Shintia Ronauli BR Simare Mare (Foto/dok. Pribadi) |
Bangka Belitung adalah rumah bagi potensi besar yang belum terwujud. Terletak strategis di jalur perdagangan, kaya akan sumber daya, dan memiliki masyarakat yang bersemangat, daerah ini seharusnya bisa menjadi model pembangunan wilayah kepulauan di Indonesia. Namun sayangnya, yang kita lihat hari ini justru sebaliknya: daerah ini seperti berjalan di tempat, terjebak dalam pusaran masalah yang berulang dan sebagian besar bersumber dari lemahnya tata kelola di tingkat pemerintah daerah.
Kritik ini bukan tanpa dasar. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Bangka Belitung menghadapi berbagai persoalan yang belum tertangani dengan baik. Dari krisis pascatambang yang tak kunjung selesai, penurunan daya saing petani dan nelayan lokal, sampai dengan keterbatasan layanan dasar di wilayah terluar. Semua ini bukan semata karena keterbatasan sumber daya, tetapi karena belum hadirnya kebijakan daerah yang benar-benar berpihak dan terencana secara berkelanjutan.
Salah satu contoh nyata adalah bagaimana pemerintah daerah masih terlihat gamang dalam menyusun arah ekonomi pascatambang. Padahal, tambang yang dulunya menjadi nadi perekonomian kini menyisakan tantangan serius: kerusakan lingkungan, wilayah-wilayah yang ditinggalkan investor, serta masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Data dari Pemerintah Provinsi menyebutkan bahwa lahan kritis akibat aktivitas tambang ilegal di Bangka Belitung telah mencapai 167.065 hektare. Sementara itu, laporan Tempo mencatat kerugian negara akibat tambang ilegal di daerah ini mencapai Rp271 triliun, termasuk hilangnya hutan tropis seluas 460 ribu hektare dan jatuhnya korban jiwa. Angka ini mencerminkan dampak yang sangat besar dan belum sepenuhnya dijawab dengan kebijakan daerah yang memadai.
Hal yang tak kalah penting adalah ketimpangan pembangunan antarwilayah dalam provinsi ini. Beberapa kecamatan di Bangka maupun Belitung masih kesulitan mengakses layanan dasar seperti pendidikan berkualitas, sinyal internet stabil, dan fasilitas kesehatan. Pemerintah daerah memang telah meluncurkan sejumlah program, namun masih banyak yang bersifat simbolik dan tidak menyentuh akar masalah. Di sinilah letak persoalan: pembangunan sering kali tidak berbasis data lokal dan dialog partisipatif, melainkan lebih mengikuti pola rutin tahunan yang minim inovasi.
Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi catatan penting. Masih sering terdengar keluhan mengenai alokasi anggaran yang belum tepat sasaran atau program yang berhenti di tengah jalan. Masyarakat pun semakin kritis, namun ruang untuk partisipasi yang bermakna dalam proses perumusan kebijakan masih terbatas. Padahal, di era keterbukaan informasi seperti sekarang, kepercayaan publik justru dibangun dari seberapa jauh pemerintah daerah bersedia melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi program.
Tentu kita tidak bisa menyamaratakan semua. Ada capaian-capaian positif dari pemerintah daerah yang patut diapresiasi, seperti upaya peningkatan infrastruktur antar-pulau dan promosi pariwisata lokal. Namun, jika dilihat secara menyeluruh, upaya tersebut masih terpisah-pisah dan belum menjadi bagian dari visi besar yang terintegrasi. Pemerintahan yang efektif tidak cukup hanya membangun fisik, tetapi juga harus membangun arah, keberpihakan, dan kepercayaan.
Sudah saatnya pemerintah daerah Bangka Belitung melakukan koreksi arah. Bukan dengan rebranding atau program baru yang sekadar ganti nama, tetapi melalui pendekatan yang menyentuh tiga hal utama: keberpihakan terhadap masyarakat kecil, konsistensi dalam pelaksanaan program, dan kemauan membuka ruang kolaborasi. Masyarakat sudah lelah dengan janji dan narasi besar. Mereka ingin bukti: bahwa pemerintah daerah hadir, mendengar, dan bekerja untuk menjawab kebutuhan nyata rakyatnya.
Pembangunan daerah tidak bisa ditunda-tunda. Bangka Belitung membutuhkan arah yang jelas dan kepemimpinan yang berpihak pada masa depan rakyat, bukan sekadar pengelolaan anggaran tahunan. Jika ini tidak segera dibenahi, maka yang akan terus tumbuh bukan kesejahteraan, tetapi ketimpangan dan ketidakpercayaan.[]
Penulis :
Shintia Ronauli BR Simare Mare, Mahasiswa Prodi Hukum Universitas Bangka Belitung