Foto/Ilustrasi
Beberapa tahun terakhir, istilah healing menjadi tren di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda. Healing yang identik dengan liburan, nongkrong, atau menyendiri, sering dijadikan cara untuk meredakan stres akibat tekanan hidup. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah healing benar-benar menjadi solusi yang efektif atau hanya pelarian sementara yang menunda penyelesaian masalah sebenarnya?
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang memiliki kebutuhan untuk beristirahat sejenak dari rutinitas yang melelahkan. Aktivitas healing, seperti bepergian ke alam, menikmati kopi di kafe favorit, atau sekadar mengambil jeda dari media sosial, terbukti dapat memberikan efek relaksasi. Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai coping mechanism, yaitu upaya individu untuk mengurangi tekanan mental. Akan tetapi, ketika healing menjadi kebiasaan tanpa dibarengi refleksi dan penyelesaian akar masalah, maka ia berpotensi menjadi pelarian yang semu.
Lebih jauh, budaya healing yang digaungkan di media sosial terkadang menciptakan standar baru bahwa "istirahat = jalan-jalan mahal". Hal ini bisa berdampak negatif terutama bagi mereka yang merasa tidak mampu melakukan healing versi tersebut, lalu merasa semakin tertekan. Padahal, esensi healing sejatinya bukan pada tempat atau biaya, melainkan pada bagaimana seseorang menyembuhkan dirinya dari dalam. Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal ini, sehingga healing justru berubah menjadi ajang pelarian dari tanggung jawab, bukan bentuk perawatan diri yang sehat.
Selain itu, terlalu mengandalkan healing sebagai solusi setiap kali muncul masalah juga bisa menghambat kedewasaan emosional. Jika setiap tekanan dijawab dengan liburan atau menjauh dari kenyataan, kapan seseorang akan belajar mengelola masalah secara langsung? Hidup tidak selalu nyaman, dan belajar menghadapi masalah adalah bagian penting dari proses pendewasaan.
Oleh karena itu, fenomena healing memang bisa menjadi solusi jika dilakukan dengan bijak dan proporsional. Namun, jika hanya dijadikan dalih untuk kabur dari kenyataan, healing tidak lebih dari sekadar penunda masalah yang akan terus berulang.
Sudah saatnya masyarakat, terutama generasi muda, memahami bahwa kesehatan mental tidak hanya soal "pergi dan menghindar", tetapi juga soal "menghadapi dan menyelesaikan". Healing terbaik adalah ketika kita mampu berdamai dengan diri sendiri, bukan hanya mencari tempat untuk lari sejenak.[]
Pengirim :
Fifi Aulia Rani, Mahasiswi KPI UIN K. H. Abdurrahman Wahid Pekalongan