mencerminkan krisis moral dan degradasi nilai keluarga. Seseorang dapat kehilangan batasan moral dan etika dan melakukan tindakan yang sangat tercela karena tekanan ekonomi, pengaruh media sosial, dan kurangnya pemahaman agama.
Karena pemilik asli akun Icha Shakila juga merupakan korban kejahatan serupa, kasus ini semakin kompleks. Ini menunjukkan bahwa pelaku dan korban mungkin memiliki identitas yang tumpang tindih dan bahwa siklus eksploitasi seksual dapat terjadi secara berantai. Di era digital, penegakan hukum juga menghadapi masalah dalam kasus ini. Polisi harus bekerja keras untuk menemukan dan menangkap pelaku peretasan akun Icha Shakila, serta mengungkap jaringan yang bertanggung jawab atas pembuatan dan penyebaran konten asusila tersebut. Penegak hukum juga harus bekerja sama dengan pihak terkait, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk menghapus akun yang terlibat dalam pelanggaran serupa.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menyediakan landasan hukum yang solid untuk menindak pelaku kekerasan seksual, termasuk dalam kasus penyalahgunaan posisi atau kepercayaan. Pasal 6 huruf c UU TPKS dengan jelas menyatakan bahwa siapa pun yang menyalahgunakan posisi, kekuasaan, kepercayaan, atau pengaruh yang dihasilkan dari penipuan, keadaan, atau memanfaatkan situasi rentan, ketidakadilan, atau ketergantungan seseorang, dan kemudian memaksa atau menipu individu tersebut untuk melakukan atau membiarkan terjadi hubungan seksual atau tindakan cabul, dapat dijatuhi hukuman penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp300 juta.
Menurut undang-undang, kejahatan kekerasan seksual tidak hanya mencakup kekerasan fisik langsung, tetapi juga penyalahgunaan posisi atau hubungan yang memungkinkan pelaku mengeksploitasi seksual korban. Misalnya, seorang pejabat, guru, atau individu yang dihormati di lingkungan tertentu yang menggunakan posisi mereka untuk memaksa atau menipu korban untuk melakukan perbuatan seksual. Oleh karena itu, UU TPKS memungkinkan tindakan hukum dilakukan terhadap pelaku yang menggunakan kekuasaan atau kepercayaan sebagai alat untuk melakukan eksploitasi seksual.
Namun, regulasi ini menghadapi masalah yang cukup kompleks di tengah kemajuan teknologi dan perkembangan media sosial. Saat ini, platform digital sering kali menjadi tempat berbagai jenis kekerasan seksual, seperti eksploitasi dan penyebaran konten asusila. Meskipun UU TPKS sudah mengatur secara jelas, ada beberapa hal yang membuat pelaksanaan dan penegakan hukumnya menjadi sulit.
Pertama, karena anonimitas dan penyamaran identitas di internet, sulit untuk menemukan dan membuktikan penyalahgunaan kedudukan di dunia digital. Untuk menghindari dideteksi, pelaku dapat menggunakan akun palsu, enkripsi, dan metode lainnya. Kedua, karena tidak ada kerja sama yang baik antara penegak hukum dan penyedia platform digital, konten atau kelompok yang melanggar hukum seperti "Fantasi Sedarah" dapat bertahan lama sebelum dihapus. Ketiga, banyak kasus yang tidak terungkap atau tidak ditangani dengan serius karena masyarakat kurang mengetahui hak-hak korban dan cara melaporkan kekerasan seksual di internet.
Kasus inses di Pati, Jawa Tengah, di mana seorang korban berusia 17 tahun menjadi sasaran pemerkosaan oleh ayah kandungnya selama satu tahun, memberikan gambaran tragis dari kegagalan berbagai aspek sistem perlindungan anak. Kasus ini menunjukkan bukan hanya kekerasan seksual dalam keluarga terdekat korban, tetapi juga berbagai masalah sosial, psikologis, dan kelembagaan yang saling terkait yang memperparah penderitaan korban.
Dari perspektif perlindungan hukum dan sosial, kasus ini menunjukkan kelemahan sistem pengawasan dan penanganan kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan seksual terhadap anak. Karena kekerasan dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung utama, korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan terbaik dari keluarga dan masyarakat justru menjadi korban berlapis. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pelaporan dan penanganan kasus kekerasan seksual dalam keluarga belum berjalan dengan baik, terutama di daerah-daerah yang kekurangan layanan pendampingan dan akses informasi.
Kedua, kekerasan psikologis yang dialami korban dan keluarganya diperburuk oleh ancaman pelaku, termasuk kemungkinan pelaku akan menceraikan korban. Ancaman tersebut tidak hanya membuat korban ketakutan dan tekanan emosional, tetapi juga membuat sulit bagi mereka untuk melapor atau mendapatkan bantuan. Ini adalah jenis dua korban, di mana korban tidak hanya mengalami kekerasan fisik tetapi juga mengalami tekanan psikologis, yang memperburuk kondisi mentalnya.
Ketiga, penyuntikan alat kontrasepsi (KB) yang dilakukan secara ilegal oleh pelaku terhadap korban menambah lapisan kekerasan yang lebih serius, yaitu pemaksaan terhadap tubuh dan hak reproduksi korban atau reproductive coercion yang diatur dalam Pasal 4 UU TPKS tentang pemaksaan kontrasepsi. Dalam kasus kekerasan seksual, hak asasi manusia dan kesehatan reproduksi korban dilecehkan oleh tindakan ini. Selain itu, situasi ini menunjukkan bahwa petugas kesehatan dan lingkungan sekitar tidak memahami dan tidak waspada terhadap tanda-tanda kekerasan yang dialami korban.
Keempat, ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat dan pendidikan rendah tentang kekerasan seksual dalam keluarga. Korban dan keluarganya seringkali tidak dapat mengungkapkan kekerasan yang mereka alami karena stigma sosial yang melekat pada mereka. Budaya tutup mulut dan rasa malu yang tinggi menyebabkan banyak kasus serupa tidak terungkap dan terus berlarut-larut tanpa penanganan yang memadai.
Kelima, dari sudut pandang sistem perlindungan anak secara keseluruhan, kasus ini memerlukan peningkatan kerja sama antar lembaga, seperti aparat penegak hukum, dinas sosial, layanan kesehatan, sekolah, dan kelompok masyarakat sipil. Setiap kasus kekerasan seksual terhadap anak harus ditangani secara menyeluruh dan berkelanjutan, dengan perhatian khusus pada pemulihan sosial dan psikologis korban serta masalah hukum. Oleh karena itu, kasus inses di Pati menunjukkan kegagalan berbagai aspek sistem perlindungan anak, yang memerlukan perhatian serius dan tindakan nyata dari semua pihak.
Untuk menangani secara menyeluruh kasus seperti "Fantasi Sedarah" dan berbagai jenis kekerasan seksual di dunia maya, diperlukan tindakan strategis yang mencakup regulasi, teknologi, dan perlindungan masyarakat. Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah langkah penting yang perlu dilakukan. Ini akan membuat undang-undang lebih fleksibel dan responsif terhadap tantangan kejahatan seksual digital.
Pertama, revisi UU ITE harus membuat platform digital bertanggung jawab untuk menerapkan sistem verifikasi nama asli. Sistem ini mewajibkan setiap orang yang menggunakan media sosial atau platform online lainnya untuk menggunakan identitas asli yang terverifikasi sebelum dapat bergabung atau mengakses komunitas online. Dengan verifikasi identitas yang ketat, kemungkinan orang menyamar sebagai orang lain dan menggunakan akun anonim diminimalkan. Ini akan membantu penegak hukum menemukan pelaku kejahatan seksual dan konten ilegal dan mempercepat proses hukuman. Sistem ini juga dapat menurunkan keberanian pelaku untuk melakukan tindakan asusila secara online karena risiko tertangkap meningkat.
Kedua, UU ITE yang diubah harus mewajibkan platform digital untuk menggunakan teknologi penyaringan konten berbasis kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini harus sangat sensitif terhadap konten yang mengandung unsur kekerasan seksual, terutama konten yang berkaitan dengan inses dan eksploitasi anak. Bahkan sebelum konten tersebar luas, teknologi ini dapat secara otomatis mendeteksi, memblokir, dan menghapus konten yang melanggar hukum dalam waktu cepat. Sistem ini dapat menjadi pemimpin dalam mencegah normalisasi dan penyebaran konten berbahaya di internet berkat algoritma yang terus diperbarui dan dilatih.
Ketiga, indeks ketahanan keluarga harus dibuat oleh Kementerian PPPA. Ini harus melacak kerentanan keluarga terhadap kekerasan domestik.
Keempat, menggunakan teknik kultur engineering untuk melibatkan tokoh agama dan adat dalam kampanye anti-inses. Metode edukasi hukum yang didasarkan pada kearifan lokal di Lombok Barat telah terbukti berhasil mengubah pandangan masyarakat tentang tata kelola pemerintahan yang bersih. Strategi serupa juga dapat diterapkan untuk menangani masalah inses.
Terakhir, pembentukan tim khusus polisi yang terdiri dari psikolog, pekerja sosial, dan ahli digital forensik. Selain memberikan bantuan hukum dan psikologis kepada korban, tim ini harus dapat melakukan profiling digital terhadap akun mencurigakan.
Puncak dari krisis moral digital yang membutuhkan respons multidimensi adalah Fantasi Sedarah. Negara harus hadir bukan hanya sebagai peraturan, tetapi juga sebagai insinyur sosial yang membangun pertahanan masyarakat terhadap deviasi sosial. Karena masa depan negara terletak di ruang-ruang gelap dunia maya, perlindungan anak dan remaja harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan teknologi. Karena tindakan tegas yang diambil terhadap grup Facebook ini hanyalah awal dari perjuangan yang berkelanjutan melawan normalisasi kekerasan seksual di internet. Kementerian Kominfo mengatakan, "Apa yang pelaku lakukan berpotensi merusak masa depan satu generasi." Untuk menyelamatkan satu anak dari kekerasan seksual adalah menyelamatkan masa depan umat manusia, jadi kita semua harus menjadi pahlawan utama dalam perjuangan ini.[]
Penulis :
Lidia, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, email: lidiaamanda39@gmail.com