Viola Dina (Foto/dok. pribadi)
Desa dalam pemerintahan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat. Desa merupakan bentuk pemerintahan terkecil di Indonesia, berada di bawah pemerintahan kabupaten/kota. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, urusan masyarakat, dan urusan Pembangunan. Desa ini diurus oleh pemerintah desa, dengan perangkat desa sebagai unsur pelaksana. Tugas utamanya adalah menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan Masyarakat, Sekali lagi “melaksanakan Pembangunan”.
Dalam narasi besar pembangunan nasional, desa sering kali disebut sebagai pilar utama kemajuan bangsa. Pemerintah pusat mendorong program percepatan pembangunan desa melalui Dana Desa, revitalisasi BUMDes, hingga digitalisasi pelayanan publik. Namun, di balik semangat tersebut, masih banyak desa di berbagai penjuru negeri yang belum merasakan buah dari pembangunan secara merata. Dua masalah paling mencolok yang masih menghantui kehidupan masyarakat desa adalah kondisi jalan yang rusak parah dan akses internet yang sangat terbatas atau bahkan nihil.
Pada 28 januari 2025 dalam Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ada 3.920 desa yang tergolong Sangat Tertinggal, yang berarti mereka memiliki aksesibilitas yang terbatas, termasuk jalan yang tidak layak, sedangkan untuk yang tidak memiliki akses internet yang tidak memadai pada 9 Oktober 2024 Staf Ahli Bidang Teknologi Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Molly Prabawaty mengatakan, dari 93.971 desa di Indonesia, masih ada 12.548 desa yang belum mendapat akses internet yang memadai. Hal ini semakin kompleks dengan kondisi geografis desa-desa tersebut. Lokasinya berada di wilayah terpencil, pulau terluar yang sulit dijangkau.
Masalah jalan rusak di desa bukanlah hal baru. Bahkan, ada desa-desa yang selama puluhan tahun tidak pernah menikmati jalan beraspal. Ketika musim hujan tiba, akses ke luar masuk desa seolah lumpuh total. Mobil tak bisa lewat, kendaraan roda dua pun harus ekstra hati-hati atau bahkan ditinggalkan. Dampaknya sangat nyata: distribusi hasil pertanian terganggu, aktivitas ekonomi melambat, dan akses terhadap layanan kesehatan serta pendidikan menjadi terkendala.
Tidak hanya itu masalahnya, terkadang pada saat pemerintah sudah memberikan akses jalan yang layak walau hanya dengan tanah merah saja, akan tetapi terkadang dirusak oleh banyaknya transportasi pengangkut alat berat yang lewat menuju PT , baik itu sektor pertambangan maupun pertanian. Seharusnya pemerintah desa dapat lebih tegas menghadapi hal ini agar kedepannya pihak dari sektor pertambangan maupun pertanian dan sebagainya bisa bertanggungjawab untuk memfasilitasi jalan Masyarakat tersebut. Kebetulan rumah saya bersebelahan dengan jalan yang sering dilewati oleh transportasi pengangkut alat berat, saya terkadang ikut sedih melihat kondisi jalan yang buruk, bahkan bukan hanya sekali saja terjadinya kecelakaan di jalan tersebut tetapi bisa dikatakan sering sekali.
Jalan yang rusak ini bukan hanya berdampak bagi masyarkat untuk di lewati tetapi juga merupakan tantangan keselamatan Masyarakat untuk melewatinya , apalagi pada saat musim atau cuaca yang tidak baik, contohnya musim hujan, pastinya jalan yang mereka lewati ada yang bolong dan yang past ilicin, sangat di sayangkan sekali jika terjadi kecelakaan akibat jalan yang kurang memadai seperti itu.
Tak kalah serius adalah persoalan lemahnya akses internet. Di saat dunia semakin terhubung secara digital, masih ada siswa-siswi desa yang harus berjalan ke tempat tinggi untuk mendapatkan sinyal agar bisa mengikuti pembelajaran daring. Pelaku usaha kecil di desa juga kesulitan memasarkan produk secara online karena konektivitas yang lemah. Ironisnya, pemerintah daerah sering kali mengusung jargon “desa digital”, namun tidak menyertai konsep itu dengan penyediaan infrastruktur dasar yang mendukung.
Bagi seorang pelajar akses internet sangatlah penting, karena memberikan banyak manfaat dalam proses belajar, seperti mempermudah mengakses informasi, memperluas wawasan , dan meningkatkan kemampuan komunikasi. Apalagi pada pembelajaran masa sekarang sangat sering digunakan sistem daring atau pembelajaran jarak jauh yang pastinya membutuhkan akses internet yang cukup. Saat ini banyak sekolah yang sudah menggunakan kurikulum Merdeka Dimana kurikulum tersebut juga menggunakan HP dan internet sebagai bagian integral dari proses pembelajaran, Kurikulum Merdeka mendorong penggunaan teknologi digital untuk berbagai keperluan, termasuk akses ke sumber belajar, penyampaian materi, dan evaluasi.
Pengalaman saya sendiri pada saat saya menempuh pendidikan SMP, saat itu pula lah dimulainya musibah covid-19, saya merasakan pembelajaran sistem daring dari rumah yang memiliki akses internet yang sangatlah buruk, sehingga biasanya saya berdiri di jendela, berdiri di pinggir jalan, menaiki pohon mangga, bahkan pergi ke desa sebelah untuk mengikuti perkuliahan zoom dan mengirimkan tugas sekolah, hal itu saya rasakan hingga saya SMA, bahkan sekarang saat saya sudah berada di bangku perkuliahan juga hal yang sama masih sering terjadi dan belum berubah sama sekali. Terkadang saya berfikir kenapa pemerintah desa sangatlah pilih kasih, tapi saya tidak tahu kebenarannya yang terjadi kenapa wilayah kami belum memiliki akses internet sama sekali. Jadi begitu pentingnyalah internet untuk mereka yang sedang menempuh Pendidikan.
Tidak hanya itu, akses internet ini juga berperan penting pada Masyarakat lainnya sebagai penghubung komunikasi, jika hanya ada alat komunikasinya tapi tidak ada akses internet rasanya sama saja tidak lengkap. Jika ada pihak yang mau menghubungi keluarganya yang jauh namun terhalang karna minimnya akses internet ini rasanya sangatlah memperihatinkan.
Kondisi ini menjadi tanda tanya besar terhadap komitmen dan prioritas pemerintah daerah. Dengan kewenangan yang cukup besar dalam kerangka otonomi daerah, seharusnya pemda dapat lebih tanggap dalam merespons kebutuhan konkret masyarakat desa. Pembangunan jalan desa dan perluasan jaringan internet bukanlah proyek prestisius seperti pembangunan gedung atau landmark kota, tetapi dampaknya jauh lebih fundamental terhadap kesejahteraan masyarakat.
Lebih jauh, ketimpangan infrastruktur ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan daerah masih belum berbasis data dan kebutuhan masyarakat akar rumput. Banyak kebijakan lahir dari ruang rapat, bukan dari observasi langsung di lapangan. Inilah saatnya pemerintah daerah mereformasi pola perencanaan pembangunan yang selama ini terlalu elitis dan kurang partisipatif.
Desa-desa yang tertinggal secara fisik dan digital akan semakin termarginalkan dalam era yang makin kompetitif. Tanpa akses jalan yang memadai dan jaringan internet yang stabil, desa akan kesulitan bertransformasi, baik dalam sektor ekonomi, pendidikan, maupun pelayanan publik. Maka, pembangunan infrastruktur dasar di desa harus menjadi prioritas, bukan pilihan. Pemerintah daerah perlu menjadikan kondisi ini sebagai alarm serius, bukan sekadar keluhan musiman. Sudah waktunya menyusun kebijakan berbasis kebutuhan riil, menyerap aspirasi masyarakat desa, dan menempatkan mereka sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek.
Sudah saatnya pemerintah daerah turun langsung, melihat dan mendengar jeritan masyarakat desa. Jalan yang layak dan sinyal yang kuat adalah fondasi awal menuju desa yang mandiri, sejahtera, dan terhubung dengan dunia. Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Penulis :
Viola Dina, mahasiswa Prodi Hukum Universitas Bangka Belitung