Asyifa Nazhira Dalimunthe (Foto/IST)
Seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, kebutuhan akan instrumen investasi yang sesuai dengan prinsip Islam semakin meningkat. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi pasar yang sangat besar untuk pengembangan pasar modal syariah. Namun, pertumbuhan ini juga membawa tantangan tersendiri, terutama dalam hal pengawasan dan penegakan hukum untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator memiliki peran krusial dalam menciptakan ekosistem investasi halal yang bersih dan tepercaya.
Sejak dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK telah mengambil alih fungsi pengawasan pasar modal dari Bapepam-LK. Landasan hukum ini memberikan OJK kewenangan yang komprehensif dalam mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan, termasuk pasar modal syariah. Dalam konteks pasar modal syariah, OJK tidak hanya bertugas mengawasi aspek kepatuhan terhadap regulasi pasar modal konvensional, tetapi juga memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Pengawasan ini meliputi screening emiten syariah, pengawasan produk investasi syariah seperti sukuk dan reksadana syariah, serta pengembangan infrastruktur pasar modal syariah.
Melalui Direktorat Pasar Modal Syariah, OJK telah menerbitkan berbagai peraturan yang menjadi landasan bagi perkembangan pasar modal syariah di Indonesia. Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2015 tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal menjadi kerangka utama yang mengatur mekanisme penerbitan efek syariah, termasuk kriteria dan persyaratannya. Peraturan ini diperkuat dengan POJK Nomor 17/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Syariah Berupa Saham oleh Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah, serta POJK Nomor 18/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Sukuk, yang secara spesifik mengatur instrumen obligasi syariah.
Untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah, OJK mengacu pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa DSN-MUI Nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal menjadi landasan utama dalam pengembangan pasar modal syariah di Indonesia. OJK kemudian menerjemahkan fatwa tersebut ke dalam peraturan yang mengikat secara hukum. Selain itu, POJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah menjadi dasar bagi OJK dalam melakukan screening saham-saham yang memenuhi kriteria syariah dan dituangkan dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diperbarui secara berkala.
Meskipun demikian, tantangan dalam pengawasan investasi halal masih cukup kompleks. Pertama, masih terdapat kesenjangan regulasi dalam industri keuangan syariah, terutama terkait standarisasi dan harmonisasi peraturan. Hal ini dapat menimbulkan celah yang dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk melakukan praktik yang menyimpang dari prinsip syariah. Kedua, keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi ganda, baik dalam aspek keuangan maupun syariah, menjadi hambatan dalam pengawasan yang efektif. Ketiga, perkembangan teknologi keuangan (fintech) syariah yang pesat memunculkan model bisnis baru yang membutuhkan pendekatan pengawasan yang berbeda.
Dalam menyikapi perkembangan fintech syariah, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang meskipun tidak spesifik untuk syariah, menjadi dasar pengaturan fintech P2P lending. Peraturan ini kemudian dipertegas dengan POJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital yang memberikan kerangka regulatory sandbox bagi inovasi fintech, termasuk yang berbasis syariah.
Selain itu, tantangan juga muncul dari sisi literasi masyarakat. Masih banyak investor yang belum memahami perbedaan mendasar antara investasi konvensional dan syariah, termasuk risiko dan karakteristiknya. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap penipuan berkedok investasi syariah. Beberapa kasus penipuan investasi dengan modus syariah yang melibatkan jumlah korban dan kerugian yang besar menunjukkan bahwa pengawasan preventif masih perlu ditingkatkan.Menghadapi tantangan tersebut, OJK perlu mengembangkan strategi komprehensif. Penguatan kerangka regulasi dan pengawasan menjadi prioritas utama, termasuk mengembangkan sistem pengawasan berbasis risiko yang khusus dirancang untuk produk keuangan syariah.
Kolaborasi dengan DSN-MUI perlu ditingkatkan untuk memastikan aspek kepatuhan syariah dapat diawasi dengan baik, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang secara eksplisit mengatur kerja sama antara lembaga keuangan dengan DSN-MUI dalam hal kepatuhan syariah. Pengembangan teknologi pengawasan (suptech) juga dapat membantu OJK dalam mengidentifikasi potensi pelanggaran secara lebih dini.
Program edukasi dan literasi pasar modal syariah juga harus diperkuat, sesuai dengan mandat dalam POJK Nomor 76/POJK.07/2016 tentang Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan Bagi Konsumen dan/atau Masyarakat. Masyarakat perlu memahami tidak hanya aspek kehalalan suatu produk investasi, tetapi juga prinsip kehati-hatian dan profil risiko dari produk tersebut. OJK dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk akademisi, pesantren, dan organisasi masyarakat Islam untuk memperluas jangkauan edukasi. Transparansi informasi produk investasi syariah juga harus ditingkatkan agar masyarakat dapat membuat keputusan investasi yang lebih informasif, sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Dalam konteks penegakan hukum, OJK perlu menunjukkan ketegasan terhadap pelanggaran di sektor keuangan syariah. Sanksi yang diberikan harus menimbulkan efek jera dan memulihkan kepercayaan investor, sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 49/POJK.04/2016 tentang Dana Perlindungan Pemodal dan POJK Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Koordinasi dengan aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, juga perlu diperkuat untuk menangani kasus-kasus penipuan investasi syariah yang melibatkan unsur pidana, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pengembangan pasar modal syariah juga memerlukan inovasi produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar namun tetap mematuhi prinsip syariah. OJK dapat mendorong pelaku industri untuk mengembangkan instrumen investasi syariah yang lebih beragam, kompetitif, dan inklusif. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi serta POJK Nomor 53/POJK.04/2015 tentang Akad yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal yang mengatur berbagai jenis akad yang dapat digunakan dalam instrumen investasi syariah. Pengembangan infrastruktur pasar modal syariah, termasuk platform perdagangan yang sesuai syariah, juga perlu didukung.
Pada akhirnya, keberhasilan OJK dalam mengawasi investasi halal akan sangat ditentukan oleh komitmen dan konsistensi dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Membangun ekosistem pasar modal syariah yang bersih dan tepercaya bukanlah tugas yang mudah dan membutuhkan kerjasama dari berbagai pemangku kepentingan, sebagaimana digariskan dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 dan Roadmap Pasar Modal Syariah 2020-2024 yang dikeluarkan oleh OJK. Namun, dengan pendekatan yang tepat dan komprehensif, tantangan ini dapat diatasi, sehingga pasar modal syariah dapat berkontribusi secara optimal terhadap perekonomian nasional dan memberikan alternatif investasi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam bagi masyarakat Indonesia.
Sebagai penutup, peran OJK dalam mengawasi investasi halal tidak hanya penting untuk melindungi investor Muslim, tetapi juga untuk membangun kredibilitas pasar modal syariah Indonesia di kancah global. Dengan pengawasan yang efektif dan berkesinambungan berdasarkan kerangka hukum yang kuat, Indonesia berpotensi menjadi pusat keuangan syariah dunia yang diperhitungkan, selaras dengan visi pemerintah untuk mengembangkan ekonomi syariah sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi nasional sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020 tentang Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.[]
Penulis :
Asyifa Nazhira Dalimunthe, Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung