![]() |
Foto/ILUSTRASI |
“Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh.” Kutipan terkenal dari Albert Einstein ini kerap dipajang di dinding ruang guru atau dibacakan dalam seminar-seminar pendidikan. Namun, terlalu sering ia berhenti sebagai hiasan retoris, bukan menjadi bahan refleksi serius untuk arah pendidikan kita.
Dalam konteks pendidikan Islam khususnya, kutipan ini menjadi semacam tamparan halus. Ia mempertanyakan: sudahkah ilmu dan agama benar-benar dipadukan dalam ruang-ruang belajar kita? Ataukah pendidikan kita masih terjebak dalam dikotomi lama antara nalar dan iman, antara rasionalitas dan spiritualitas?
Realitanya di lapangan menunjukkan bahwa keduanya itu masih sering berjalan sendiri-sendiri. Ilmu pengetahuan diajarkan dengan semangat objektivitas dan empirisme yang tinggi, namun sering kali terlepas dari nilai-nilai spiritual atau pertanyaan pentingnya makna hidup. Sebaliknya, pelajaran agama kerap disampaikan dalam bentuk dogma yang normatif, tanpa ruang dialog atau keterkaitan dengan realitas ilmiah dan sosial yang tengah dihadapi siswa.
Akibatnya, peserta didik tumbuh dalam sistem yang tidak seimbang. Mereka tahu rumus gravitasi, tetapi tidak diajak merenung siapa yang menetapkan hukum-hukum alam tentang hal itu. Mereka mengenal Tuhan melalui hafalan, tetapi tidak melihat bagaimana iman dapat berdialog dengan akal atau berperan dalam menjawab tantangan zaman.
Padahal, sejarah Islam telah memberikan teladan gemilang soal integrasi ilmu dan iman. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Al-Khawarizmi adalah contoh nyata bagaimana eksplorasi ilmiah dapat menjadi bentuk tafakur, yakni perenungan mendalam terhadap tanda-tanda kebesaran Allah. Bagi mereka, ilmu bukan sekadar sebuah alat, melainkan jalan untuk mengenal Sang Pencipta.
Sayangnya, seiring modernisasi, pendidikan kita kerap tereduksi menjadi sekadar transmisi informasi. Pelajaran sains terjebak pada angka dan rumus, sementara agama menjadi rutinitas tanpa penghayatan. Hal ini mengkhawatirkan, karena seperti yang diingatkan oleh Einstein, sains tanpa agama bisa kehilangan arah moral, dan agama tanpa sains bisa menjadi tidak relevan dalam kehidupan nyata.
Pemikir Muslim kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr juga menyoroti krisis ini. Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern tengah mengalami krisis makna karena tercerabut dari akar nilai transendennya. Ilmu berkembang pesat, tapi semakin jauh dari tujuan hakiki: mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Maka dari itu, kita memerlukan model pendidikan yang menyatukan logika dan nurani, antara ayat-ayat kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat qauliyah (wahyu Ilahi). Pendidikan yang tidak hanya menjawab “bagaimana cara kerja sesuatu”, tapi juga “untuk apa kita mempelajarinya” dan “mengapa itu penting bagi kehidupan yang lebih bermakna”.
Mengubah sistem pendidikan secara menyeluruh tentu bukan pekerjaan mudah. Tapi perubahan bisa dimulai dari langkah kecil dari ruang kelas yang kita isi, dari cara guru menyampaikan pelajaran sains dengan menyisipkan nilai-nilai etis, atau dari pelajaran agama yang membuka ruang berpikir, bukan sekadar hanya menghafal saja.
Sudah saatnya kutipan Einstein tidak hanya menjadi penghias dinding sekolah, tetapi benar-benar menjadi arah gerak pendidikan kita. Agar sains tidak buta akan arah, dan agama tidak kehilangan langkahnya di tengah dunia yang terus berubah.[]
Penulis :
Rusmawati, mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan