![]() |
Foto/Ilustrasi |
Sering kita dengar bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi toleransi dalam beragama. Hal ini bahkan tercermin dalam dasar negara kita, tepatnya sila pertama. Tapi kenyataannya banyak sekali konflik yang melibatkan agama. Kenapa bisa ya?, padahal nih kita hidup dalam satu identitas yang sama, yakni sebagai warga negara Indonesia.
Pada artikel ini mari kita coba bahas mengapa konflik agama bisa menjadi isu penting untuk identitas nasional Indonesia. Sekaligus ini menjadi kesempatan untuk semakin memperdalam pemahaman identitas nasional.
Identitas menjadi simbol melekat pada entitas yang eksis. Sederhananya, satu generasi dalam universitas tanpa adanya nama angkatan, akan sulit diakui. Sebab pentingnya identitas pada entitas yang eksis itu sebagai pembeda antar satu dengan yang lain (ciri khas). Dasar tersebut berlaku pada konteks yang lebih luas yaitu hubungan antar bangsa. Identitas nasional sebagai basis interaksi dalam hubungan internasional.
Simbol yang terkandung dalam makna identitas nasional tidak hanya terfokus pada artefak budaya seperti bendera dan bahasa, tetapi mencakup tindakan dari pemimpin negara. Pada konteks ini, perdebatan mengenai pengutusan Prabowo kepada Joko Widodo untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus menjadi isu hangat yang menarik untuk dibahas.
Langkah tersebut memilik pengaruh yang signifikan dalam dinamika identitas nasional dan hubungan internasional. Membentuk citra positif Indonesia akan toleransi keberagaman agama serta politik yang sehat. Meskipun demikian, banyak respon dari masyarakat terkait tindakan Prabowo, adanya pandangan pro maupun kontra dalam mencerminkan identitas Indonesia.
Cohen menegaskan bahwa identitas nasional berhubungan dengan simbol dan tanda. Hadirnya Joko Widodo pada pemakaman Paus Franskisus adalah wujud duka cita serta bentuk penghormatan terhadap agama lain. Tindakan Joko Widodo menjadi simbol penting, bahwa Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam menjunjung nilai toleransi antar umat beragama.
Kita juga dapat melihat Islam di Indonesia memiliki ciri khas dalam memperingati kematian yang berbeda dengan negara lain. Tradisi memberikan penghormatan kepada orang meninggal pada hari ke-7, ke-40, ke-100, sampai ke-1000 secara berturut-turut. Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa tindakan Joko Widodo menjadi simbol yang di maksud dalam kajian identitas nasional untuk menghormati keberagaman agama serta budaya.
Perlu kita ingat bersama bahwa 2024, Indonesia berada dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Akan tetapi pengutusan Prabowo kepada Joko Widodo untuk menghadiri pemakaman Paus Franskisus memicu beragam reaksi. Beberapa menilai tindakan Prabowo kurang tepat dalam konteks representasi toleransi agama karena penghormatan kepada Paus harus diwakilkan oleh seseorang yang tidak lagi bertugas pada Pemerintahan Indonesia.
Pertanyaan muncul di masyarakat: mengapa Joko Widodo yang menjadi utusan, dan bukan Wakil President terpilih, misalnya?. Respon perihal ini terpolarisasi, pandangan pro melihat hal ini sebagai sesuatu yang wajar, sementara pandangan kontra mengindikasikan motif tertentu dari Joko Widodo untuk terlibat dalam urusan pemerintahan.
Perdebatan yang muncul terkait pengutusan Joko Widodo memaparkan bahwa representasi identitas nasional, khususnya isu sentitif seperti agama dan politik bukanlah hal yang sederhana. Upaya dalam menyampaikan makna toleransi dan persatuan dipahami secara beragam oleh masyarakat. Seperti menurut Cohen dalam memaparkan makna simbol (sign) tidak memiliki makna yang tetap, melainkan dapat menjadi persaingan antar pihak. Seharusnya toleransi ini direpresentasikan oleh pemimpin negara, tidak diwakilkan pihak lain.
Meski demikian maksud pengutusan ini tidak mengurangi maksud menampilkan citra Indonesia yang toleran dan menghormati keberagaman, namun dinamika respon masyarakat masih menampakkan adanya kesulitan dalam mewujudkan identitas nasional yang inklusif. Perselisihan ini memberikan pemahaman tentang sensitivitas isu agama dalam masyarakat Indonesia dan perlunya usaha berkelanjutan untuk membangun bersama makna toleransi dan persatuan.[]
Penulis :
Dina Kamaliya Istighfari, mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang