![]() |
Aqsha Fallaqbe Nindar K (Foto/IST) |
Pendidikan tinggi merupakan pilar strategis dalam membangun masa depan bangsa. Melalui pendidikan tinggi, generasi muda ditempa menjadi pribadi yang tidak hanya terdidik secara akademik, tetapi juga mampu berpikir kritis, inovatif, dan berperan aktif dalam memecahkan persoalan bangsa. Dalam era globalisasi dan disrupsi teknologi seperti sekarang, sistem pendidikan tinggi Indonesia dituntut untuk terus beradaptasi dan melakukan reformasi agar mampu menjawab tantangan zaman yang kian kompleks.
Salah satu persoalan mendasar dalam pendidikan tinggi di Indonesia adalah ketidaksesuaian antara kurikulum perguruan tinggi dengan kebutuhan nyata dunia kerja. Kurikulum yang masih bersifat teoritis dan kurang mengakomodasi praktik lapangan membuat lulusan tidak siap menghadapi dunia profesional. Banyak mahasiswa lulus dengan predikat cumlaude, namun kesulitan saat terjun ke dunia industri karena minimnya pengalaman langsung dalam memecahkan masalah atau menghadapi tantangan dunia nyata.
Dunia kerja kini tidak lagi hanya membutuhkan ijazah, tetapi lebih menuntut kompetensi. Lulusan perguruan tinggi dituntut untuk mampu berpikir kritis, bekerja sama dalam tim, memanfaatkan teknologi informasi, serta memiliki kemampuan komunikasi dan adaptasi yang baik. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis kompetensi perlu diperkuat. Mahasiswa harus dibekali keterampilan praktis melalui program magang, proyek kolaboratif, serta pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) dan berbasis proyek (project-based learning).
Di sisi lain, integrasi teknologi dalam pembelajaran juga menjadi tantangan yang belum sepenuhnya teratasi. Pandemi COVID-19 memang mendorong akselerasi transformasi digital di sektor pendidikan, tetapi tidak semua institusi pendidikan tinggi siap menghadapi perubahan tersebut. Beberapa kampus masih menghadapi kendala akses internet yang tidak merata, kurangnya pelatihan bagi dosen dalam memanfaatkan platform digital, hingga penurunan kualitas interaksi antara dosen dan mahasiswa selama proses daring.
Literasi digital kini menjadi salah satu kompetensi dasar yang wajib dimiliki oleh mahasiswa maupun dosen. Mahasiswa perlu memiliki keterampilan dalam mencari, mengevaluasi, dan memanfaatkan informasi digital secara kritis. Sementara dosen perlu menguasai berbagai metode dan media pembelajaran digital yang interaktif agar proses belajar tetap menarik dan efektif, meskipun dilakukan secara daring atau hybrid.
Selain soal kurikulum dan teknologi, aspek inklusivitas juga menjadi poin penting dalam reformasi pendidikan tinggi. Realita di lapangan menunjukkan masih banyak anak-anak muda dari daerah tertinggal atau keluarga kurang mampu yang belum mendapatkan akses ke perguruan tinggi. Tingginya biaya kuliah, keterbatasan fasilitas pendidikan di daerah terpencil, serta minimnya beasiswa menjadi faktor yang membatasi kesempatan mereka untuk melanjutkan pendidikan.
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi hak semua warga negara, tanpa terkecuali. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong kebijakan afirmatif yang menjamin akses pendidikan tinggi yang merata dan adil. Misalnya, melalui peningkatan alokasi beasiswa, pengembangan perguruan tinggi negeri baru di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), serta peningkatan kualitas dan akreditasi perguruan tinggi swasta yang ada di daerah.
Selain itu, peran dosen dalam sistem pendidikan tinggi juga perlu ditinjau ulang. Dosen bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi harus berperan sebagai fasilitator dan mitra belajar mahasiswa. Interaksi antara dosen dan mahasiswa perlu bersifat dua arah dan berbasis kolaborasi. Perguruan tinggi harus menciptakan budaya akademik yang mendorong mahasiswa aktif berpikir, berdiskusi, bereksperimen, dan menciptakan solusi nyata atas persoalan sosial di sekitarnya.
Reformasi pendidikan tinggi juga harus memperhatikan dinamika global. Perguruan tinggi Indonesia harus mampu bersaing di tingkat internasional. Untuk itu, internasionalisasi pendidikan tinggi menjadi strategi penting. Peningkatan publikasi ilmiah, kerja sama riset dengan institusi luar negeri, pertukaran dosen dan mahasiswa, serta program double degree perlu diperluas agar mahasiswa Indonesia mampu bersaing di panggung global.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah pembangunan karakter. Lulusan perguruan tinggi tidak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual. Mereka juga harus menjunjung tinggi integritas, empati, semangat kebangsaan, dan kesadaran sosial. Pendidikan karakter harus terintegrasi dalam semua aspek pembelajaran, baik melalui kurikulum formal maupun kegiatan ekstrakurikuler. Karakter yang kuat menjadi fondasi penting dalam membentuk generasi pemimpin masa depan yang tangguh dan beretika.
Dengan demikian, reformasi pendidikan tinggi adalah keniscayaan yang tidak dapat ditunda. Perguruan tinggi harus menjadi lembaga yang bukan hanya tempat mencari gelar, tetapi juga pusat pengembangan kapasitas intelektual, moral, dan keterampilan mahasiswa secara utuh. Diperlukan sinergi antara pemerintah, kampus, dunia industri, dan masyarakat untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi yang unggul, inklusif, dan responsif terhadap perubahan zaman.
Melalui reformasi yang menyeluruh dan berkelanjutan, pendidikan tinggi Indonesia akan mampu mencetak lulusan yang tidak hanya siap kerja, tetapi juga siap hidup, siap berkontribusi, dan siap memimpin masa depan bangsa. Inilah saatnya menjadikan pendidikan tinggi sebagai jembatan menuju Indonesia yang lebih maju, adil, dan berkelanjutan.[]
Penulis :
Aqsha Fallaqbe Nindar K, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta