Foto/Ilustrasi
Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang mencetak generasi berakhlak mulia. Namun, sejumlah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pimpinan pesantren terhadap santri telah mencoreng reputasi pesantren sebagai tempat pembinaan moral. Kondisi ini menuntut adanya pembenahan sistem manajemen pesantren, khususnya dalam aspek pengawasan, kepemimpinan, dan penanganan krisis. Artikel ini bertujuan mengkaji bagaimana manajemen pesantren harus diperbaiki agar kekerasan seksual tidak terulang kembali.
Krisis Moral di Balik Lemahnya Sistem Manajemen
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pimpinan pesantren bukan hanya pelanggaran hukum dan syariat, tetapi juga mencerminkan lemahnya manajemen internal lembaga. Dalam kasus di Lombok Barat, seorang pimpinan yayasan pesantren mencabuli belasan santri sejak tahun 2015 dengan dalih spiritual. Ia meyakinkan para korban untuk meminum air liurnya agar memperoleh keturunan mulia yang menerangi desa mereka. Para santri, karena menganggap pelaku sebagai guru, tokoh agama, dan orang tua spiritual, akhirnya menuruti permintaan tersebut tanpa perlawanan.¹
Aspek Manajemen yang Harus Diperbaiki
1. Manajemen Kepemimpinan
Pemimpin pesantren tidak boleh menjadi sosok absolut yang tidak bisa dikritik. Kepemimpinan dalam Islam mensyaratkan akhlak dan integritas tinggi. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa pemimpin harus memiliki tanggung jawab moral dan spiritual yang besar karena ia adalah panutan umat. Dalam pendidikan Islam, pemimpin wajib meneladani sifat Rasulullah SAW: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas). ² Oleh karena itu, sistem kepemimpinan harus membatasi kekuasaan individual dan memungkinkan evaluasi berkala serta rotasi jabatan.
2. Manajemen Pengawasan
Lemahnya pengawasan internal menjadi celah besar bagi terjadinya penyimpangan. Pesantren harus memiliki dewan pengawas independen yang tidak tunduk pada struktur tunggal. Dewan ini bertugas mengawasi perilaku pengasuh, menerima laporan dari santri, dan memastikan jalannya lembaga sesuai syariat dan hukum negara. Saluran pelaporan rahasia dan mekanisme whistleblower harus disediakan agar santri merasa aman menyampaikan keluhan.
3. Manajemen SDM
Rekrutmen guru dan pengasuh harus mempertimbangkan aspek kepribadian dan rekam jejak moral, tidak semata pada kapabilitas akademik. Pelatihan tentang etika profesi, perlindungan anak, dan pencegahan kekerasan seksual harus diwajibkan secara berkala bagi seluruh staf.
4. Manajemen Kurikulum dan Nilai
Kurikulum pesantren perlu memasukkan nilai-nilai kesadaran hak individu, adab pergaulan, serta pendidikan seksualitas yang Islami. Ini penting agar santri memahami batasan-batasan syar'i dan dapat membedakan antara nasihat agama dengan manipulasi spiritual.
5. Manajemen Krisis
Pesantren wajib memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual, termasuk prosedur pelaporan, pendampingan psikologis bagi korban, serta kerja sama dengan aparat hukum. Penyelesaian internal yang bersifat menutup-nutupi harus dihentikan karena bertentangan dengan nilai keadilan dalam Islam. Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS. Al-Ma’idah: 8)³
Perbaikan manajemen di lembaga pendidikan Islam sangat mendesak agar kasus pelecehan seksual tidak kembali terjadi. Kepemimpinan yang berlandaskan akhlak, sistem pengawasan yang transparan, SDM yang terlatih, kurikulum yang mendidik kesadaran, serta SOP krisis yang tegas adalah langkah konkret yang wajib diterapkan. Dengan begitu, pesantren dapat kembali menjadi benteng moral dan spiritual yang aman bagi generasi Muslim.[]
Referensi
1. Tempo.co, “Ketua Yayasan Pesantren di Lombok Barat Cabuli Belasan Santri Sejak 2015,” 24 April 2025, https://www.tempo.co/hukum/ketua-yayasan-pesantren-di-lombok-barat-cabuli-belasan-santri-sejak-2015-1237527
2. Khusna Haibati Lathif, Mutia Eka Putri, Muhammad Wildanul Haq, dan Sarifa Sintia Mahdalina. “Kepemimpinan Dalam Islam,” Jurnal Kepemimpinan Pendidikan Islam, Jilid 1, Nomor 1, Desember 2021. https://www.researchgate.net/publication/375082125_Kepemimpinan_Dalam_Islam
3. Al-Qur’an, Surah Al-Ma’idah ayat 8
Penulis :
Nova Pebriani, mahasiswi STIT Madani Yogyakarta