Notification

×

Iklan

Iklan

Masalah Yuridis dalam Penetapan Hak Hadhanah (Hak Asuh Anak) di Peradilan Agama

Kamis, 01 Mei 2025 | Mei 01, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-01T16:36:50Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Mayda Rindiany (Foto/IST)

Penetapan hak hadhanah atau hak asuh anak setelah perceraian merupakan salah satu isu krusial di peradilan agama. Masalah ini tidak hanya bersifat emosional bagi para pihak, tetapi juga menjadi kompleks secara yuridis. Pengadilan agama dihadapkan pada tugas berat untuk memutuskan siapa yang paling layak mengasuh anak pasca perceraian. Dalam praktiknya, berbagai pertimbangan hukum dan sosial menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Namun, penerapan hukum tersebut sering kali menimbulkan persoalan.

 

Secara normatif, hadhanah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan juga merujuk pada ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Dalam KHI, prinsip utama yang digunakan adalah kepentingan terbaik bagi anak. Namun, dalam praktik pengadilan, interpretasi tentang "kepentingan terbaik anak" bisa sangat subjektif. Perbedaan persepsi antar hakim mengenai kondisi psikologis anak dan kecakapan orang tua kerap menjadi sumber ketidakpastian hukum. Akibatnya, keputusan tentang hak asuh sering kali menuai kontroversi.

 

Permasalahan yuridis lainnya muncul dari keterbatasan alat bukti yang diajukan dalam perkara hadhanah. Bukti mengenai kemampuan fisik, finansial, dan psikologis pihak pengasuh sering kali tidak memadai. Padahal, faktor-faktor tersebut sangat penting untuk memastikan kesejahteraan anak di masa depan. Pengadilan agama dituntut untuk membuat keputusan cepat, namun sering terkendala oleh minimnya data pendukung. Hal ini berpotensi menimbulkan keputusan yang kurang akurat dan adil.

 

Selain itu, ketidakseragaman dalam penafsiran hukum antara satu pengadilan agama dengan pengadilan agama lainnya memperparah ketidakpastian. Ada pengadilan yang lebih menitikberatkan hak ibu sebagai pengasuh utama, sementara lainnya mempertimbangkan aspek ekonomi dari ayah. Padahal, semestinya kepentingan terbaik anaklah yang menjadi pertimbangan utama. Kondisi ini menunjukkan perlunya pedoman yuridis yang lebih rinci dan terstandar. Standarisasi ini penting untuk menjaga konsistensi putusan di seluruh wilayah.

 

Tidak jarang juga muncul masalah tentang eksekusi putusan hadhanah yang telah inkracht. Salah satu pihak sering kali tidak patuh terhadap keputusan pengadilan, sehingga hak asuh sulit direalisasikan. Pada tahap ini, keterbatasan aparat dalam mengeksekusi keputusan hukum menjadi tantangan serius. Anak sering kali menjadi korban konflik berkepanjangan antara orang tua yang bercerai. Oleh sebab itu, mekanisme eksekusi putusan hadhanah perlu diperkuat dalam sistem peradilan agama.

 

Aspek yuridis lain yang kerap menjadi perdebatan adalah soal perubahan hak hadhanah setelah putusan. Dalam praktiknya, pihak yang mendapatkan hak asuh tidak selamanya mampu mempertahankan kondisi terbaik untuk anak. Namun, proses perubahan hak asuh memerlukan pembuktian baru yang kompleks dan memakan waktu lama. Hal ini membuat pihak yang dirugikan harus menanggung beban pembuktian yang berat. Padahal, perubahan kondisi anak harus segera direspon cepat demi kepentingan anak itu sendiri.

 

Sering juga terjadi, dalam proses penetapan hak hadhanah, muncul masalah terkait dengan keberpihakan hakim. Dugaan subjektivitas dalam mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, dan kedekatan emosional menjadi sorotan. Dalam beberapa kasus, hakim dianggap lebih condong pada satu pihak karena faktor latar belakang tertentu. Hal ini menciderai prinsip keadilan yang seharusnya menjadi roh utama dalam penyelesaian perkara hadhanah. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat etika dan profesionalitas hakim dalam menangani kasus ini.

 

Ketentuan tentang usia anak yang berhak memilih tinggal dengan salah satu orang tua juga menimbulkan persoalan yuridis. Dalam KHI, anak yang sudah mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk) biasanya diberi hak memilih, namun batasan usia ini sering kali menjadi perdebatan. Ada hakim yang menetapkan batas usia 12 tahun, ada pula yang lebih fleksibel tergantung kondisi anak. Ketidakjelasan batasan ini membuat keputusan menjadi tidak seragam. Kepastian hukum menjadi sulit tercapai tanpa aturan yang eksplisit dan ketat.

 

Persoalan lain yang mengemuka adalah tentang pembuktian kondisi moral dan agama pihak yang mengajukan hak hadhanah. Sering kali, pihak lawan sengaja menggugat karakter moral untuk menjatuhkan permohonan hak asuh. Ini menyebabkan proses sidang menjadi panjang dan penuh intrik. Padahal, hadhanah seharusnya fokus pada kesejahteraan anak, bukan sekadar ajang pembuktian siapa yang lebih baik secara moral di mata pengadilan. Penyalahgunaan jalur hukum ini perlu mendapat perhatian khusus.

 

Dalam penyelesaian perkara hadhanah, mediasi sebenarnya menjadi alternatif yang cukup efektif. Sayangnya, efektivitas mediasi di peradilan agama belum optimal. Banyak pihak yang masih menganggap mediasi hanya sebagai formalitas belaka sebelum memasuki persidangan. Padahal, jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, mediasi dapat mengurangi konflik emosional antara orang tua dan mempercepat tercapainya kesepakatan terbaik bagi anak. Penguatan fungsi mediasi perlu menjadi perhatian dalam reformasi peradilan agama.

