![]() |
Muhammad Adrevi Rahmadin (Foto/dok. pribadi) |
Lingkungan kampus seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung pertumbuhan intelektual, emosional, serta sosial mahasiswa. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa praktik bullying atau perundungan masih kerap terjadi di berbagai institusi pendidikan tinggi. Perundungan di kampus bukan hanya merusak suasana belajar, tetapi juga membahayakan kesehatan mental dan masa depan mahasiswa. Oleh karena itu, menciptakan kampus yang bebas dari bullying adalah kebutuhan mendesak demi mewujudkan ekosistem pendidikan yang sehat dan inklusif.
Bullying merupakan tindakan menyakiti, mengintimidasi, atau merendahkan orang lain secara berulang dan disengaja, baik secara fisik, verbal, sosial, maupun digital. Di kampus, bentuk bullying tidak selalu terlihat mencolok. Ia bisa hadir dalam bentuk kekerasan verbal seperti ejekan dan penghinaan; eksklusi sosial seperti pengucilan dari kelompok atau organisasi; bullying berbasis senioritas seperti perpeloncoan saat ospek; cyberbullying seperti hinaan melalui media sosial atau penyebaran informasi pribadi; dan pelecehan kuasa dari dosen atau staf akademik terhadap mahasiswa. Seringkali, korban tidak melaporkan kasus yang dialaminya karena takut, malu, atau merasa tidak akan mendapatkan keadilan. Ini menunjukkan betapa gentingnya persoalan bullying yang terus mengakar tanpa penanganan yang serius.
Terdapat berbagai alasan mengapa bullying harus segera ditangani di lingkungan kampus. Pertama, dari sisi psikologis, korban bullying rentan mengalami stres, depresi, gangguan kecemasan, hingga kehilangan kepercayaan diri. Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat memburuk dan menyebabkan gangguan mental serius. Kedua, dari sisi akademik, mahasiswa yang menjadi korban cenderung kehilangan semangat belajar, mengalami penurunan prestasi, dan bahkan bisa putus kuliah. Ketiga, bullying menciptakan atmosfer kampus yang tidak sehat, di mana ketakutan, diskriminasi, dan kekerasan menjadi hal biasa. Terakhir, jika dibiarkan terus-menerus, bullying akan menghambat potensi generasi muda. Mahasiswa yang seharusnya tumbuh menjadi pemikir dan pemimpin masa depan malah terhambat oleh trauma sosial yang dalam.
Pelaku bullying di kampus bisa berasal dari berbagai kalangan. Mahasiswa senior sering kali menjadi pelaku terhadap mahasiswa baru, baik melalui ospek berlebihan maupun tindakan intimidatif dalam organisasi. Rekan satu angkatan pun bisa terlibat, terutama dalam bentuk ejekan, pengucilan, atau persaingan tidak sehat. Bahkan tidak jarang dosen atau staf kampus menyalahgunakan kewenangan untuk menekan atau mempermalukan mahasiswa. Di sisi lain, korban umumnya adalah mahasiswa baru, mahasiswa dari kelompok minoritas (etnis, gender, agama), mahasiswa difabel, atau mereka yang dianggap berbeda oleh lingkungan sosialnya. Yang tak kalah penting adalah peran "penonton pasif" mahasiswa lain yang mengetahui adanya bullying tetapi memilih diam karena takut atau tidak merasa berwenang. Padahal, mereka bisa menjadi agen perubahan bila mau bersikap aktif.
Bullying bisa terjadi kapan saja dan di mana saja dalam lingkungan kampus. Ia bisa muncul dalam kegiatan resmi seperti orientasi mahasiswa baru, kegiatan organisasi, diskusi kelas, bahkan dalam interaksi sehari-hari di lingkungan kampus. Selain itu, platform digital seperti grup WhatsApp, Instagram, dan forum kampus juga menjadi tempat terjadinya cyberbullying yang sering kali luput dari perhatian pihak kampus. Karena sering dilakukan secara halus dan sistematis, bullying menjadi sulit dikenali dan kerap dianggap sebagai “bagian dari tradisi” atau dianggap sepele. Ini menjadi tantangan serius dalam upaya pemberantasannya.
