Notification

×

Iklan

Iklan

Etika Bermedia Sosial Menurut Islam: Panduan Bijak di Dunia Maya

Sabtu, 21 Juni 2025 | Juni 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-21T16:20:19Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi

Pada zaman digital saat ini, platform media sosial telah menjadi salah satu alat utama untuk komunikasi, ekspresi diri, dan penyebaran informasi. Jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, WhatsApp, dan X (sebelumnya Twitter) tidak hanya berfungsi untuk berinteraksi, tetapi juga untuk menyampaikan pendapat, berdakwah, bertukar pikiran, hingga mengkritik isu-isu tertentu. Sayangnya, perkembangan ini tidak selalu diimbangi dengan kesadaran etika. Banyak kasus penyebaran berita palsu, ujaran kebencian, fitnah, perundungan siber, serta pelanggaran privasi.

 

Etika di dunia maya sangat penting agar setiap individu yang menggunakan media sosial memahami tanggung jawab dan hak-hak mereka sebagai bagian dari komunitas global yang ada di dunia digital. Dalam sebuah kelompok, misalnya grup di platform media sosial Facebook, terdapat peraturan yang harus disetujui oleh anggotanya ketika mereka bergabung. Sebagai contoh, ketika seseorang mendaftar untuk membuat akun di berbagai layanan, seperti akun di media sosial, akun email, atau blog. Sebelum pengguna dapat memanfaatkan layanan akun tersebut, ada sejumlah ketentuan yang perlu dikuasai terkait dengan apa yang diperbolehkan, apa yang dilarang, hingga ketentuan hukum yang berlaku jika terjadi pelanggaran.

 

Dalam perspektif Islam, setiap aspek kehidupan, termasuk berinteraksi di media sosial, harus mengikuti prinsip etika yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Media sosial hanyalah sarana, tetapi penggunanya membawa tanggung jawab yang besar. Tingkah laku kita di dunia maya tetap berada dalam pengawasan Allah, seperti yang tertuang dalam firman-Nya:

 

ما يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيد

 

Artinya: “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qs. Qof:18)                    

 

Ayat ini menegaskan bahwa setiap ucapan, termasuk yang diketik dan disebarkan di media sosial, akan dicatat dan dipertanggungjawaban.

 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Rasulullah SAW menyatakan bahwa: "Seorang muslim yang baik adalah mereka yang membuat muslim lainnya merasa aman dari gangguan perkataan dan perbuatannya, dan orang yang melakukan hijrah (termasuk dalam kelompok muhajirin) adalah yang meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah" (HR. al-Bukhori dalam Kahar, 1992: 400).

 

Hadits ini menegaskan bahwa untuk menjadi individu yang baik, penting untuk menghindari ucapan dan tindakan yang dapat menumbuhkan kebencian serta permusuhan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana damai dan tenteram dalam hidup serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah agar dapat selalu dekat dengan-Nya. Apabila hal ini terlaksana, maka manusia akan dipandang baik oleh sesama dan juga oleh Allah.

 

Dalam al-Qur'an, terdapat sejumlah istilah utama yang merujuk pada komunikasi yang tidak konstruktif. Istilah-istilah ini juga menunjukkan betapa pentingnya sikap waspada, kesadaran diri, serta kemampuan literasi yang baik terkait dengan media sosial, di samping pedoman yang bijaksana yang menekankan etika daripada hanya mengikuti dorongan hawa nafsu. Pedoman-pedoman tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut:

 

1. Menyampaikan informasi secara akurat

Menyampaikan informasi secara akurat, tanpa melakukan rekayasa atau manipulasi terhadap data, serta menghindari penyebaran informasi tertentu di media sosial yang kebenarannya tidak dapat dipastikan. Istilah ini dikenal sebagai qaul zur, yang mengacu pada ucapan yang buruk atau kesaksian yang tidak benar. Termasuk dalam kategori ini adalah memperindah kebohongan, yang dikenal dengan tazyin al-kizb. Individu yang selalu bertindak jujur disebut shiddiq dan merupakan salah satu jalur menuju surga. Sementara itu, orang yang gemar berbohong disebut al-kizb atau kadzdzab, dan celakalah bagi mereka yang sering berbohong karena hal itu hanya akan membawa mereka pada perbuatan dosa yang berujung pada neraka.  

 

Kejujuran sangat penting saat seseorang ingin menyampaikan sebuah pesan atau informasi kepada orang lain. Jika seseorang kehilangan kejujuran, hal itu dapat berakibat fatal dan menyebabkan konflik, bahkan perpecahan. Sifat jujur juga merupakan elemen dari kebaikan akhlak. Ketika seseorang tidak berbuat jujur, mereka sudah merubah fakta dan dapat memicu fitnah. (Supriatna and Jenuri 2023)

 

اِنَّمَا يَفْتَرِى الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ

 

Artinya: Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka itulah para pembohong.” (Qs. An-Nahl:105)

 

2. Sebagai sarana Amr Ma’ruf Nahi Munkar

Dalam etika bermedia sosial menurut Netizmu Muhammadiyah, media sosial harus dimanfaatkan sebagai alat untuk melakukan kebaikan dan mencegah keburukan dengan bijaksana dan nasihat yang baik. Etika ini menekankan betapa krusialnya menjadikan media sosial sebagai alat untuk mewujudkan berbagai bentuk manfaat dan menghindari segala jenis kerusakan. Abu Ishaq al-Shatibi, yang dikenal sebagai Imam Al-Shatibi, menegaskan bahwa tujuan dari penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kebaikan bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

 

3. Meneliti Fakta

Untuk mendapatkan kepastian mengenai data dan informasi, seorang Muslim sebaiknya memverifikasi dan menyelidiki kebenaran dari informasi awal yang diterima, agar tidak terjerumus dalam gibah, fitnah, atau tajassus. Tajassus merujuk pada upaya mencari kelemahan orang lain. Dan gibah adalah membicarakan aib atau kekurangan orang lain. Mencari kesalahan orang lain dan menggosipkan tentang mereka dianggap sebagai dosa besar, sehingga individu yang terlibat harus segera bertaubat dan meminta maaf kepada orang yang terkena dampak.

 

4. Menghindari fitnah atau pengaduan

Fitnah atau pengaduan merujuk pada tindakan menyampaikan informasi kepada kelompok tertentu dengan tujuan mengadu domba mereka dengan pihak lain. Fitnah juga bisa diartikan sebagai tindakan provokatif untuk kepentingan tertentu. Seharusnya seorang muslim lebih berhati-hati saat menerima informasi melalui platform media sosial dan tidak langsung membagikan berita yang kebenarannya masih diragukan. Setelah kebenarannya dipastikan, berita tersebut harus dievaluasi terlebih dahulu apakah memberikan dampak positif atau bahkan sebaliknya, seperti menimbulkan gossip atau fitnah, serta menciptakan ketenangan atau justru menghasilkan kekacauan.

 

5. Menghindari sukhriyah

Sukhriyah merujuk pada tindakan mempermalukan atau menertawakan orang lain. Menertawakan, merendahkan individu, mencaci, atau melakukan hal-hal yang bersifat penghinaan dapat menimbulkan kebencian. Dalam QS. al-Hujurat ayat 11 dijelaskan bahwa Allah melarang baik pria maupun wanita yang beriman untuk saling menertawakan. Mungkin saja orang yang diolok-olok lebih terhormat di hadapan Allah.[]

 

Penulis :

Anita Dewi Masitoh, Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Madani Yogyakarta

×
Berita Terbaru Update