![]() |
Foto/ILUSTRASI |
Selama berabad-abad, hubungan antara sains dan agama sering dipresepsikan dalam kerangka permasalahan. Sains dianggap sebagai wakil rasionalitas dan kemajuan, sementara agama dianggap sebagai simbol kepercayaan dan konservatisme. Presepsi ini tidak hanya menyederhanakan kompleksitas kedua ranah, tetapi juga menutup kemungkinan yang memperkaya keduanya. Dikotomi sains dan agama adalah komposisi yang lahir dari kesalahpahaman pengalaman dan ego epistemologis. Keduanya sebenarnya memiliki tempat yang berbeda namun saling melengkapi. Sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja, sementara agama mencari jawaban atas pertanyaan mengapa kita ada dan apa tujuan hidup kita. Menganggap keduanya saling tidak menganggap adalah seperti memisahkan pikiran dari hati padahal manusia membutuhkan keduanya untuk memahami keberadaan.
Bukti sejarah menunjukkan bahwa banyak ilmuwan besar justru didorong oleh kepercayaan spiritual. Newton, Kepler, Darwin, masing-masing memiliki relasi unik dengan agama. Di masa kini, tokoh seperti Francis Collins menunjukkan bahwa seorang ilmuwan dapat menjadi religius tanpa kehilangan integritas ilmiahnya. Membuktikan bahwa integrasi bukan hanya mungkin, tapi sudah terjadi. Namun, membangun harmonisasi yang sehat antara sains dan agama menuntut kerendahan hati kedua pihak. Ilmuwan harus menyadari Sains tidak menjawab pertanyaan tentang makna dan nilai hidup. Sebaliknya, pemuka agama perlu terbuka terhadap temuan-temuan ilmiah yang memperluas pemahaman kita tentang ciptaan yang ada di semesta.
Sejak revolusi ilmiah, sains dengan metodologi empirisnya, dipandang sebagai pembongkar mitos dan ilusi, sementara agama, dengan kepercayaannya yang mapan, dianggap sebagai penjaga tradisi dan sumber kebenaran spiritual yang tak tergoyahkan. Namun, pandangan ini semakin terbukti sebagai penghalang bagi pemahaman yang lebih kaya dan holistik tentang realitas. Salah satu akar dari dikotomi ini terletak pada perbedaan landasan dalam metodologi dan fokus. Sains beroperasi dalam ranah yang dapat diamati, diukur, dan diuji. Kebenarannya bersifat sementara dan terbuka untuk revisi berdasarkan bukti baru. Agama, di sisi lain, seringkali berurusan dengan hal-hal yang transenden, melampaui batas-batas pengalaman empiris. Kebenarannya seringkali dianggap abadi dan bersumber dari wahyu atau tradisi suci. Perbedaan ini memicu anggapan bahwa keduanya berada dalam ranah yang terpisah dan tidak dapat didamaikan.
Upaya untuk membangun dialog yang konstruktif antara sains dan agama semakin menguat di era modern. Beberapa pendekatan yang muncul antara lain:
1) Model Keterpisahan : Model ini berpendapat bahwa sains dan agama beroperasi dalam "magisteria" yang berbeda dan tidak saling tumpang tindih. Sains berurusan dengan pertanyaan tentang "bagaimana" alam semesta bekerja, sementara agama menjawab pertanyaan tentang "mengapa" tentang makna, tujuan, dan nilai. Stephen Jay Gould adalah salah satu pendukung terkemuka dari pandangan ini, dengan konsep Non-Overlapping Magisteria (NOMA).
2) Model Dialog : Model ini menekankan potensi untuk interaksi dan saling pengertian antara sains dan agama. Ia mengakui perbedaan metodologis namun mencari titik temu dan area di mana kedua perspektif dapat saling melengkapi. Misalnya, wawasan ilmiah tentang kompleksitas alam semesta dapat memicu kekaguman dan refleksi teologis tentang keagungan Sang Pencipta.
Model Integrasi : Model ini berusaha untuk menyatukan perspektif ilmiah dan agama ke dalam kerangka kerja yang lebih komprehensif. Beberapa pendekatan dalam model ini termasuk teologi natural (menggunakan akal dan pengalaman alam untuk memahami Tuhan) dan teologi proses (pandangan teologis yang dipengaruhi oleh konsep filosofis tentang proses dan perubahan).[]
Penulis :
Tutik Alawiyah, mahasiswi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan