Yusmin Abdul Malik (Foto/dok. pribadi)
Panduan dalam Bela Negara
Indonesia adalah negara yang besar dan luas, dengan masyarakat yang terdiri atas berbagai suku dan tinggal di ribuan pulau. Dengan kondisi seperti ini, penyelenggaraan negara harus dijalankan secara hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Jika para pengambil kebijakan tidak tepat dalam membuat keputusan, maka yang terjadi adalah kondisi yang kontra-produktif. Negara besar seperti Indonesia juga rawan terhadap disintegrasi, karena sangat beragamnya penduduk. Oleh sebab itu, salah satu sikap yang perlu dimiliki oleh setiap warga negara—baik dari unsur pemerintah maupun masyarakat—adalah semangat bela negara.
Banyak orang mengira bahwa bela negara hanya berlaku saat perang. Dalam pandangan umum, TNI yang berperang melawan musuh dianggap sebagai wujud bela negara. Padahal, bela negara jauh lebih luas daripada itu. Ia bisa diwujudkan dalam banyak bentuk, salah satunya melalui keterlibatan aktif warga negara dalam menjaga arah kebijakan negara.
Generasi muda perlu dikenalkan cara-cara membela negara berdasarkan konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur hal ini, terutama dalam:
1. Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945
“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”
2. Pasal 30 Ayat (1) UUD 1945
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Menghafalkan dan memahami pasal-pasal ini dapat menjadi bekal kesadaran bela negara bagi setiap warga.
Kritik yang Membangun sebagai Bentuk Bela Negara
Kritik merupakan bentuk komunikasi yang mengandung analisis, penilaian, dan saran terhadap suatu hal—baik secara positif maupun negatif—dengan tujuan membangun.
Menurut KBBI, kritik adalah:
1. Tanggapan, sambutan, atau kecaman yang disertai pertimbangan baik dan buruk terhadap suatu hal;
2. Penilaian terhadap suatu gagasan atau karya, bisa berupa apresiasi maupun koreksi.
Artinya, kritik adalah hal yang wajar dan bahkan dibutuhkan. Karena manusia, atau bahkan institusi negara, tidak selalu benar. Ada kalanya keputusan atau tindakan yang diambil tidak tepat. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
“Al-insānu maḥallul khaṭā’ wan-nisyān.”
"Manusia adalah tempatnya salah dan lupa."
Jika kita ingin maju, maka menerima kritik adalah keniscayaan. Sayangnya, sebagian orang masih menganggap kritik sebagai ancaman terhadap wibawa. Padahal, menolak kritik justru bisa menutup peluang untuk tumbuh dan memperbaiki diri.
Kritik dalam Sejarah Pendiri Bangsa
Budaya kritik bukan hal baru. Bahkan para pendiri bangsa telah memberi contoh bahwa saling menasihati dan mengingatkan adalah bagian dari perjuangan dan tanggung jawab bernegara.
Contohnya, Ir. Soekarno pernah berkata kepada Mohammad Hatta:
“Hatta, kalau kau jadi Presiden dan aku jadi rakyat biasa, aku tetap akan berdiri di belakangmu untuk membela kepentingan rakyat.”
— Ir. Soekarno, menjelang Proklamasi 1945.
Namun, hubungan mereka tidak selalu sejalan. Ketika prinsip kekuasaan mulai berbeda, Hatta mengkritik Soekarno secara terbuka melalui pengunduran dirinya:
“Saya keluar dari jabatan karena tidak ingin kekuasaan digunakan tanpa kontrol.”
— Mohammad Hatta, 1956.
Inilah contoh nyata bahwa kritik tidak selalu berarti permusuhan, justru bisa menjadi bentuk kecintaan pada bangsa dan penjagaan terhadap moral kepemimpinan.
Penutup: Kritik Adalah Cinta
Bela negara bukan hanya soal mengangkat senjata, tetapi juga berani menyuarakan kebenaran, mengingatkan penyimpangan, dan menyampaikan kritik yang membangun. Ini adalah wujud cinta kepada negeri agar tetap berada di jalan yang benar.
Sebagaimana para pendiri bangsa, mari kita hidupkan kembali budaya kritik sebagai bentuk tanggung jawab warga negara demi Indonesia yang adil, maju, dan bermartabat.[]
Penulis :
Yusmin Abdul Malik, Mahasiswa S1 Prodi Ekonomi Syariah Universitas Pamulang, Tertarik Tulisan Dakwah dan Ekonomi yang berbasis syariah dan juga Parenting