![]() |
Hidayah Sigalingging (Foto/IST) |
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak siswa SMA yang kesulitan menghafal hal-hal mendasar seperti lima sila dalam Pancasila. Bukan hanya tidak hafal, sebagian bahkan menyebutnya dengan keliru atau main-main seolah hal itu sepele. Sekilas tampak lucu, tapi jika dicermati lebih dalam, ini adalah potret suram dari sebuah ironi besar dalam dunia pendidikan kita. Banyak orang menanggapi fenomena ini dengan marah, namun tak sedikit pula yang justru menyalahkan sistem pembelajaran yang terlalu berorientasi pada hafalan dan nilai ujian. Dalam gelombang kritik ini, hafalan dan ujian kembali menjadi kambing hitam yang terlalu cepat dihukum.
Narasi bahwa hafalan itu kuno dan tidak relevan terus digemakan. Pendidikan yang ideal, kata sebagian orang, seharusnya mendorong pemahaman, bukan sekadar menghafal. Namun, benarkah keduanya harus dipertentangkan? Padahal jika kita mau jujur, pemahaman tak akan pernah tumbuh tanpa fondasi hafalan yang kuat. Tak mungkin siswa memahami nilai-nilai Pancasila jika menyebutkan lima silanya saja tak sanggup. Sama halnya dengan tak mungkin seorang siswa mengaplikasikan rumus dalam soal kompleks jika rumus dasarnya saja tak hafal. Hafalan bukan musuh pemahaman. Ia justru pintu masuknya. Menghafal bukan sekadar mengulang bunyi, tetapi sebuah proses internalisasi yang melatih konsentrasi, ketekunan, dan daya ingat—tiga kualitas yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Demikian pula dengan ujian. Ia sering digambarkan sebagai monster yang menciptakan tekanan, mematikan kreativitas, dan menumbuhkan ketakutan di ruang kelas. Padahal, ujian sejatinya adalah cermin, bukan neraka. Ia bukan sekadar alat ukur keberhasilan belajar, tapi juga sarana refleksi untuk siswa dan guru. Yang perlu diperbaiki bukanlah keberadaan ujiannya, melainkan cara kita memperlakukan dan memaknainya. Ujian tak boleh dipersempit menjadi sekadar angka dalam rapor, tetapi perlu diubah menjadi alat evaluasi yang holistik dan manusiawi. Tanpa ujian, proses belajar akan kehilangan arah. Tanpa tolok ukur, guru dan siswa akan berjalan tanpa peta.
Ironisnya, bahkan dengan sistem yang masih menggunakan hafalan dan ujian saja kita sudah melihat banyak kegagalan mendasar—seperti siswa yang tak hafal Pancasila, atau tak paham dasar negara. Maka bayangkan jika dua pilar ini benar-benar dihapus: mau ke mana arah pendidikan kita? Menghapus hafalan dan ujian sama artinya dengan meruntuhkan pondasi rumah karena dindingnya retak. Solusinya bukan merobohkan, tapi memperkuat dan memperbaiki dengan bijak. Pendidikan kita tak boleh terjebak pada dikotomi sempit antara hafalan dan pemahaman, atau antara ujian dan pembelajaran menyenangkan. Keduanya harus berjalan seiring, saling menopang, bukan saling meniadakan.
Kita juga tak boleh lupa bahwa dunia nyata pun penuh dengan “ujian”. Wawancara kerja, seleksi beasiswa, bahkan mengambil keputusan penting dalam hidup, semuanya adalah bentuk ujian yang menuntut konsentrasi dan ketepatan. Menghafal prosedur, memahami data, mengingat tanggal-tanggal penting—semua itu bagian dari hidup yang tak bisa selalu bergantung pada “mencari di Google”. Maka, melatih siswa untuk menghafal dan menghadapi ujian justru menyiapkan mereka untuk realitas yang menanti di luar kelas. Hafalan dan ujian bukan warisan masa lalu yang harus dibuang, melainkan keterampilan hidup yang perlu disempurnakan.
Yang kita butuhkan hari ini adalah penataan ulang orientasi pendidikan, bukan pembongkaran total terhadap metode dasar yang sudah ada. Hafalan harus dikaitkan dengan konteks, bukan sekadar bunyi yang mati. Ujian harus mendorong pemikiran dan refleksi, bukan hanya hafalan mentah. Guru perlu dilatih agar mampu merancang soal-soal yang menuntut penalaran, bukan sekadar reproduksi informasi. Sekolah perlu membangun budaya belajar yang sehat, di mana nilai bukan satu-satunya ukuran keberhasilan, dan hafalan tidak menjadi beban, melainkan kebiasaan intelektual.
Menyalahkan hafalan dan ujian sebagai akar dari kegagalan pendidikan nasional adalah jalan pintas yang menyesatkan. Justru, dalam dunia yang penuh gangguan dan arus informasi cepat, kemampuan mengingat dan mengevaluasi dengan baik menjadi semakin penting. Jika kita benar-benar ingin memperbaiki pendidikan, mulailah dengan mengubah cara pandang. Bukan dengan membuang hal-hal mendasar, tetapi dengan merawat dan menyempurnakannya. Karena yang terlalu sering disalahkan, bisa jadi adalah yang sebenarnya paling kita butuhkan.[]
Penulis :
Hidayah Sigalingging, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta