![]() |
Ahmad Farid Baihaqi (Foto/dok. pribadi) |
Di era perkembangan teknologi yang semakin maju, penuh dengan tekanan pencapaian, dan ekspetasi media sosial yang tinggi, ketakutan akan kegagalan dapat menjadi ancaman yang nyata, terutama bagi Generasi Z mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Di balik kreativitas, keberanian berinovasi, dan semangat wirausaha, tersembunyi satu fakta yang jarang dibicarakan secara jujur banyak dari mereka takut gagal.
Sebagian dari mereka masih memandang kegagalan sebagai titik akhir, bukan berpikir sebagai proses pembelajaran. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa kesuksesan sering kali lahir dari kegagalan yang berulang kali. Sayangnya, narasi ini belum sepenuhnya membumi di lingkungan Gen Z . Akibat nya, banyak sebagian dari mereka merasa tertekan untuk selalu berhasil, dan ketika mengalami kegagalan,mereka merasa malu.
Membangun budaya anti takut gagal bukan berarti membiarkan kegagalan terus berulang tanpa evaluasi. Justru, ini merupakan ajakan untuk menormalisasi kegagalan sebagai bagian dari proses tumbuh dan belajar. Ketika kita memulai bisnis lalu bangkrut, itu bukanlah akhir, melainkan awal dari pemahaman baru tentang manajemen, pasar, dan strategi.
Di Silicon Valley, pusat inovasi dunia, istilah “ fail presto, fail frequently ” menjadi mantra para inovator. Bukan karena mereka senang gagal, tetapi karena setiap kegagalan memberi pelajaran yang tak bisa diajarkan oleh buku atau teori. Filosofi ini patut dibawa masuk ke dalam narasi pendidikan dan karier anak muda Indonesia.
Salah satu akar dari ketakutan akan kegagalan adalah sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada nilai sempurna. Di banyak sekolah, murid yang salah dianggap lemah. Padahal, belajar sejatinya adalah proses mencoba, gagal, lalu memperbaiki. Diperlukan perubahan pendidikan yang menghargai proses, bukan sekadar hasil. Orang tua juga perlu menjadi contoh bahwa kegagalan itu bukan aib.
Fenomena menarik terjadi di kalangan Gen-Z banyak yang berani memulai usaha sendiri, tapi seringkali mereka terlalu berharap bisa sukses dengan cepat. Ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan, mereka jadi putus asa. Padahal, jatuh bangun dalam bisnis itu normal. Tidak semua produk laku, tidak semua konten disukai, dan tidak semua ide diterima pasar. Tapi, dari kesalahan-kesalahan itu, kita bisa belajar dan menjadi lebih baik. Kita perlu mengubah pemikiran tentang sukses dan kegagalan, dan memahami bahwa pengalaman dan pemahaman bisnis itu terbentuk dari proses yang panjang.
Kita perlu mengubah cara memandang kegagalan. Media massa dan media sosial bisa membantu dengan mengangkat kisah-kisah tentang orang-orang yang gagal, tapi tidak menyerah. Mereka yang jatuh, tapi bangkit lagi. Dengan demikian, kita bisa menunjukkan bahwa kegagalan bukanlah akhir, tapi awal dari sesuatu yang baru. Komunitas wirausaha dan pengembangan diri bisa menjadi tempat yang aman bagi kita untuk berbagi cerita tentang kegagalan kita, dan merayakannya sebagai bentuk keberanian untuk mencoba.
Membangun budaya anti takut gagal bukanlah proses instan. Ia membutuhkan pergeseran cara pandang dari berbagai pihak pendidik, orang tua, media, hingga komunitas. Bagi Gen Z, menerima kegagalan sebagai bagian dari perjalanan adalah kunci untuk berkembang, bertumbuh, dan pada akhirnya menjadi pribadi yang lebih tangguh. Maka, mari mulai hari ini. Rayakan proses, bukan hanya hasil. Hormati usaha, bukan hanya kemenangan. Dan yakinkan pada diri kita “Gagal Itu Biasa. Dari kegagalanlah kita mengenal kekuatan, dan dari keberanian mencoba, masa depan di bentuk”.[]
Penulis :
Ahmad Farid Baihaqi, domisili di Desa cinangka, Kampung kebon, Kecamatan Sawangan, RT02/07, Kota Depok, Email : Baihaqi080105@gmail.com