![]() |
| Foto/ILUSTRASI |
Ilmu sains dan agama kerap kali dianggap bertentangan. Beberapa individu menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai berkah yang signifikan, yang mampu mendukung manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya melalui pemanfaatan robot dan teknologi mutakhir. Hal ini memungkinkan pekerjaan menjadi lebih mudah dan cepat, sehingga meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Namun, tidak semua orang setuju dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, yang seringkali memicu diskusi dan perdebatan mengenai hubungan antara sains, teknologi, dan nilai-nilai agama.
Agama dan pengetahuan sebetulnya memiliki hubungan yang sangat dekat, yang berasal dari dorongan dalam diri manusia, seperti pikiran, perasaan, dan keyakinan. Pikiran manusia mendorong terciptanya pengetahuan melalui pengalaman dan pengamatan langsung. Di sisi lain, perasaan dan keyakinan menjadi dasar spiritual yang menggerakkan agama, yang berlandaskan pada wahyu dan nilai-nilai yang lebih tinggi. Meskipun keduanya berasal dari sumber yang berbeda, tujuan mereka serupa: membantu manusia untuk memahami dunia, diri mereka sendiri, dan keberadaan Tuhan. Menggabungkan agama dan pengetahuan akan memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang kehidupan dan tujuan kita di dunia ini (Bayani, 2024).
Selama ini, agama Islam dan sains sering kali ditempatkan di dua kutub yang saling berseberangan. Banyak yang beranggapan bahwa sains hanyalah urusan dunia, sementara agama urusan akhirat. Akibatnya, ketika seseorang mengejar pengetahuan, ia dianggap menjauh dari nilai-nilai spiritual, seolah-olah menjadi ilmuwan berarti harus meninggalkan kesalehan (Muthahhari, 2007). Padahal, dalam sejarah Islam sendiri, ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Khawarizmi justru membuktikan bahwa iman dan akal bisa berjalan seiring. Mereka adalah contoh hidup bahwa menjadi cerdas tidak harus menanggalkan iman, dan menjadi religius tidak harus mengabaikan logika.
Masalah utama terletak pada pola pikir konservatif yang kemudian menjadi budaya turun-temurun, serta sistem pendidikan kita yang belum sepenuhnya mampu membentuk cara berpikir yang terbuka terhadap perubahan. Apabila masyarakat terus bersikukuh mempertahankan cara pandang lama dan menolak perkembangan zaman, hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat disayangkan. Padahal, Islam merupakan agama yang dinamis, progresif, dan senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Dalam ajaran Islam sendiri, umat dianjurkan untuk terus belajar dan menuntut ilmu, termasuk ilmu pengetahuan dan sains. Tidak ada ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk menutup diri dari kemajuan. Sebaliknya, perintah pertama dalam Al-Qur’an, yaitu iqra (bacalah), merupakan ajakan untuk memahami dunia melalui ilmu pengetahuan (Darlis, 2017).
Sayangnya, pemikiran konservatif ini telah menjadi seperti virus yang perlahan berkembang menjadi budaya. Ia tertanam kuat dalam benak sebagian masyarakat, diwariskan dari generasi ke generasi, dan pada akhirnya dianggap sebagai kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan. Dampaknya, banyak orang yang menolak teknologi, bersikap anti terhadap sains, bahkan merasa bangga berada dalam ketertinggalan. Ironisnya, sebagian dari mereka menggunakan perangkat teknologi seperti telepon genggam untuk menyebarkan pandangan tersebut melalui media sosial. Padahal, pada masa kini, teknologi dan sains sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, dari kesehatan, pendidikan, komunikasi, hingga praktik keagamaan. Menolak sains sama saja dengan kembali pada pola pikir sempit seperti yang terjadi pada zaman jahiliyah, di mana kebenaran ditolak karena terjebak dalam keyakinan yang membutakan (Kholid, 2022).
Itulah sebabnya, integrasi antara sains dan agama sangat diperlukan. Kita hidup di tengah dunia yang penuh tantangan global, perubahan iklim, kecerdasan buatan, konflik sosial, dan krisis moral. Semua ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan rumus matematika atau ayat suci saja. Keduanya harus berjalan berdampingan. Pendidikan berbekal agama harus bertransformasi menjadi sistem yang memupuk akal dan hati secara bersamaan. Tanpa itu, kita akan terus tertinggal, hanya jadi penonton dari dunia yang bergerak cepat, tapi lupa arah. Sudah waktunya agama dan sains dijadikan sebagai dua insan yang harus dipersatukan, agar keduanya bisa menjadi pondasi dunia yang penuh lika-liku dan rintangan seperti sekarang.[]
Daftar Pustaka
Bayani, D. (2024). The Importance Of Harmonizing Science And Religion For The Life Of Generation Z: Pentingnya Harmonisasi Sains Dan Agama Bagi Kehidupan Generasi Z. Averroes: Journal For Science And Religious Studies, 1(03), 159-173.
Darlis, A. (2017). Motivasi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Hadis Nabi. POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, 3(1), 1-28.
Kholid, M., Andriana, N., Alkattani, A. H., & Supraha, W. (2022). Educational Thought Adian Husaini: Concepts and Practices. Jurnal At-Ta’dib Vol, 17(1).
Muthahhari, M. (2007). Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci. Mizan Pustaka.
Penulis :
Zahra Aulia, mahasiswa Program Studi Tadris Matematika UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, email : jaraaul29@gmail.com


