Foto/ILUSTRASI
ASEAN dan Timor Leste ibarat dua sejoli dalam sinetron Asia Tenggara yang episodenya tak kunjung tamat, setiap kali ada harapan "happy ending", selalu saja muncul konflik baru yang diperpanjang. KTT ASEAN di Malaysia Mei 2025 disebut-sebut akan menjadi klimaks, tapi jangan buru-buru berharap.
ASEAN, dengan jargon centrality-nya yang gagah, masih bersikap seperti kekasih yang bilang "Aku ingin kamu... tapi nanti saja", sementara Timor Leste sudah 14 tahun menunggu di depan pintu dengan setangkai bunga dan proposal keanggotaan yang mulai berdebu.
Konsep ASEAN Centrality seharusnya menjadi bukti bahwa kawasan ini bisa bersatu, inklusif, dan progresif. Tapi nyatanya, ketika diuji dengan kasus Timor Leste, ia lebih mirip "selective centrality" aktif hanya ketika sesuai kepentingan negara besar.
Timor Leste dianggap terlalu kecil, terlalu miskin, atau terlalu berisiko, seolah ASEAN adalah klub eksklusif yang hanya menerima anggota dengan credit score tinggi. Padahal, jika centrality benar-benar dipegang teguh, seharusnya ASEAN bisa menjadi mentor, bukan sekadar penonton yang berkomentar "Kamu harus lebih baik dulu" tanpa memberi jalan.
Pertanyaannya: apa sebenarnya yang ditakuti ASEAN? Apakah mereka khawatir Timor Leste akan menjadi suara kritis baru yang mengacaukan harmoni palsu? Atau jangan-jangan, di balik alasan kapasitas dan ekonomi, ada ketakutan terselubung bahwa kehadiran Timor Leste akan memaksa ASEAN untuk lebih vokal dalam isu-isu seperti HAM dan demokrasi merupakan sesuatu yang selama ini coba dihindari dengan dalih non-interference? Jika iya, maka ASEAN Centrality tidak lebih dari sekadar topeng yang menutupi ketidakberanian untuk berkembang.
KTT Malaysia 2025 bisa menjadi momentum bersejarah jika ASEAN akhirnya berani mengatakan "ya". Tapi jika yang keluar hanya pernyataan diplomatik berbunga-bunga tanpa keputusan nyata, maka sinetron ini akan berlanjut ke musim berikutnya dengan plot yang sama, dan penonton yang semakin kecewa.
ASEAN harus memilih: apakah mereka ingin benar-benar menjadi poros regional yang inklusif, atau hanya akan jadi seperti grup arisan yang keanggotaannya ditentukan berdasarkan siapa yang paling disukai?
Pada akhirnya, nasib Timor Leste adalah cermin bagi ASEAN sendiri. Jika centrality hanya retorika, maka relevansi ASEAN perlahan akan memudar seperti drama panjang yang sudah kehilangan penontonnya. Tapi jika mereka berani membuka pintu, mungkin saja kisah ini akhirnya mendapat akhir yang manis. Atau setidaknya, sebuah season finale yang tidak mengecewakan.
Pengirim :
Iqbal Muhammad Fauzani, Mahasiwa Pascasarjana Hub. Internasional Universitas Paramadina, email : iqbalmf1008@gmail.com