![]() |
Foto/Ilustrasi |
Pendidik atau yang biasa disebut pada umumnya “Guru” memiliki pengaruh besar kepada anak didiknya dalam perilakunya. Naasnya perilaku buruk yang sangat kecil lebih sering ter-notice dibanding perilaku baik yang sangat terlihat. Bagaimana cara menangani hal tersebut?.
Yang harus diketahui pertama kali adalah, pendidik harus mengetahui bagaimana kepribadian diri dia sendiri. Menurut Suryabata (2005) “Kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang mencerminkan kebiasaan, sikap, nilai-nilai, dan pandangan hidupnya.” Dan pendidik merupakan orang yang banyak dilihat anak didiknya, karena ia menjadi seseorang yang secara tidak langsung adalah faktor dalam menjadi uswah atau contoh dalam berperilaku di keseharian anak didiknya. Maka sudah lazim apabila seorang pendidik diminta untuk mengajarkan anak didiknya kebaikan, menerapkannya dalam kehidupan dan memberitahu apa saja keburukan yang harus dijauhi, guna menyaring perilaku mereka.
Karena, bagaimana kita sebagai pendidik bisa berekspektasi mereka memiliki perilaku yang baik jika tak diimbangi dengan perilaku pendidik yang baik pula?. Mereka tak cukup ceramah banyak tentang kebaikan, mereka memerlukan orang-orang yang berperilaku baik hingga yakin dan termotivasi untuk bersikap seperti itu. Pendidik yang tepat waktu, memahami bagaimana kepribadian mereka (walau agak sulit) sehingga tahu cara menghadapi mereka dan juga mampu memberikan kisah atau berkata-kata yang berisi ajakan berperilaku baik.
Kenapa sih sangat ditekankan hal ini?. Karena lingkungan sekolah merupakan salah satu dari faktor eksternal yang memperngaruhi perkembangan kepribadian dan karakter. Maka, tidak hanya 1 guru yaitu wali kelasnya yang bertanggung jawab, namun semua yang ada dilingkungan sekolah berkontribusi. Guru-guru yang mengajar, guru bagian BK, sampai satpam memiliki andil dalam membentuk anak didik. Dan seorang remaja (12-18 tahun) sedang berada di masa pencarian jati dirinya.
Dan dengan keberagaman karakter dan kepribadian dari pendidik ataupun anak didiknya seringkali menjadi tantangan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Maka, tanpa pemahaman yang tepat tentang teori kepribadian, guru cenderung menerapkan pendekatan yang seragam, yang justru dapat menghambat potensi peserta didik.
Maka bagaimana solusinya? Pendidikan karakter harus dilakukan secara terintegrasi, menyentuh aspek kognitif (proses berpikir), afektif (perasaan, sikap nilai dan emosi seseorang), dan psikomotorik (tindakan nyata). Lickona (1991) mengemukakan bahwa strategi keteladanan, pembiasaan, dan penguatan positif dapat digunakan secara efektif di lingkungan sekolah. Ia menekankan bahwa karakter tidak terbentuk secara instan, tidak hanya terjadi melalui penyampaian materi, tetapi melalui pembiasaan, keteladanan, interaksi sehari-hari, dan pengalaman nyata seperti kegiatan ekstrakurikuler atau pengabdian masyarakat. Dan untuk penguatan karakter dapat dilakukan melalui penghargaan terhadap sikap positif, serta konsistensi guru dalam memberikan umpan balik terhadap perilaku peserta didik.
"Mari kita mulai dari diri sendiri—mengenal, memahami, dan memperbaiki kepribadian kita sebagai pendidik. Karena perubahan besar dalam generasi berawal dari pribadi yang kecil, yang konsisten menebar kebaikan."[]
Penulis :
Amalati Firdausa, Nomor Hp : +6285758970343, email : asyrafmunif1@gmail.com