![]() |
Foto/Ilustrasi |
Kalau kita bicara tentang Pendidikan Indonesia, topiknya bisa sangat luas, kurikulum yang berubah-ubah, fasilitas yang bertentangan, digitalisasi sekolah, sampai kualitas siswa yang menurun. Tapi jarang yang menyoroti satu hal yang paling fundamental yaitu kepribadian guru sebagai penompang utama, bahkan ketika sistem terus bergoyang.
Pendidikan kita sering terjebak pada hal-hal teknis, seperti soal kurikulum, anggaran, dan kebijakan baru yang selalu berganti. Padahal, semua kebijakkan itu pada akhirnya dijalankan oleh satu seseorang yang berada paling dekat dengan murid, yaitu guru.
Namun, dalam banyak kasus, seorang guru justru menjadi elemen yang paling sedikit diperhatikan. Sementara target dan tuntutan terus meningkat, dukungan terhadap kesejahteraan, kematangan emosional, dan karakter guru sering dikesampingkan. Akhirnya, yang tersisa hanyalah manusia-manusia yang bertahan bukan karena sistem yang adil, melainkan karena pribadi mereka yang kuat.
Lebih Dari Sekedar Mengajar
Secara formal,tugas guru adalah mengajar. Tapi realitasnya, mereka juga menjadi operator sistem, Panitia berbagai kegiatan, pelatih ekstrakurikuler, bahkan tenaga administrasi. Mereka dituntun untuk multitugas, namun jarang diberikan ruang untuk benar-benar mendampingi murid secara personal.
Dalam suasana seperti ini, kepribadian guru, kesabaran, empati, serta ketulusan menjadi faktor penentu apakah proses belajar akan berdampak atau tidak. Guru yang patuh pada sistem akan berhenti pada transfer ilmu. Tapi guru dengan karakter kuat mampu membangun, memotivasi, bahkan menjadi teladan hidup bagi murid.
Sistem Bisa Berganti Tapi Pribadi Tidak
Setiap kali kurikulum berubah, guru menjadi pihak yang harus berdaptasi paling cepat. Tak jarang perubahan datang tanpa penjelasan yang cukup atau pelatihan yang memadai. Guru harus mempelajari sendiri sistem baru, menulis ulang rencana ajar, dan menyesuaikan metode pengajaran, semua ditengah kesibukkan yang padat.
Namun tidak semua hal bisa diselesaikan lewat pelatihan. Ketulusan untuk terus belajar, semangat untuk bertahan ditengah frustasi, dan keikhlasan dalam mendampingi murid, semua itu tidak bisa dipaksakan. Hanya bisa tumbuh dari karakter pribadi yang kuat dan komitmen jangka Panjang terhadap Pendidikan.
Guru Yang Peduli Tak Selalu Dihargai
Mirisnya, tidak sedikit guru yang benar-benar peduli pada murid justru terpinggirkan. Mereka yang menyempatkan waktu untuk mendengarkan suara hati sang murid, memberikan jam tambahan bagi anak-anak yang tertinggal, atau memilih pendekatan humanis daripada hukuman keras, kadang dianggap tidak efisien. Padahal, inilah Pendidikan yang sebenarnya, yaitu mendidik dengan hati.
Sistem penilaian guru yang terlalu administratif kadang tidak memberi tempat bagi aspek-aspek emosional dan moral. Akibatnya, guru yang ingin bekerja dengan hati malah merasa asing di lingkungannya sendiri
Guru Adalah Segalanya
Banyak guru di daerah terpencil yang menggambarkan realitas ini lebih jelas. Dengang gaji yang seadanya, akses yang terbatas, dan sedikitnya dukungan, banyak guru yang tetap setia mengajar. Mereka dengan ihklas dan kesadaran penuh berjalan jauh, tinggal disekolah, dan mengajar dengan fasilitas yang sangat terbatas, semua itu karena panggilan dari hati.
Mereka tidak memiliki teknologi yang canggih atau pelatihan modern. Tapi kepribadian mereka, kesadaran, ketekunan, serta cinta mereka pada Pendidikan cukup untuk menggerakkan roda sekolah dan menjaga harapan anak-anak di pelosok negeri ini.
Saatnya Menempatkan Guru Sebagai Manusia Bukan Sekedar Pekerja
Pendidikan di Indonesia tidak akan pernah bener-bener maju jika kita terus mengabaikan aspek yang paling utama dari proses belajar, yaitu pribadi guru yang baik. Kurikulum boleh diperbarui, sistem bisa dimodernisasi, tapi jika seorang guru tidak diberi ruang untuk tumbuh sebagai manusia, maka semua hanya akan menjadi tumpukkan kebijakkan diatas kertas.
Sudah saatnya kita berhenti melihat guru sebagai pelaksana teknis, dan mulai menghargai mereka sebagai manusia yang utuh. Karena Ketika sistem pendidikan gagal, hanya kepribadian guru yang bisa menjaga agar pendidikan tetap berjalan dengan baik.[]
Penulis :
Qurratu’ain Nur Afra, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Madani Yogyakarta (STITMA)