Notification

×

Iklan

Iklan

Ekosistem Sunyi:Ketika Diam Menjadi Senjata dalam Bullying Modern

Selasa, 03 Juni 2025 | Juni 03, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-03T06:17:52Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Farros Zufar (Foto/IST)

Selama bertahun-tahun, bullying selalu diidentikkan dengan kekerasan fisik atau verbal. Kita membayangkan pelaku yang menendang, mengejek, atau mempermalukan korban di depan umum. Namun, seiring berkembangnya dinamika sosial dan teknologi, bullying tidak lagi selalu tampak kasar dan mencolok. Ia bisa datang dalam bentuk yang lebih halus, nyaris tak terdengar, dan tidak kasat mata. Salah satu bentuknya adalah diam , keheningan yang disengaja, yang menciptakan luka tanpa kata, tanpa bentakan.

 

Fenomena ini disebut sebagai ekosistem sunyi, yaitu sebuah lingkungan sosial yang dengan sadar atau tidak, menciptakan suasana pengabaian terhadap individu tertentu. Dalam ekosistem ini, diam bukan lagi tanda kedamaian, melainkan menjadi alat kekerasan sosial yang paling sunyi  tapi sangat menyakitkan.

 

Bullying tidak harus dilakukan dengan kata-kata kasar atau kontak fisik. Dalam banyak kasus, pelaku tidak perlu berkata apa-apa, karena ketidakhadiran suara mereka sudah cukup menjadi bentuk penolakan. Ini adalah bentuk perundungan yang sering disebut bullying pasif  ketika seseorang dikeluarkan dari percakapan, tidak diajak terlibat dalam kegiatan kelompok, atau bahkan sengaja diabaikan keberadaannya

 

Bentuk ini sangat sulit dibuktikan karena tidak meninggalkan jejak yang jelas. Tidak ada rekaman kekerasan, tidak ada hinaan , bahkan kadang tidak ada interaksi sama sekali. Tapi bagi korban, diam itu berisik. Sangat berisik. Diam yang disengaja memberi pesan tajam untuk para korban yang mendapatkan bullying.

 

Ekosistem sunyi adalah kondisi sosial di mana sekelompok orang secara kolektif memilih untuk mengabaikan atau mengucilkan satu individu. Ini bisa terjadi di mana saja  di sekolah, kantor, pergaulan sehari-hari, bahkan dalam keluarga. Tidak ada perintah eksplisit untuk menjauhi korban. Namun, pola dan kebiasaan kelompok menunjukkan bahwa satu orang “tidak termasuk” dalam struktur sosial tersebut.

 

Hal-hal kecil seperti ini, ketika terjadi terus-menerus, membentuk ekosistem yang dingin, mengasingkan, dan membuat seseorang merasa terbuang tanpa alasan yang jelas.Ia tidak diajak dalam acara bersama, atau secara sengaja dilewati dalam percakapan informal.

 

Manusia adalah makhluk sosial. Kita butuh pengakuan, interaksi, dan rasa memiliki. Ketika seseorang dikeluarkan dari ruang sosial secara diam-diam, otaknya meresponnya sebagai ancaman. Penelitian dalam bidang neurologi menunjukkan bahwa rasa penolakan sosial mengaktifkan area otak yang sama dengan rasa sakit fisik. Itu sebabnya, perasaan dikucilkan bisa menimbulkan reaksi emosional dan psikologis yang sangat kuat.

 

Lebih buruknya lagi, korban merasa sulit menjelaskan penderitaannya kepada orang lain. Karena tidak ada bukti nyata, mereka sering dianggap terlalu sensitif atau hanya baper. Padahal yang mereka alami adalah bentuk perundungan yang nyata hanya saja lebih tersembunyi.

 

Dalam banyak budaya, diam sering dianggap sebagai sikap dewasa atau bentuk pengendalian diri. Namun, ketika diam digunakan secara sistematis untuk menjatuhkan orang lain, kita sering gagal mengenalinya sebagai kekerasan. Kita hidup dalam zaman di mana membungkam orang lain tidak harus dengan suara, tapi cukup dengan diam serempak.

 

Media sosial memperluas jangkauan ekosistem sunyi. Di dunia digital, seseorang bisa dibisukan dengan cara di-unfollow, dikeluarkan dari grup, diabaikan dalam komentar, atau bahkan dibaca tapi tidak dibalas. Semua bentuk itu terlihat sepele, tapi ketika terjadi secara terus-menerus, dampaknya bisa sangat menghancurkan.

 

Korban bisa melihat betapa ramainya interaksi orang lain di dunia digital  dan menyadari bahwa dirinya tidak termasuk. Ini menciptakan kesadaran terus-menerus bahwa ia diasingkan, yang dikenal sebagai ambient awareness  kesadaran akan keterasingan di tengah keramaian.