Untuk mengatasi bullying, diperlukan langkah konkret yang sistematis dan berkelanjutan. Pertama, kampus harus melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai bullying kepada seluruh civitas akademika. Mahasiswa dan dosen perlu memahami apa saja bentuk bullying, dampaknya, dan bagaimana cara melawannya. Kedua, kampus harus memiliki regulasi atau peraturan tertulis yang tegas mengenai larangan bullying, lengkap dengan sanksi yang diberlakukan secara konsisten. Ketiga, penting bagi kampus untuk membentuk satuan tugas atau tim khusus yang menangani laporan bullying, memastikan laporan diproses secara objektif dan adil.
Keempat, layanan konseling kampus harus diperkuat agar mahasiswa korban bullying bisa mendapatkan pendampingan psikologis secara profesional. Kelima, kampus perlu menyediakan media pelaporan yang aman, mudah diakses, dan bersifat anonim agar korban tidak takut untuk bersuara. Terakhir, kampus harus membangun budaya empati dan penghargaan terhadap perbedaan melalui kegiatan positif seperti forum diskusi, pelatihan kepemimpinan, dan kegiatan lintas budaya.
Jika kampus berhasil menciptakan lingkungan bebas bullying, manfaatnya akan terasa luas. Mahasiswa akan merasa lebih aman, nyaman, dan didukung dalam proses belajarnya. Kesehatan mental meningkat, suasana kelas menjadi lebih kondusif, dan prestasi akademik pun ikut naik. Selain itu, interaksi sosial menjadi lebih inklusif, menjunjung tinggi keberagaman, dan menghormati sesama. Dalam jangka panjang, kampus yang bebas bullying akan menghasilkan lulusan yang tangguh secara mental, peka terhadap sesama, dan siap menghadapi tantangan dunia kerja dengan kepala tegak. Ini bukan hanya menguntungkan mahasiswa, tetapi juga meningkatkan reputasi institusi pendidikan itu sendiri.
Kesimpulannya, bullying di kampus adalah masalah serius yang tidak bisa disepelekan. Meskipun sering kali tersembunyi dan dianggap bagian dari dinamika sosial, dampaknya sangat merusak, baik secara individual maupun kolektif. Untuk itu, semua pihak harus terlibat dalam mewujudkan kampus yang bebas bullying. Mahasiswa harus berani bersuara dan saling mendukung. Dosen harus menjadi teladan dan pendengar yang baik. Manajemen kampus harus menyediakan sistem yang adil, cepat tanggap, dan berpihak pada keadilan. Kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga tempat membentuk karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Mari bersama-sama mewujudkan kampus yang aman, nyaman, dan inklusif untuk semua.
Study Kasus Bullying
Di balik gemerlap kehidupan kampus yang sering dipenuhi semangat intelektual dan idealisme muda, tersimpan sisi gelap yang tak banyak dibicarakan secara terbuka: bullying. Seorang mahasiswa baru bernama Raka mengawali perjalanannya di kampus dengan penuh semangat. Ia membayangkan dunia perkuliahan sebagai ruang kebebasan berpikir, kolaborasi kreatif, dan tempat bertumbuh sebagai pribadi. Namun harapannya mulai meredup saat ia menjalani orientasi mahasiswa baru yang bukan sekadar pengenalan kampus, melainkan ajang perpeloncoan dengan dalih “melatih mental”.
Raka dipaksa berteriak-teriak, dihina karena logat bicaranya yang berbeda, bahkan disuruh membawa barang-barang aneh sebagai “tugas” dari senior. Awalnya ia mencoba bertahan, menganggap semua itu bagian dari tradisi. Namun, pelecehan tidak berhenti di ospek saja. Di organisasi mahasiswa, ia kembali mendapat perlakuan merendahkan: tak diajak berdiskusi, diolok-olok karena pilihan bajunya, bahkan dicibir saat menyampaikan pendapat. Lama-kelamaan, Raka merasa terasing, kehilangan kepercayaan diri, dan mulai mempertanyakan apakah tempat ini benar-benar layak disebut lingkungan akademis.
Cerita Raka bukanlah kisah tunggal. Banyak mahasiswa lain entah karena perbedaan latar belakang, penampilan, cara bicara, hingga orientasi seksual harus menghadapi tekanan serupa. Mereka dibungkam oleh budaya diam, oleh sistem yang menormalisasi kekerasan verbal dan sosial, dan oleh kekhawatiran tidak dipercaya jika melapor. Bullying di kampus memang kerap tersembunyi di balik canda, hierarki senior-junior, atau bahkan relasi akademik yang timpang antara dosen dan mahasiswa.[]
Penulis :
Muhammad Adrevi Rahmadin, Nomor Hp : 0895326343736, email : mhammdadrevi@gmail.com