Fiorensa Awafi Setiawan (Foto/dok. pribadi) |
Tidak semua langkah dalam hidup terdengar keras. Kadang, kita harus melangkah perlahan, hampir tanpa jejak, karena dunia tidak selalu memberi tempat bagi mereka yang memulai dari awal. Tapi justru dalam kesunyian itulah, kekuatan sesungguhnya kita terbentuk bukan karena disorot, melainkan karena kita tetap memilih berjalan meski tanpa tepuk tangan.
Ketika hal-hal lama runtuh entah itu pekerjaan, impian, hubungan, atau harapan yang tersisa hanyalah dua pilihan: tetap diam, atau mencoba berani untuk memulai kembali. Dan mereka yang memilih untuk bangkit dari awal sebenarnya sedang menunjukkan bentuk keberanian yang paling murni keberanian yang tidak selalu terlihat, tapi terasa.
Kita sering menutupi langkah awal kita karena khawatir dianggap lemah. Padahal, setiap orang pasti pernah tersesat dalam gelap sebelum akhirnya menemukan terang. Tak satu pun dari kita tahu pasti apa yang akan terjadi esok hari. Maka, jangan biarkan keberhasilan orang lain menghancurkan nilai dirimu, karena setiap perjalanan punya waktunya masing-masing.
Hidup bukanlah kompetisi bergantian yang harus selalu kita menangkan. Hidup lebih menyerupai pendakian gunung: membutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk mencapai puncak. Dan dalam proses itu, bukan hanya tujuan yang penting, melainkan bagaimana kita menjalaninya dengan hati yang jujur dan tekad yang utuh. Bahkan jika tertatih, asal tidak berhenti.
Awal yang baru bukan soal apa yang hilang, tapi tentang keputusan. Keputusan untuk tidak terperangkap dalam kesedihan, untuk tetap menyala meski cahaya kecil, dan untuk percaya bahwa kehancuran bisa menjadi lahan subur bagi keindahan yang akan tumbuh perlahan.
Bukan berarti bersih dari luka, namun dalam setiap goresan selalu ada pelajaran. Aku lebih menghargai mereka yang berani memulai ulang setelah jatuh, daripada mereka yang tak pernah tersandung. Karena di balik keberanian yang sunyi itu, ada kekuatan besar yang jarang dilihat, tapi mampu mengubah arah hidup secara diam-diam.
Terkadang, langkah yang paling berani justru tidak tampak mencolok. Hanya sebaris doa sebelum tidur, atau keputusan diam-diam untuk tidak menyerah pagi ini. Keberanian sejati seringkali hadir dalam keheningan saat seseorang tetap berjalan meski hatinya rapuh.
Kadang, proses pelan yang kita jalani terasa membosankan dan membuat kita bertanya, “Apa aku sudah di jalan yang benar?” Tapi percayalah, setiap langkah kecil tetap berarti. Tidak semua hal harus tampak besar agar bisa disebut maju. Yang penting, kamu tetap bergerak meski hanya sedikit.
Jangan biarkan suara dari luar menenggelamkan keyakinanmu. Ini hidupmu, bukan lomba siapa paling cepat. Nikmati prosesnya, dan beri ruang pada dirimu untuk belajar, salah, lalu tumbuh dari sana. Mungkin belum ada hasil besar hari ini, tapi bisa jadi kamu sedang membangun pondasi yang lebih kuat dari yang kamu sadari.
Hal terpenting adalah jangan pernah berhenti. Karena ketika kamu berhenti, itu bukan hanya sekadar lelah, tetapi memilih menyerah pada cerita yang belum selesai yang mungkin sebenarnya belum waktunya usai. Melangkah terus menunjukkan bahwa kamu masih percaya hidup ini bisa berubah. Dan kepercayaan itulah yang menjadi kekuatan sejati.
Ketika dunia mengejar segalanya secara cepat, mereka yang tetap memilih proses dengan sabar sedang menunjukkan bentuk keberanian yang tak tergantikan. Keberanian yang mungkin sunyi, tapi tidak pernah sia-sia.
Jadi, jika ini adalah awal yang baru dalam hidupmu, biarkan setiap langkah ditulis dengan kejujuran, dan setiap bab dijalani dengan keberanian. Kamu tak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Yang terpenting bukan seberapa cepat kita melangkah, tapi bagaimana kita menjalaninya dengan penuh kesadaran dan utuh sebagai diri sendiri.
Karena sejatinya, kemenangan sejati bukan terletak pada keberanian memulai dari nol, tapi pada kesediaan memulai kembali dengan kesadaran yang lebih matang. Di sanalah letak arti yang sebenarnya di titik sunyi tempat kita memilih untuk tetap percaya.
Penulis :
Fiorensa Awafi Setiawan, mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah Universitas Pamulang