Notification

×

Iklan

Iklan

Menggali Nilai-Nilai Pendidikan dari Novel Tere Liye

Senin, 16 Juni 2025 | Juni 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-16T03:13:00Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi

Karya sastra merupakan salah satu medium yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan kehidupan, termasuk nilai-nilai pendidikan yang esensial. Melalui cerita dan karakter, sastra dapat menyentuh sisi emosional pembaca sekaligus memperkenalkan pandangan moral dan sosial yang relevan dengan kehidupan nyata. Dalam konteks pembentukan karakter dan pendidikan moral, novel dapat menjadi bahan refleksi yang sangat berarti, terutama bagi remaja dan pelajar.

 

Salah satu karya sastra kontemporer Indonesia yang memuat nilai-nilai pendidikan secara mendalam adalah Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye. Novel ini mengangkat kisah seorang anak bernama Dam yang dibesarkan oleh ayahnya dengan cerita-cerita luar biasa tentang masa lalu. Seiring waktu, Dam mulai meragukan kebenaran cerita-cerita itu dan menganggap ayahnya pembohong. Namun, ia kemudian menyadari bahwa di balik kisah-kisah itu tersimpan nilai-nilai luhur yang dibungkus dalam dongeng kehidupan.

 

Dari sinilah muncul pertanyaan penting: apakah pendidikan selalu harus disampaikan secara nyata dan logis, atau bolehkah diselipkan dalam kisah fiktif yang sarat makna? Dalam novel ini, Tere Liye seolah menjawab bahwa pendidikan karakter bisa hadir lewat dongeng, narasi imajinatif, dan bahkan melalui pemahaman emosional yang tidak selalu bisa diukur dengan logika.

 

Novel ini menyimpan sejumlah nilai pendidikan yang dapat dianalisis secara mendalam, di antaranya:

 

Tema utama dalam novel ini berkisar pada kepercayaan seorang anak terhadap cerita-cerita fantastik ayahnya. Dam sempat mengira bahwa semua kisah itu adalah kebohongan. Namun seiring bertambahnya usia, ia mulai memahami bahwa yang dikira “bohong” sebenarnya adalah bentuk kasih sayang dan pengharapan ayahnya. Dari sini, pembaca diajak merenungkan bahwa kejujuran tidak selalu bersifat literal. Ada bentuk-bentuk kebenaran yang disampaikan melalui simbol, metafora, dan cerita sebagai alat pendidikan moral dan emosional. Ini menggambarkan bahwa dalam dunia pendidikan, pendekatan naratif juga bisa menjadi metode efektif untuk menyampaikan nilai.

 

Ayah Dam adalah sosok sentral yang secara konsisten digambarkan sebagai figur penuh kasih dan pengorbanan. Ia rela menyembunyikan kenyataan demi menjaga harapan anaknya. Contohnya, ketika ayah Dam tidak pernah mengeluh meskipun bekerja keras dan hidup dalam keterbatasan. Nilai ini mencerminkan pentingnya pendidikan keluarga sebagai fondasi awal dalam pembentukan karakter anak. Anak yang tumbuh dalam kasih sayang cenderung memiliki empati yang tinggi dan pandangan positif terhadap kehidupan.

 

Cerita-cerita yang disampaikan oleh sang ayah tidak hanya bersifat fiktif, tetapi sarat dengan pesan moral: keberanian, ketekunan, dan harapan. Nilai ini sangat relevan dalam pendidikan karakter, karena anak perlu dibekali bukan hanya dengan pengetahuan akademik, tetapi juga dengan semangat pantang menyerah. Imajinasi dalam cerita menjadi simbol dari kekuatan mental dan kreativitas yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan nyata.

 

Perjalanan Dam dari anak kecil yang percaya penuh, lalu meragukan, hingga akhirnya memahami maksud ayahnya menunjukkan bahwa proses pendidikan adalah perjalanan panjang. Anak perlu waktu untuk memahami nilai-nilai tertentu. Hal ini penting untuk disadari oleh pendidik dan orang tua: bahwa setiap anak memiliki waktu dan cara sendiri dalam menyerap pelajaran hidup.

 

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong bukan sekadar kisah fiksi tentang hubungan ayah dan anak, tetapi juga merupakan cermin dari proses pendidikan karakter yang berlangsung dalam kehidupan nyata. Melalui tokoh-tokohnya, Tere Liye menyampaikan pesan-pesan penting tentang kejujuran, cinta orang tua, harapan, dan kekuatan cerita dalam mendidik. Dalam konteks pendidikan saat ini yang menekankan pada penguatan karakter, novel ini dapat dijadikan bacaan wajib untuk membentuk siswa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan moral. Dengan demikian, sastra kembali menunjukkan fungsinya sebagai media pembelajaran yang menyentuh hati dan membentuk jiwa.[]

 

Penulis :

Aghnessya Masaya Ariyanti, Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah Universitas Pamulang

×
Berita Terbaru Update