 

Perlu juga dikritisi bahwa banyak keputusan hadhanah belum mempertimbangkan aspek psikologi anak secara profesional. Penilaian kondisi mental dan emosional anak sering kali hanya berdasarkan keterangan para pihak atau observasi sederhana hakim. Padahal, keterlibatan ahli psikologi anak sangat penting untuk memberikan gambaran objektif. Dengan demikian, pengadilan dapat mengambil keputusan yang lebih adil dan berorientasi pada kebutuhan psikologis anak. Penguatan kerja sama antara peradilan agama dan ahli psikologi harus menjadi prioritas.

 

Selain masalah psikologis, terdapat pula problem terkait pelaksanaan nafkah anak pasca putusan hadhanah. Hak hadhanah tidak terlepas dari kewajiban salah satu pihak, terutama ayah, untuk memberikan nafkah kepada anak. Namun, dalam banyak kasus, pelaksanaan kewajiban ini tidak dipatuhi secara konsisten. Sanksi hukum atas kelalaian ini masih tergolong lemah dan kurang ditegakkan. Akibatnya, anak yang diasuh kerap mengalami kesulitan ekonomi yang seharusnya tidak perlu terjadi.

 

Tidak kalah penting adalah persoalan yurisdiksi atau kewenangan absolut dalam menangani perkara hadhanah. Dalam beberapa kasus, ada tumpang tindih antara kewenangan pengadilan agama dan pengadilan negeri, khususnya dalam kasus pasangan beda agama. Ketidakjelasan mengenai kewenangan ini membuat proses hukum menjadi berlarut-larut. Pihak-pihak yang bersengketa menjadi bingung menentukan jalur hukum yang tepat. Revisi regulasi terkait kompetensi absolut diperlukan untuk memperjelas batasan yurisdiksi.

 

Dalam konteks internasional, pernikahan campuran juga membawa tantangan tersendiri dalam perkara hadhanah. Ketika anak hasil pernikahan campuran harus ditentukan hak asuhnya, pengadilan agama harus memperhatikan hukum nasional dan hukum asing yang terkait. Hal ini tidak jarang membuat proses persidangan menjadi kompleks dan penuh dinamika. Tanpa panduan yang jelas, hakim bisa kesulitan dalam menerapkan prinsip kepentingan terbaik anak. Harmonisasi hukum nasional dengan konvensi internasional harus segera dibangun.

 

Salah satu kritik lain terhadap proses penetapan hadhanah adalah lamanya proses persidangan. Perkara hadhanah sering kali memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, yang tentu berdampak pada kondisi anak. Proses panjang ini memperbesar tekanan psikologis terhadap anak maupun orang tua. Oleh sebab itu, perlu adanya percepatan proses perkara hadhanah melalui prosedur khusus. Ini untuk memastikan bahwa kebutuhan anak tidak terabaikan akibat lambannya sistem peradilan.

 

Masalah berikutnya adalah kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang prinsip-prinsip hadhanah. Banyak masyarakat masih memandang hak asuh sekadar sebagai 'hadiah' atau 'hukuman' bagi salah satu pihak. Pemahaman ini sangat keliru dan justru merugikan kepentingan anak. Edukasi hukum secara menyeluruh perlu dilakukan, agar masyarakat memahami bahwa hak hadhanah adalah perlindungan terhadap hak anak. Dengan demikian, penyelesaian perkara dapat lebih berorientasi pada anak, bukan pada ego orang tua.

 

Dari sisi regulasi, keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai dasar hukum sering dikritik karena dianggap tidak cukup responsif terhadap perkembangan sosial. KHI belum mengatur secara detail berbagai kondisi modern yang muncul dalam kasus hak asuh anak. Akibatnya, hakim terpaksa mengandalkan diskresi yang luas dalam memutuskan perkara. Hal ini memperbesar ruang subjektivitas dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, pembaruan KHI menjadi sangat mendesak untuk menjawab tantangan zaman.

 

Kritik juga datang terhadap kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hadhanah setelah perkara selesai. Banyak orang tua yang tidak melaksanakan isi putusan secara sukarela, bahkan ada yang melakukan pengasingan anak. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, keputusan pengadilan menjadi tidak berarti. Perlu sistem monitoring berkelanjutan untuk memastikan putusan hadhanah benar-benar dijalankan sesuai amar. Ini penting untuk menegakkan wibawa hukum dan menjaga hak anak.

 

Dalam menghadapi kompleksitas perkara hadhanah, dibutuhkan pula peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan peradilan agama. Hakim, panitera, mediator, dan petugas eksekusi harus mendapatkan pelatihan berkala tentang dinamika sosial dan psikologi anak. Peningkatan kualitas ini akan berpengaruh langsung terhadap kualitas putusan yang dihasilkan. Investasi dalam pelatihan ini merupakan investasi untuk masa depan peradilan yang lebih humanis. Sistem peradilan agama harus mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat modern.

 

Dengan berbagai permasalahan yuridis yang ada, reformasi hukum dalam penanganan perkara hadhanah menjadi keniscayaan. Hukum harus hadir untuk melindungi hak anak secara maksimal, bukan sekadar memenuhi prosedur formalitas. Penegasan prinsip kepentingan terbaik anak, percepatan proses perkara, dan penegakan eksekusi putusan harus menjadi prioritas. Hanya dengan demikian, keadilan substantif dalam perkara hak asuh anak dapat benar-benar terwujud. Peradilan agama diharapkan dapat menjadi pelindung utama hak-hak anak Indonesia ke depan.

 

Penulis :

Mayda Rindiany, Mahasiswi Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung

×
Berita Terbaru Update