Dua Dunia yang Sering Dianggap Bertentangan
Dalam sejarah manusia, sains dan agama sering kali digambarkan sebagai dua dunia yang bertentangan. Di satu sisi ada ilmu pengetahuan yang berlandaskan observasi, eksperimen, dan logika. Di sisi lain ada agama yang mengandalkan iman, wahyu, dan spiritualitas. Tak jarang, konflik muncul ketika temuan ilmiah dianggap meruntuhkan keyakinan keagamaan.
Namun, apakah memang harus demikian? Apakah sains benar-benar ancaman bagi agama? Atau justru keduanya bisa saling melengkapi dalam mencari makna dan kebenaran?
Sains dan Agama: Fungsi Berbeda, Tujuan Sama
Agama dan sains pada dasarnya memiliki fungsi yang berbeda namun tujuan yang sama. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang eksistensi manusia dan alam semesta.
1. Sains berusaha menjelaskan "bagaimana" sesuatu terjadi—seperti bagaimana bumi berevolusi, bagaimana virus menyebar, atau bagaimana otak bekerja.
2. Agama , di sisi lain, lebih fokus pada "mengapa"—pertanyaan tentang makna, tujuan, nilai moral, dan hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa.
Ketika sains menjelaskan proses evolusi, agama bisa memberikan konteks filosofis dan spiritual tentang arti hidup dan tanggung jawab manusia. Ketika sains menciptakan teknologi AI, agama bisa membantu menyediakan kerangka etika untuk penggunaannya.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ”
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (HR. Ibn Majah)
Hadits ini menjadi bukti bahwa dalam ajaran Islam, ilmu pengetahuan tidak hanya diperbolehkan, tetapi bahkan diwajibkan. Iman dan ilmu bukan dua hal yang saling eksklusif, tetapi justru saling melengkapi.
Contoh Harmonisasi dari Sejarah
Banyak tokoh besar dalam sejarah yang berhasil menyeimbangkan antara iman dan ilmu. Ilmuwan Muslim seperti Ibn al-Haytham (Alhazen) , yang dikenal sebagai bapak optik, tidak hanya berkontribusi besar dalam bidang fisika dan matematika, tetapi juga mengaitkan penelitiannya dengan pemikiran filosofis dan teologis.
Zaman keemasan peradaban Islam (abad ke-8 hingga ke-13) menjadi contoh nyata bagaimana sains dan agama bisa berkembang bersama. Lembaga-lembaga seperti Bait al-Hikmah di Baghdad menjadi pusat penerjemahan, penelitian, dan dialog antarilmuwan dari berbagai latar belakang agama dan budaya.
Di Barat, tokoh-tokoh seperti Isaac Newton dan Gregor Mendel pun tidak memisahkan iman mereka dari pencarian ilmu. Bahkan, bagi banyak ilmuwan masa lalu, mempelajari alam adalah cara untuk memahami ciptaan Tuhan lebih dalam.
Tantangan Zaman Kini
Era digital dan kemajuan teknologi saat ini semakin memperjelas pentingnya harmoni antara sains dan agama. Isu-isu seperti kecerdasan buatan, edit gen (CRISPR), perubahan iklim, hingga vaksinasi , membutuhkan pendekatan holistik yang tak hanya ilmiah, tapi juga etis dan humanis.
Misalnya, saat pandemi Covid-19, banyak pemuka agama awalnya ragu terhadap vaksin karena isu halal atau kekhawatiran efek samping. Namun melalui dialog antara ulama dan ahli medis, akhirnya vaksin diterima secara luas dengan legitimasi baik dari sisi sains maupun agama.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
"Dan katakanlah (Ya Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu." (QS. Thaha: 114)
Ayat ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk senantiasa haus akan ilmu, tanpa khawatir itu akan melemahkan iman. Justru, semakin dalam kita memahami alam semesta, semakin besar pula rasa takwa kepada Sang Pencipta.
Menuju Rekonsiliasi dengan Menggemakan Dialog
Untuk menciptakan harmoni antara sains dan agama, dibutuhkan ruang-ruang dialog yang terbuka dan saling menghormati. Pendidikan menjadi salah satu pintu masuk utama. Sekolah-sekolah dan pesantren perlu mengintegrasikan pendidikan sains dan nilai-nilai agama agar siswa tidak merasa terjepit antara dua dunia.
Selain itu, media juga memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi secara seimbang, tanpa memperkeruh polarisasi antara kelompok ilmiah dan keagamaan.
Kebenaran Itu Satu, Cara Menemukannya Banyak
Imam Syafi’i pernah memberikan khikmah bahwa “ilmu adalah cahaya dari Allah”, sedangkan dalam tradisi Kristiani disebutkan terdapat ungkpaan populer bahwa “segala sesuatu diciptakan dengan sabda-Nya”. Jika kita percaya bahwa kebenaran itu satu, maka sains dan agama bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua cara berbeda menuju kebenaran yang sama.
Sebagai manusia modern, kita tidak perlu memilih antara iman dan ilmu. Kita bisa menjadi orang yang percaya pada Tuhan sekaligus percaya pada metode ilmiah. Karena pada akhirnya, sains mengajarkan kita untuk tahu, agama mengajarkan kita untuk bijak. Dan di tengah kedua dunia itu, manusia menemukan makna.[]
Penulis :
Hilwa Hanum Salsabila, mahasiswi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan