Notification

×

Iklan

Iklan

Pesantren dalam Menumbuhkan Kesatuan dengan Keberagaman

Selasa, 06 Mei 2025 | Mei 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-06T13:06:30Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, tidak hanya mengajarkan nilai-nilai spiritual saja. Secara tidak langsung juga mengajarkan nilai sosial yang menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi, meskipun memiliki latar belakang yang berbeda. Bahkan tanpa mengenal dan bertemu satu sama lain, bukan hal yang sulit untuk menyatukannya.


Pesantren sebagai naungan Pendidikan para santri, sukses menumbuhkan rasa persatuan dalam segala keberagamaan. hal ini tidak terjadi dalam satu almamater pesantren saja, bahkan mencakup seluruh pesantren yang ada di Indonesia, dengan pendekatan emosional yang kuat. Karena rasa persatuan tersebut mereka memilki kehidupan yang sama dan daya juang untuk masa depan bersama.


Pendekatan emosional ini sejalan dengan teori Imaginade Community yang ditulis oleh Ben Anderson dalam bukunnya Imagined Community. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa setiap anggota mampu membayangkan mereka berada dalam satu komunitas yang sama, tanpa pernah saling bertemu. Karena sekecil apapun sebuah komunitas bisa dipastikan, mereka tidak saling mengenal, tapi mereka memiliki rasa nasionalis yang sama, karena pendekatan simbol-simbol nasional yang ada. Seperti contoh orang jawa dengan orang Papua, mereka tidak mengenal satu sama lain, namun ada simbol yang mengikat berupa bahasa persatuan, lagu kebangsaan, dan lainnya. 


Jika direfleksikan dalam dunia pesantren di Indonesia, para santri memiliki pendekatan emosi yang sama, dengan simbol yang sama berupa ngaji kitab kuning, dan konsep ngalap barokah. Juga hal yang lumrah ketika mereka menghormati kiyai dari pondok lain, karena mereka merasa menjadi santri dari pondok tersebut, sebab para santri mampu membayangkan berada dalam satu komunitas yang sama.


Guna membentuk bayangan dalam satu komunitas, diperlukan alat untuk membentuk rasa nasionalis pada setiap individu, bisa melalui media, baik tradisional maupun digital. Media berperan penting dalam menyalurkan narasi untuk menciptakan kesadaran bersama. Dalam konteks Pesantren, media lewat penuturan dari mulut ke mulut menceritakan tentang pondok ini, kiyai ini, mengakar dari kebiasaan setiap pesantren, cerita tersebut akan menyebar dan mengalir. lebih-lebih di era modern ini, perkembangan digital dalam media sosial memudahkan seseorang untuk mengakses informasi. Karena perkembangan tersebut, media pesantren turut serta menghadirkan informasi-informasi yang berkaitan dengan kepesantrenan, seperti contoh pondok Lirboyo, pondok Sarang, dan pondok lainnya, mereka tidak kaku dalam penanaman nilai-nilai agama, tetapi mampu menyeimbangkannya dengan keterlibatan aktif di dunia digital.


Di era digital, pesantren tidak hanya mengandalkan tradisi lisan (mulut ke mulut), namun juga memanfaatkan platform media sosial seperti youtube, instagram, facebook, dan tikok untuk menyebarkan nilai-nilai keagamaan dan juga menanamkan semangat nasionalisme. Konten-konten yang ditampilkan seperti ceramah moderat, diskusi tentang Pancasila, atau bekerjasama dengan lembaga pendidikan umum menunjukkan bahwa pesantren bukanlah lembaga yang tertutup, melainkan bagian aktif dari masyarakat yang turut membangun kesadaran untuk berbangsa.


Keberagaman yang ada tidak menjadikan mereka terpecah belah, karena metode pengajaran yang hampir sama seperti ngaji bandongan, sorogan serta kehidupan gotong royong yang selalu diterapkan dalam kebresamaan. Kegiatan tersebut menjadikan mereka memiliki hubungan emosinal yang sama, sehingga terbayang sebagai satu komunitas, terlebih lagi sebagai komunitas yang besar seperti para santri di seluruh Indonesia. Dengan begitu, para santri Pondok Sarang akan merasa terhubung dengan santri-santri dari Pondok Lirboyo, Pondok Langitan, dan daerah lainnya, yang mereka bayangkan sebagai bagian dari satu komunitas yang sama.


Pesantren membuktikan bahwa keragaman mampu melahirkan persatuan, bukan melalui penyeragaman, tetapi melalui  nilai-nilai bersama yang hidup dalam praktik sehari-hari. Di tengah ancaman radikalisme dan polarisasi, solidaritas santri lintas pesantren menjadi bukti nyata bagaimana imagined community bisa dibentuk dari tradisi, pendidikan, dan kini di media digital. Inilah nasionalisme ala santri yang mengakar pada lokalitas, tetapi membumi dalam kebangsaan.[]


Penulis :

Rosikhoh Ma'rifati, Mahasisiwa STAI Al-Anwar, Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Anwar 3

×
Berita Terbaru Update