Notification

×

Iklan

Iklan

Bayangan Perang Besar di Balik Konflik Iran-Israel

Kamis, 26 Juni 2025 | Juni 26, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-26T14:50:21Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Nauky Ananda Rezky (Foto/dok. pribadi)

Ketegangan baru antara Iran dan Israel kembali menarik perhatian internasional. Serangan udara, lontaran rudal, dan masuknya milisi bersenjata membuat Timur Tengah kembali membara. Yang lebih menakutkan bukan cuma bentrokan ini, melainkan risiko cepatnya api itu meluas dan menyeret dunia ke dalam ketidakamanan global, bahkan perang lebih besar.

 

Orang sering menganggap perseteruan Iran-Israel sekadar konflik kawasan biasa. Padahal, relasi itu tersimpan lapisan geopolitik yang sangat dalam. Kedua negara bukan cuma berhadap-hadapan secara ideologi dan politik, tetapi juga bersaing meraih pengaruh di seluruh wilayah. Israel setia kepada Amerika Serikat dan blok Barat, sementara Iran bermitra dengan Rusia, China, dan mendukung milisi-milisi di Lebanon (Hizbullah), Gaza (Hamas), Irak, sampai Suriah.

 

Inilah sebab mengapa situasi di Timur Tengah terasa begitu rumit. Ketika Iran pada April 2024 mengirimkan drone dan misil ke Israel sebagai balasan atas serangan ke konsulatnya di Damaskus, lalu Israel membalas dengan serangan ke tanah Iran, ketegangan melejit ke titik yang belum pernah terlihat. Banyak pengamat menyebutnya konfrontasi terdekat antara Teheran dan Tel Aviv sejak Revolusi Islam 1979.

 

Penting bagi dunia untuk tahu bahwa perseteruan ini lebih besar daripada sekadar duel dua negara. Ia jadi simbol bentrokan blok besar Barat dan Timur, Israel bersekutu dengan Amerika serikat dan negara-negara barat, sedangkan Iran memiliki kedekatan dengan Rusia dan China serta negara-negara yang memiliki kelompok militan seperti Hamas, Hizbullah hingga Suriah dan Irak.

 

Tanpa usaha nyata untuk menengahi, sebuah insiden sepele bisa membesar dan menyeret banyak pihak ke perang luas. Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, sudah memperingatkan, Satu kesalahan kalkulasi bisa menjebloskan kawasan dan dunia ke dalam konflik berskala penuh.

 

Josep Borrell, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, ikut menegaskan, Jika api ini meluas, bukan hanya Timur Tengah yang terancam, tetapi seluruh planet akan menghadapi krisis kemanusiaan dan ekonomi hebat. Lonjakan harga energi, gangguan rantai pasok, serta arus besar pengungsi bakal menerpa Asia dan Eropa dalam waktu singkat.

 

Ironisnya, badan-badan dunia seperti PBB sekarang tampak tersendat saat krisis ini datang. Dewan Keamanan malah terpecah oleh kalkulasi geopolitik para anggota tetap. Oleh karena itu, negara-negara Arab juga tak lagi berdiri kompak. Beberapa, misalnya Uni Emirat Arab, sudah merangkul Israel, sementara yang lain masih bersandar pada Iran dan jejaring proksinya.

 

Dari kondisi yang beku ini, dunia jelas butuh pihak netral yang mau dan mampu mendorong jalur damai. Indonesia, dengan prinsip luar negeri bebas-aktif dan jejak panjang diplomasi tenangnya, bisa tampil beda. Ia memiliki legitimasi moral, jaringan luas di negara-negara Muslim, serta pengalaman di forum internasional. Sekaranglah waktu yang tepat bagi Jakarta untuk menggagas dialog multilateral atau bahkan bersedia menjadi mediator kawasan.

 

Nelson Mandela pernah berkata, Jika Anda ingin perdamaian dengan musuh, ajaklah mereka bekerja sama, dan ia akhirnya jadi mitra. Dunia hari ini bukan lagi butuh tumpukan senjata atau sanksi baru, tetapi keberanian untuk duduk satu meja. Diplomasi harus kembali dipandang sebagai alat utama, bukan bom, rudal, atau retorika mengancam.

 

Kalau dunia terus membiarkan konflik Iran-Israel menyala, kita sebenarnya sedang membiarkan bara perang dunia membesar. Dan jika itu terjadi, bukan hanya Iran dan Israel yang akan menderita seluruh umat manusia akan menanggung akibatnya.[]

 

Penulis :

Nauky Ananda Rezky, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Almuslim Bireuen  

×
Berita Terbaru Update