 

Langkah pertama dalam melawan sunyi dalam kesadaran adalah menyadari bahwa diam bukan selalu netral. Ia bisa menjadi alat yang menyakitkan, apalagi ketika digunakan untuk mengecualikan orang lain dari ruang sosial. Berikut beberapa langkah penting yang bisa dilakukan oleh individu maupun institusi.

 

 

Selama bertahun-tahun, persepsi umum tentang bullying berkisar pada tindakan fisik seperti memukul, mendorong, atau verbal seperti mengejek, menghina, dan mengancam. Namun, di era digital dan interaksi sosial yang makin kompleks, bentuk bullying mengalami transformasi. Salah satunya adalah social exclusion atau pengucilan sosial. Pengucilan tidak membutuhkan teriakan atau pukulan. Ia hanya membutuhkan diam-diam yang disengaja, terstruktur, dan sistematis.

 

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang mendambakan pengakuan dan hubungan dengan sesama. Ketika individu ditempatkan dalam kondisi sunyi sosial, rasa keterasingan dan tak berharga akan tumbuh. Dalam bidang psikologi sosial menunjukkan bahwa pengucilan dapat memicu reaksi emosional yang mirip dengan rasa sakit fisik

 

Yang membuat ekosistem sunyi begitu berbahaya adalah sifatnya yang tidak kasat mata. Tidak ada luka yang terlihat, tidak ada kata kasar yang bisa dijadikan bukti. Akibatnya, banyak korban yang merasa ragu-ragu untuk mengungkapkan perasaan mereka, karena takut dianggap berlebihan atau terlalu sensitif. Keheningan yang dialami diperparah dengan keheningan yang harus mereka jaga.

 

Tidak seperti pelaku bullying fisik atau verbal yang umumnya menyadari tindakan mereka, pelaku dalam ekosistem sunyi sering kali merasa tidak melakukan kesalahan. Mereka hanya tidak mengajak, tidak menyapa, atau tidak terlibat. Namun, jika tindakan ini dilakukan secara  berulang, dan dengan motif tertentu, maka dampaknya bisa sama destruktifnya dengan bentuk bullying lainnya.

 

Ironisnya, banyak pelaku merasa bahwa mereka hanya sedang menjaga jarak atau bersikap netral. Padahal, sikap netral dalam dinamika kekuasaan dan relasi sosial sering kali berarti memihak pada yang menindas. Dalam konteks ini, diam bukanlah kebajikan, melainkan senjata.

 

Ekosistem sunyi bisa bertahan lama karena didukung oleh struktur sosial yang permisif dan budaya yang cenderung menormalisasi pengabaian. Di banyak institusi, pengucilan tidak dipandang sebagai pelanggaran serius.Banyak yang menganggap ini sebagai dinamika sosial biasa.

 

Korban ekosistem sunyi(bullying) biasanya mengalami stres psikologis, kecemasan sosial, rendah diri, hingga depresi. Dalam jangka panjang, mereka mungkin mengembangkan trauma sosial yang membuat mereka sulit membangun relasi baru, tidak percaya diri, dan merasa tidak layak diterima.

 

Seseorang yang mempertahankan ekosistem sunyi juga kehilangan sesuatu. Mereka kehilangan keberagaman pandangan, keterbukaan, dan empati. Lingkungan yang seperti itu secara sosial mungkin terasa nyaman, tetapi ia rapuh dan tidak mampu beradaptasi terhadap perbedaan.

 

Dampak dari ekosistem sunyi tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh masyarakat luas. Ketika pengabaian menjadi norma, kita menciptakan generasi yang tidak terbiasa berdialog, tidak mampu menyelesaikan konflik, dan cenderung menghindari masalah. Korban pun sering kali mengalami penurunan motivasi, kehilangan kepercayaan diri, dan dalam kasus ekstrem, bisa berujung pada keputusan fatal seperti bunuh diri.

 

Dalam lingkungan profesional, budaya diam menumpulkan kreativitas dan inovasi. Ketakutan untuk berbeda atau bersuara membuat individu memilih untuk mengamankan posisinya daripada mengusulkan ide baru. Akibatnya, organisasi menjadi tidak maju  dan tidak adaptif terhadap perubahan.

 

Ekosistem sunyi adalah bentuk bullying yang sering tak disadari namun memiliki dampak besar bagi korban. Ia berkembang dalam diam, berakar pada ketidakpedulian, dan bertahan karena rasa takut. Untuk melawannya, dibutuhkan keberanian untuk bersuara, bahkan ketika suara itu sendirian. Sebab dalam dunia yang semakin kompleks, menjadi sekadar tidak jahat tidak cukup. Kita perlu aktif menjadi bagian dari lingkungan yang inklusif, terbuka, dan penuh empati. Karena terkadang, satu sapaan kecil bisa menjadi suara paling nyaring dalam menghadapi sunyi yang membunuh.[]

 

Penulis :

Farros Zufar, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang 

×
Berita Terbaru Update